26 May 2008

Doktor Keledai!

Shuhba Mawlana Syekh Muhammad Hisyam Kabbani QS setelah selesai pembacaan selawat, Qasidah al-Burdah dll di kediaman Bapak Soenarto, Jakarta: 11 Desember 2004


A’uudzubillaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillaahir rahmaanir rahiim

Athi'ullaaha wa athi'urrasuula wa ulil amri minkum

Taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. [4:59]


Setelah membaca selawat Nabi SAW yang begitu indah, bibir ini tidak mampu berbicara lagi. Insya Allah saya akan mencoba mengatakan sesuatu, sebanyak yang dikirimkan oleh Syekh Nazim QS ke dalam hati saya.

Berapa banyak orang yang telah berpikir dan mengkhayal, dan berapa banyak pujangga telah menulis buku-buku sepanjang hidup mereka, menit demi menit, jam demi jam, hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun, berpikir setiap waktu, dan dalam setiap detik keagungan Nabi SAW lahirlah puisi indah yang dikirimkan pada kita di atas sebuah plakat yang luar biasa indahnya, dihiasi dengan mutiara dan batu mulia yang tak seorang pun bisa mengekspresikannya kecuali melalui hati. Saya yakin, di setiap bahasa milik berbagai ras di muka bumi ini, telah tertulis puisi kecintaan pada Sayyidina Muhammad SAW. Walaupun mereka tidak mengerti bagaimana mereka bisa terilhami.

Hati seperti apa yang mampu menghasilkan cinta tulus, tidak bersyarat, dan yang tidak pernah berhenti menjelaskan bagaimana keinginan mereka untuk melihat Nabi SAW walaupun hanya sekali dalam kehidupannya. Itu adalah bagi para pujangga yang tidak mampu melihat Nabi SAW. Mereka mengekspresikan emosi dan memohon pada Allah SWT melalui kebesaran-Nya untuk melihat penampakan spiritual Nabi SAW di kehidupan mereka.

Lalu bagaimana dengan para Sahabat Nabi SAW? Yang dalam kehidupan mereka, setiap hari, setiap saat bersama Nabi SAW? Membela negara bersama beliau, makan, berdoa, beribadah, berpuasa bersama beliau. Mereka selalu terhubung dengan Nabi SAW, layaknya saudara kembar yang terhubung satu sama lain, sehingga tidak bisa lepas dari pandangan walau hanya sekejap.

Jika hal tersebut adalah bagi para sahabat, apa yang kalian pikir tentang mereka yang Allah SWT ciptakan untuk memuji Nabi SAW siang dan malam? Ketika dikatakan, “inna-Allaha wa mala'ikatahu yushaluuna `ala an-Nabi,” malaikat-malaikat yang Allah SWT perintahkan agar siang-malam terus-menerus sampai hari pengadilan kelak, selamanya; mereka ada yang berdiri, duduk dan berbaring. Tidak ada suatu penjelasan siapakah sebenarnya Nabi Muhammad SAW sehingga begitu banyaknya malaikat yang memuji-muji beliau selamanya -- menurut ayat tersebut -- itu adalah perintah dari Allah SWT. Tujuan utama seluruh umat manusia, malaikat dan seluruh makhluk ciptaan adalah untuk memuji Sayyidina Muhammad SAW.

Karena Allah SWT menghendaki hal itu. Allah SWT adalah Sang Pencipta dan Dia adalah Rabb al-`alamiin. Tidak ada yang boleh mengatakan tidak. Dia memerintahkan malaikat, manusia, alam, gunung-gunung, pohon-pohon dan sebagainya untuk memuji Sayyidina Muhammad SAW.

Seharusnya kita malu bila tidak memuji-muji Nabi SAW pada setiap kesempatan di dalam kehidupan kita. Seharusnya kita malu saat kita bertengkar dan bersusah payah hanya demi dunia, hanya demi bisnis. Kita malu karena segala yang kita upayakan tidak ada manfaatnya, dibanding dengan para sahabat dan para malaikat yang memuji Nabi SAW di setiap kesempatan.

Kita mempunyai kewajiban di pundak kita, ada kapasitas yang sebenarnya kita sanggup, yaitu kewajiban untuk berselawat pada Nabi SAW siang dan malam. Dan itu sebenarnya belum cukup. Kita ini hamba-hamba yang lemah. Kita amat bergantung, lalai, tidak peduli, keras kepala, dan kita ini adalah pembohong-pembohong.

Kita ini adalah para pembohong. Walaupun Allah SWT mengatakan, “inna-Allaha wa mala'ikatahu yushaluuna `ala an-Nabi,” namun kita tidak melakukan itu. Kita bohong pada Allah SWT dengan mengatakan bahwa kita ini adalah mukmin, kita ini adalah muslim. Namun kenyataannya kita saling bertengkar dan saling mengutuk. Semua orang keras kepala karena opininya masing-masing. Karena setan sedang menungganginya, bukan hanya menunggangi tetapi membisikkan apa yang harus kita lakukan. Dia menunggangi kita seperti seekor kuda, duduk di atas kita.

Suatu ketika Abayazid al-Bistami QS berada di Madinah untuk mengunjungi Nabi SAW secara fisik dan melihat di sana ada orang asing yang sudah tua. Beliau tahu siapa orang itu. “Apa yang engkau lakukan di sini?” tanya beliau. “Aku sedang membagikan tali kekang pada mulut kuda-kuda ini. Aku sibuk dengan hal ini, supaya aku dapat menunggangi mereka. Inilah pekerjaanku sekarang.”

Pria itu adalah iblis yang menyerupai seorang manusia, memberi tali kekang pada mulut manusia. Membuat mereka berkelahi satu sama lain. ”Opiniku lebih baik.” “Tidak, opiniku yang lebih baik.” Dan manusia pun akhirnya bertengkar, tidak bertanggung jawab, tidak ada kemampuan, secara mental tidak ada kekuatan, karena mereka tidak menerima apa yang telah Allah SWT anugerahkan.

Lalu kata iblis, “Aku sibuk membuat mereka bertengkar satu sama lain, itulah sebabnya aku taruh tali kekang pada mulut mereka.”

Sayyidina Bayazid QS bertanya, “Apakah ada kelompok yang berbeda-beda dari orang-orang ini?” Jawabnya, “Ya. Ada berbagai jenis keledai bagiku. Bukan kuda! Ada berbagai jenis keledai. Ada yang besar, ada yang bersuara, “hii haw” dan selalu marah. Bagiku setiap keledai adalah berbeda. “Beliau bertanya, ”Dapatkah engkau sebutukan jenis-jenis keledai yang kau miliki?” Jawab iblis, “Ada beberapa keledai yang kuhasut agar menjadi marah.” Kalian tahu mobil-mobil tua yang dulu tidak ada kuncinya. Ada sebuah tuas (engkol) di sana dan ditarik-tarik agar mobil berjalan.

“Aku letakkan hal seperti itu, lalu kutarik ke sana dan ke mari. Saat mereka mulai marah, lantas aku tinggalkan. Itu hanya salah satu kelompok. Ia akan berlari sejauh engkolnya kutarik. Ia nampak waras, bukan yang terbelakang mentalnya. Lalu ia mungkin akan bertobat dan berkata, A’uudzubillaahi minasy syaythaanir rajiim, astaghfirullah. Seperti kelompok yang berselawat, ibadah dan istighfaar maka setan tidak bisa mendatanginya. Segera setelah mereka melewati pintu keluar, mereka mulai bertengkar, kembali ingat dan bertobat. Aku tinggalkan mereka segera setelah bertobat.”

”Kelompok yang lain, aku arahkan mereka untuk mulai bertengkar satu sama lain. ‘Dengar aku.’ ‘Kamu dengarlah aku.’ ‘Tidak, kamu yang harus mendengarku.’ Mereka bertengkar, bermusuhan, tak berkesudahan.

Kelompok ketiga adalah mereka yang saat aku arahkan, semua yang positif mereka ubah menjadi negatif. Mereka tidak pernah mengatakan ‘ini benar.’ Namun bila tidak benar mereka katakan bahwa itu benar. Mereka tidak pernah setuju dengan siapapun.” Inilah problem kita saat ini. Kita adalah keledai-keledai bagi iblis. Kita izinkan iblis menunggangi kita. Kita dengarkan mereka, namun tidak mendengarkan Allah SWT dan Nabi SAW.

Telah Saya jelaskan di awal, betapa banyak malaikat-malaikat, para pujangga, juga para sahabat yang melewatkan waktunya untuk memuji-muji Nabi SAW. Namun kita telah tersesat dan sibuk dengan dunia, bisnis dan melaksanakan salat 5 waktu hanya sebagai kebiasaan atau adat. Tidak ada ketulusan, tidak khusuk. “Itulah yang aku tunggangi hari ini, ya Bayazid QS,” kata iblis.

Tanyakan pada diri kalian sendiri, dengan akal kalian, kita termasuk keledai yang mana? Saya tidak suka menyebut keledai—kuda macam apa kalian ini? Jika Saya katakan keledai mereka marah. Mari kita sebut singa; singa saja. Jika disebut singa, mereka suka—namun bila keledai, mereka marah. Singa atau pun keledai, keduanya adalah binatang.

Lalu termasuk tipe yang mana kita ini?

Lalu Bayazid QS berpikir dan memutuskan untuk menanyakan satu pertanyaan pada iblis. Setiap orang sadar akan dirinya sendiri. Dia termasuk keledai yang segera bertobat atau keledai yang selalu punya cara lain, atau keledai yang menjadi musuh bagi siapa pun.

Dalam bahasa Arab disebutkan, “al-insanu hayawanun naatiqan,” manusia adalah hewan yang bisa berbicara. Makhluk yang bisa bicara, seperti makhluk ciptaan lainnya. Jadi jangan mengeluh saat setan menyebut kita keledai.

Saat ini, masyarakat menjadi histeris saat menjelaskan CV (daftar riwayat hidup), resume. Berapa banyak ‘doktor’ yang meletakkan titel mereka di depan namanya dan meletakkan ‘PhD’ di belakang namanya. Berapa banyak mereka meletakkan nama mereka, “Doktor” “Doktor” “Doktor?” Biarkan mereka letakkan “Doktor, doktor, doktor keledai”. “Professor, professor, professor keledai;” “tukang kayu keledai;” “pengacara, pengacara keledai;” “guru, guru, guru keledai.” Pada akhirnya setiap orang berakhir dengan titel ‘keledai’. Jadi tak perlu mencantumkan di depan nama kalian bila pada akhirnya ada titel ’keledai.’ Juga Syekh, Syekh, Syekh yang berakhir dengan ‘keledai’. Atau ulama, ulama, ulama keledai. Tetapi tidak demikian halnya dengan wali, mereka bukan keledai. Wali berarti `alimun `amil. Orang alim yang tulus. Seperti imam-imam di masa lampau: Imam Abu Hanifa, Imam Malik, Imam Syafi`i, Imam Ahmad. Mereka adalah orang alim asli, bukan seperti ulama-ulama saat ini, ulama Internet.

Jangan letakkan keledai di akhir nama, cukup inisial saja, “D” (dari kata donkey, keledai) karena mereka akan mengira itu artinya ‘Doktor’. Biarkan mereka menebaknya sendiri. Dan dalam bahasa Arab, kalian letakkan huruf ‘H’ saja di awal atau di akhir nama. Karena bahasa Arab untuk keledai adalah ‘himaar’. Kalian sadar siapa kalian, namun biarkan orang lain bertanya, “Apa itu H?” Ah mungkin untuk ‘hillu’ – yang berarti manis.

Allah SWT menjelaskan mereka sebagai humurun mustanfira-seperti singa-singa yang saling berkelahi. Seperti masyarakat saat ini. Seperti haywan. Kalian mempunyai (kata) itu dalam bahasa Indonesia kan? Ya. Kita sebut dalam bahasa slang-nya (bahasa pergaulan-penerj.) `hay-one' -- namun dalam bahasa Arab klasik adalah haywan. Atau letakkan ‘H’ untuk hillu, yang berarti manis.

Maka Abayazid QS berpikir tentang dirinya sendiri akan hal itu. Walaupun seorang wali, jika setitik kesombongan masuk dalam hatinya, arogansi, maka saat itu ia menjadi orang yang tidak peduli, dan Allah SWT menjadikannya nol. Beliau bertanya pada iblis, “Jadi keledai-keledai ini yang membuatmu sibuk. Apakah engkau mempunyai satu tali kekang untukku?” Artinya, “Aku bukan seperti mereka, aku tak punya tali kekang.” Jawab iblis, “Ya Bayazid QS, kamu lebih mudah dari mereka. Aku akan menunggangimu tanpa tali kekang. Aku tak butuh tali kekang untukmu.” Padahal beliau adalah alwiya terbesar, salah satu dari mata rantai emas (Tarekat Naqsybandi). Satu detik kesombongan masuk ke dalam hati (pelajaran bagi kita – bukan untuk Bayazid QS) maka cukup bagi iblis untuk menunggangi kita.

Setelah mengatakan hal itu, Bayazid QS dan iblis melanjutkan perjalanan masing-masing.

Beberapa hari kemudian, turun hujan deras di Madinah. Kalian tahu kalau di Madinah, air tidak bisa terserap pasir, hanya menggenang di permukaan dan orang-orang mengumpulkan lalu menggunakannya. Karena hujan terus-menerus, maka seluruh kota menjadi banjir. Beliau melihat ratusan manusia berjalan melewati banjir. Seorang laki-laki tua hampir terjatuh ketika sedang menyebrang sungai menuju rumahnya.

Kata orang itu, “Saya sudah tua, saya sedang sakit berat.” Bayazid QS berkata, “Bisakah aku membopongmu?” “Tidak, aku tidak ingin mengganggumu.” “Oh, tidak mengganggu, namaku Bayazid QS.” Lalu beliau membawa laki-laki tua itu di pundaknya dan menyebrangi sungai.

Kata beliau, “Ok, Aku telah menolongmu, aku selamatkan engkau dari banjir.” Lalu laki-laki tua itu melihat Bayazid QS dan berkata, “Oh Bayazid QS, pernahkah aku mengatakan bahwa aku akan menunggangimu tanpa tali kekang? Aku adalah iblis.”

Sekarang periksa pada diri sendiri, tipe yang mana kita ini? Saya tidak bertanya pada orang yang berada di jalanan. Saya berbicara di sini atas nama Mawlana Syekh Nazim QS. Adalah penting bagi kita untuk mengetahui segala penyakit kita ini. Semua orang di ruangan ini atau yang mendengar rekamannya; tanya pada istri, suami macam apa kalian ini, dan tanya pada suami, istri macam apa kalian ini. Mereka yang belum menikah, tanya pada teman, termasuk tipe yang mana kalian.

Cinta sejati bagi Syekh; bahkan bila Syekh mempermalukan kalian, mengutuk dan menendang kalian, jangan ubah cinta kalian. Kalau tidak, maka kalian bukan benar-benar muridnya.

Dalam tarekat jangan ada kata “tidak” untuk Syekh. Titik. Kata “Tidak” tidak diterima di dalam tarekat. Karena kita di bawah tarbiyyah isma`u wa awu – “Dengar dan patuhi.” Itulah prinsip Islam kita. Nabi SAW dulu juga mendengar dan mematuhi. Beliau mendengar Jibril AS dan mematuhinya.

Jika Syekh menanyakan opini kalian, maka kalian beri opini, namun bukan kalian yang memutuskan. Mungkin Syekh mengambil opini orang lain. Mengikuti tarekat adalah seperti kalian pergi ke jalan besar di luar. Jika kalian menerima, maka hal itu akan mudah. Namun bila tidak, akan menjadi sulit.

Apa yang Allah SWT firmankan dalam al-Qur’an, “sami`na wa atha`na, ghufraanaka rabbana wa ilayka al-mashiir.” Bukannya, “sami`na wa `ashayna.” Iblis mendengar namun tidak patuh, ia tidak mau bersujud, apa yang kemudian terjadi? Allah SWT mengutuknya. Katakan, “sami`na wa atha`na.” Taat adalah penting, taat pada Nabi SAW, pada mereka yang mempunyai wewenang dan yang paling utama adalah taat pada Allah SWT.

Kepatuhan adalah hati bagi Islam dan inti bagi tarekat. Dalam tarekat kalian harus mendengar mereka yang mempunyai wewenang. Jika pembimbing mengatakan, “datanglah” maka kalian harus datang. Jika ia meminta kalian duduk, maka duduklah. Pergi dan jalanlah satu mil, maka kalian harus melakukannya. Jika ia berkata, “Pergi dan kosongkan lautan dengan sebuah ember,” maka pergi dan lakukanlah hal itu. Jika seseorang ingin mengikuti tarekat mereka seharusnya tidak menggunakan akal. Maka dunia akan terbuka bagi mereka.

Mawlana memanggil saya dalam kehadirannya baru saja. Kata beliau, ”Anakku, tidak ada kata keberatan dalam tarekat. Engkau sudah bersamaku selama 45 tahun atau lebih, 47 tahun. Aku tidak ingin mendengar keberatan dari semua orang. Kalian tidak boleh pergi ke sana lalu mengeluh, lalu pergi ke sini dengan mengeluh.“

Kalian mungkin melihat seseorang berbicara di depan cermin, “Aku ini tampan. Dunia ini milikku. Aku adalah Raja. Raja dunia. Aku akan mengutukmu, “Hei, kamu yang berada di cermin! Kamu bukan siapa-siapa. Akulah segalanya. Aku punya segalanya dan kamu bukan siapa-siapa. Jika aku pecahkan cermin ini, aku bisa merusak kamu.” Itulah orang-orang yang berbicara pada diri sendiri di depan cermin dan itulah masalah kita. Setiap orang mempunyai masalah dalam dirinya sendiri. Itulah sebabnya mengapa Mawlana mengatakan, “Jangan mengeluh (pada diri sendiri) di dalam hati. Jangan mengeluh pada orang lain, kalau tidak kalian akan hancur.” Semoga Allah SWT mengampuni, memberkahi dan menjaga kita agar selalu berada di bawah bendera Syekh kita -- Syekh Muhammad Nazim Adil al-Haqqani QS dan memberi kita umur panjang agar bisa melihat Sayyidina Mahdi AS dan Sayyidina `Isa AS secara nyata dan melihat Nabi SAW dalam kehidupan yang akan datang dan dalam kehidupan ini dalam ru'yah.

Wa min Allah at tawfiq

No comments: