07 June 2008

Asosiasi atau Shuhba

Shuhba Mawlana Syekh Muhammad Nazim Adil Al-Haqqani QS

A'uudzubillaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillaahir rahmaanir rahiim
Wash-shalaatu was-salaamu 'alaa asyrafil Mursaliin Sayyidinaa wa Nabiyyina Muhammadin wa 'alaa aalihi wa Shahbihi ajma'iin

Suatu kali Grandsyekh mendatangi saya dan berkata, “Wahai Nazim Efendi, aku ingin berbicara tentang suatu hal yang amat serius, sesuatu yang harus kau dan para pencari lainnya perhatikan dengan seksama. Jangan menjadikan egomu sebagai tuhan selain Allah Yang Maha Kuasa. Kau harus berhati-hati sekali, karena bentuk politheisme yang satu ini termasuk jenis yang mungkin kamu lakukan tanpa sepengetahuanmu. Penyembahan terhadap ego adalah suatu penyimpangan dari kemurnian iman yang paling berbahaya, bisa juga disebut syirik tersembunyi.”

Lihatlah, sebenarnya umat manusia adalah ciptaan yang paling lemah. Setiap binatang yang berjalan di atas tanah, berenang dalam air atau terbang di udara mempunyai mekanisme adaptasi yang lebih baik dibandingkan kita. Mereka bisa bergerak ke mana saja di alam ini, dengan memakan rumput, minum cairan berlumpur, tidur di tanah, mereka memiliki rambut yang tebal pada kulitnya untuk menjaga agar mereka tetap hangat, selain itu ada pula yang berdarah dingin. Mereka tidak akan terpengaruh dengan perubahan cuaca yang normal. Tetapi tidak demikian halnya dengan tubuh kita yang memerlukan perawatan khusus. Kita memerlukan bermacam-macam pakaian untuk setiap musim, kita juga harus menjaga kebersihan makanan dan minuman agar tetap sehat. Dengan kata lain, jika kita dikenakan kondisi yang sama seperti makhluk lainnya, bisa jadi kita akan mati dengan cepat. Jadi, dalam hal ini, manusia adalah yang paling lemah di antara semua binatang.

Tetapi perhatikan, walaupun kita paling lemah, makhluk yang paling membutuhkan perawatan khusus, bahkan sebagai seorang individu yang rapuh pun, kita tidak pernah suka untuk menerima seorang mitra dalam segala aktivitas, jika kita pikir kita dapat melakukannya sendiri. Hanya ketika kita memperkirakan bahwa tugas tersebut di luar kemampuan kita, barulah kita mencari bantuan. Sebagai contoh, jika seorang membangun sebuah usaha dan dengan mudah mampu menjalankan dan membiayainya sendiri, akankah ia mencari seorang mitra? Tidak, yang demikian tidak ada gunanya.

Jadi, jika kalian memahami bahwa makhluk yang paling lemah pun enggan untuk menerima seorang mitra ketika tidak dibutuhkan, bagaimana kalian bisa menganggap adanya satu atau beberapa mitra untuk Allah, Yang Maha Kuasa? Siapa yang bisa menjadi mitra untuk Tuhan seluruh alam semesta. Tuhan dari segalanya, Yang Kekuasaannya tidak terbatas dan Maha Pencipta? Bagaimana Dia dapat menerima seorang mitra, seorang anak laki-laki, istri, atau anak perempuan? Makhluk yang mana yang cocok sebagai mitra-Nya? Dapatkah seorang diangkat menjadi mitra? Haruskah Sang Pencipta menciptakan suatu makhluk dan menempatkannya bersama-Nya? Itu konyol! Kalian menerima mitra tentunya untuk mengisi kekurangan yang ada, baik dalam masalah keuangan atau tenaga kerja, kalau tidak, siapa yang mau menanggung beban seperti itu. Jadi siapa yang sanggup menolong Allah SWT?

Oleh sebab itu, seluruh nabi telah memberi peringatan keras tentang gagasan keagamaan yang salah tersebut, juga terhadap seluruh bentuk politheisme. Tetapi ada salah satu bentuk politheisme yang bersifat rahasia, tidak dengan mudah terdeteksi. Dan kenyataannya banyak sekali orang yang melakukan penyembahan terhadap tuhan selain Allah Yang Maha Kuasa tanpa menyadarinya. Bahkan orang yang mengaku dirinya hanya menyembah Allah SWT biasanya juga melakukan penyembahan terhadap sesuatu yang rahasia dalam dirinya. Dan siapa yang menganggap sebagai mitra Allah Yang Maha Kuasa—siapa lagi kalau bukan ego kita.

Ego mendekati kita dan berkata, “Akulah mitra itu. Suka atau tidak, akulah yang kau sembah selain Allah SWT, jika kau bersikeras untuk beribadah kepada Allah SWT dan menganggap Dia adalah Tuhanmu, dan aku tidak bisa menasihatimu untuk meninggalkan tindakan bodoh itu, setidak-tidaknya kau harus mengenal aku sebagai Tuhan keduamu dan kau akan berusaha keras untuk membuatku senang. Jika kau berjuang keras untuk menjadi pelayan yang baik bagi Allah SWT, maka kau juga harus melakukan hal yang sama untuk menjadi pelayanku, jika kau mematuhi Allah SWT, maka sekali-kali kau juga harus patuh padaku. Ayo lakukanlah, jika kau harus melakukannya, lakukan syahadat, pernyataan keimananmu kepada Allah SWT, lakukan salat 5 kali sekali, berpuasa di bulan Ramadan, naik haji ke Mekah, membayar zakat, tetapi aku tidak akan mentoleransi semua itu jika kau tidak mendedikasikan semua perbuatan itu untukku juga, Aku menuntut bagianku!”

Ketika ego kita menyatakan hal tersebut, kita menjawabnya, “Wahai egoku, kau berhak mendapatkan keinginanmu, aku juga menghormatimu dengan baik, dan aku harus berjuang keras untuk membuatmu senang, untuk menghormati dan mematuhimu. Dan jika suatu saat, aku tidak bisa melakukan perintahmu, maafkanlah aku, dan ketahuilah bahwa aku akan berbuat yang terbaik untuk menyenangkanmu.”

Sekarang kita sebagai muslim, sebagai pengikut dari agama monotheistik yang paling murni mungkin terlalu senang dan puas dengan status keimanan kita sendiri. Suatu saat mungkin kita melihat patung di museum atau di sisi jalan yang dibuat dari batu oleh nenek moyang kita, dibentuk dari tanah liat atau logam, dan bisa jadi kita tertawa geli membayangkan hal bodoh tentang praktik penyembahan buatan tangan sendiri yang dulu dilakukan, dengan berkata, “Betapa bodoh mereka—hahaha—membuat beberapa patung lalu disembah sebagai tanda kepatuhan, berikrar dengan tulus kepadanya, mencintai dan menghormatinya!” Dan pada kenyataannya kita tidaklah lebih baik dari mereka—menyembah tuhan-ego. Rasulullah SAW memberikan peringatan yang sangat keras akan bahaya ini, khususnya karena sifatnya yang sangat tersembunyi, seperti sebuah ranjau di hutan yang ditutupi ranting-ranting dan rerumputan. Begitu banyak orang yang menyembah mitra ini tanpa pernah mencurigainya.

Grandsyekh juga memperingati kita dengan mengatakan bahwa tuhan ego ini tidak akan pernah puas hanya menjadi nomor dua. “Tidak!”, ia bilang, “Aku pertama, kedua, dan ketiga,…jangan menyembah selain Aku.” Tetapi ketika ia menyadari adanya hambatan, diam-diam ia melakukan perhitungan kembali dan berkata,”Baiklah, Dia pertama, Aku kedua.”, ia tahu bahwa inilah kesempatan untuk menempatkan diri dalam posisi dan kemudian menyabot iman kita, bahkan kalau mungkin mengkudetanya.

Oleh sebab itu kita harus menyingkirkan mitra itu dari singasananya, dan seluruh rasul dikirim kepada umat manusia untuk mengajari mereka bagaimana melakukan tugas itu. Kita membutuhkan latihan dari seorang yang mampu menghadapi kemauan egonya, yang bisa menjinakkan egonya sehingga tidak lagi menyita terlalu banyak perhatian atau menjadi terlalu baik padanya. Sebelum sampai di sana, kalian harus waspada bahwa kalian juga seorang penyembah berhala yang rahasia, sehingga hati kalian akan terkunci untuk mendapatkan rahmat dari Pengetahuan Allah SWT.

Dengan menjadi teman dari orang yang telah menyadari betapa bahayanya permainan yang dimainkan oleh ego, dan kemudian mampu menghindari dirinya dari dominasi ego, para pencari kebenaran mungkin telah sampai pada sasarannya. Oleh sebab itu rasul terakhir, Muhammad SAW, mengajari para sahabat dengan memasukkan mereka ke dalam sebuah asosiasi atau majelis dengannya. Oleh sebab itu, para nabi terdahulu, guru-guru Naqasybandi menekankan pentingnya “Shuhba”, berasosiasi dengan Syekh, sebagai pilar utama dalam melatih para pengikutnya. Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa jika seorang menghadiri majelis tarekat seperti ini walau hanya 5 atau 10 menit, ia akan mendapatkan keuntungan spiritual yang banyak sekali yang nilainya sama dengan yang didapat dari melakukan ibadah sunnah selama 7 tahun.

Itulah besarnya kekuatan dari asosiasi para nabi terdahulu. Kekuatan itu bisa bertambah kuat dengan kebersamaan orang-orang yang hadir dalam pertemuan itu dalam menyatukan hati dengan hati Syekh-nya. Kekuatan itu merasuk ke hati setiap orang sehingga dapat menarik bentuk penyembahan ego yang tersembunyi hingga ke akar-akarnya. Kalian boleh mengamati bahwa dengan setiap pertemuan ini kekuatan ego akan melemah.

Grandsyekh menerangkan bahwa tanpa asosiasi sangat sulit untuk menarik ego keluar dari permainannya, untuk mengenali tipuan-tipuannya dan melarikan diri dari genggamannya. Kita membutuhkan bimbingan yang dapat menunjukkan jalan bagi kita untuk melewati karang, khususnya karena jejak itu yang sangat diinginkan oleh ego, tampak dari adanya rambu-rambu seperti, “Lewat Sini” , atau “Jalan Pintas”, yang kamu pikir semuanya baik-baik saja. Ego mendatangi dan menasehatimu, “Jika kamu melakukan ini, mungkin ada hasilnya, jika itu, ini. Ini cocok, tetapi yang itu tidak.”, dan dengan ‘nasihat yang baik’ itu ego mencari kesempatan untuk melemahkan hatimu, untuk memalingkan diri dari Allah Yang Maha Kuasa.

Tetapi ketika kalian berasosiasi dengan Syekh, ego dan apa yang dilakukannya dengan cepat akan dikenali dan menjadi nyata. Penyamaran ego dapat dengan mudah diketahui, sehingga di depanmu ia seperti berdiri, telanjang, dan terekspos. Kalian akan terkejut dan tiba-tiba berkata, “Itu tidak lain adalah egoku! Ia benar-benar rapi dalam penyamarannya sehingga aku menjadikannya sebagai penasihat yang sangat penting dan mulia, tetapi kini aku dapat melihatnya sama saja seperti bajingan lainnya.”

Asosiasi dengan Syekh ini dapat membantu kalian mengerti dan menyadari kesalahan kalian, lalu jika kalian bisa mengatasinya dan meninggalakan karakter buruk itu, dan meningkatkan diri kalian barulah kalian dapat mengalami kemajuan pesat.

Hal lain yang harus dimengerti adalah di mana pun kalian mengadakan majelis karena Allah SWT, menyatukan hati dengan guru-guru Tarekat Naqsybandi, maka pertemuan itu akan sama saja tingkatannya dengan asosiasi yang baru saja digambarkan tadi. Jangan membuat kesalahan dengan berpikir bahwa satu-satunya pertemuan yang bermanfaat adalah pertemuan di mana Syekh hadir secara fisik. Ketika kita saling bertemu, salah satu dari kita mungkin merupakan penghubung bagi masuknya inspirasi dari Syekh: seseorang harus berbicara dan yang lainnya mendengarkan, seseorang harus menerima dari Syekh dan yang lain melalui dia dari Syekh. Tarekat Naqsybandi adalah Jalan Sufi yang sangat kuat dalam menjalankan kebiasaan-kebiasaan Rasulullah SAW, dan asosiasi seperti ini adalah salah satu kebiasaan beliau, dan juga jalan dari para sahabat, sebagaimana beliau selalu menunjuk seorang pemimpin untuk menggantikannya ketika beliau berhalangan hadir.

Ya, seseorang harus berbicara dan yang lain mendengarkan. Dengan cara ini semua pertemuan dengan saudara-saudara kita akan diberkati. Jika lebih dari seorang yang berbicara, atau jika ada argumentasi dan saling mengklaim, maka tidak ada kekuatan spiritual dalam pertemuan itu dan hati kita akan tetap dingin. Oleh sebab itu, jika kita mengindikasikan bahwa salah satu saudara kita akan melakukan asosiasi dalam suatu pertemuan, maka yang lain harus mendengarnya. Ketika kalian mendengarnya, ia akan mampu menerima inspirasi dari Grandsyekh yang hatinya berhubungan dengan Rasulullah SAW, dan hati Rasulullah SAW selalu berhubungan dengan Allah SWT. Dengan cara ini Allah SWT akan membantu orang itu dan melimpahkan Berkah-Nya yang tidak terbatas, juga Rahmat, Pengetahuan, dan Samudra Kenikmatan-Nya, jadi melalui kata-katanya, orang yang hadir dalam pertemuan itu akan dibimbing menuju tujuannya masing-masing.

Ketika seseorang diminta untuk berbicara mewakili Syekh di manapun dan kapanpun, bisa jadi ada seratus, seribu, atau sejuta orang yang mendengarkannya dan setiap orang masing-masing dapat mengambil pelajaran apa yang ia butuhkan. Adalah mustahil jika seseorang berbicara atas nama Syekh tanpa ada yang memperoleh keuntungan dari pembicaraannya itu, sebaliknya setiap orang akan mengambil bagiannya.

Selama sekitar 40 tahun saya berasosiasi dengan Grandsyekh, dan saya terbiasa untuk menuliskan kata-katanya. Kalau dihitung-hitung semuanya lebih dari 7000 shuhba. Beliau sangat baik dengan sahabatnya dan dalam memberikan kebijaksanaanya, bahkan walaupun hanya satu orang yang hadir, beliau akan duduk dengannya dan mengajarinya. Beliau juga biasanya berbicara kepada orang banyak dengan cara yang mudah, tidak pernah kehilangan kata-kata ketika berbicara dengan seseorang atau sekelompok orang, baik anak-anak atau dewasa, laki-laki atau perempuan, pemuda dan orang tua, warga kota yang berpendidikan atau penduduk desa, beliau dapat menyampaikan pesan kepada mereka menurut kapasitas pikirannya, berbicara kepada mereka sesuai dengan tingkatannya, meskipun pada kenyataanya beliau sendiri buta huruf. Hal ini adalah mungkin karena ilmunya tidak diturunkan dari buku-buku, melainkan dari hati, dan lewat hatinya mengalir segala yang kita butuhkan.


Wa min Allah at tawfiq

No comments: