Shuhba Mawlana Syekh Muhammad Hisyam Kabbani QS
A'uudzubillaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillaahir rahmaanir rahiim
Wash-shalaatu was-salaamu 'alaa asyrafil Mursaliin Sayyidinaa wa Nabiyyina Muhammadin wa 'alaa aalihi wa Shahbihi ajma'iin
Bismillaah ir-Rahmaan ir-Rahiim
"Subhaana l-ladzii asraa bi 'abdihi laylan min al-masjid il-haraami ila l-masjid il-aqsha l-ladzii baaraknaa haulahuu linuriyahuu min aayaatinaa, Innahuu Huwa s-samii'u l-bashiir"
"Maha Suci Allah SWT, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkati sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." [QS 17:1]
Allah SWT telah mewahyukan hal ini sebagai ayat pertama dari Al-Qur’an surat Al-Isra’ (Perjalanan Malam), yang dikenal pula sebagai Surat Bani Israil (Keturunan Israil) atau Surat Pensucian (subhan). Di dalamnya Allah SWT menyebutkan perjalanan malam (al-isra') saat mana Dia memangil Nabi SAW ke Hadirat Ilahiah-Nya.
Sebagaimana Allah SWT memulai Quran Suci dalam Surat Pembuka al-Fatihah, dengan kata-kata "Al-Hamdu Lillah - Segala Puji hanya untuk Allah," dengan cara yang sama pula Dia membuka Surat al-Isra' [QS 17:1], surat tentang Perjalanan Malam (Isra'), dengan "Subhana - Maha Suci Allah." Allah SWT tengah mensucikan dan mengagungkan Diri-Nya sendiri dengan berfirman, "Subhana alladzii asra" yang berarti "Maha Suci Diri-Ku, Yang membawa Nabi SAW pada Perjalanan Malam, memanggilnya ke Hadirat Ilahiah-Ku."
Berada di luar jangkauan pemahaman akal pikiran manusia, Allah SWT di sini tidak hanya tengah mengingatkan kita akan peristiwa tersebut. Tapi, Dia juga mensucikan dan mengagungkan Diri-Nya Sendiri berkenaan dengan peristiwa itu, saat mana Dia memindahkan Nabi SAW hampir dalam sekejap waktu dari Mekah menuju Masjid Al-Aqsha, yang kemudian diikuti dengan Naiknya Nabi SAW (Mi'raj), berpindah tempat dalam waktu yang, secara ajaib, demikian singkat, melalui domain duniawi dari alam semesta ini hingga ke luar darinya, dan melampaui batasan-batasan hukum fisika.
Tak ada cara ilmiah, secara duniawi, yang dapat menjelaskan pada kita bagaimana Nabi SAW bergerak melintasi bumi seperti itu, dan kemudian dibawa menuju Hadirat Ilahiah Allah SWT: perjalanan semacam itu adalah di luar jangkauan imajinasi. Karena itulah, Allah SWT mensucikan Diri-Nya sendiri dengan berfirman, "Ya, itu terjadi! Maha Suci dan Agung Diri-Ku Yang bisa melakukan hal ini! Aku di luar jangkauan semua hukum-hukum dan sistem ini. Aku-lah Pencipta dari seluruh sistem."
Persiapan Malaikati untuk Perjalanan Menakjubkan Ini Malik bin Anas RA meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda, "Aku tengah terbaring di Hijr (di Masjid Haram Mekah) ketika seseorang (Malaikat Jibril AS) datang kepadaku dan membedah dadaku dari tenggorokan hingga perut. Ia mengambil jantungku dan membersihkannya dengan air sumur Zamzam sebelum mengembalikannya ke tempatnya semula. Kemudian ia membawa kepadaku suatu makhluk putih yang disebut al-Buraq, yang dengannya aku diterbangkan." Riwayat lain menceritakan bahwa dua malaikat utama, Jibril AS dan Mika'il AS datang pada Nabi SAW ketika beliau tengah berbaring di al-Hijr (Masjidil Haram di Mekah) dan mereka membawa beliau ke sumur Zamzam. Mereka membaringkan beliau pada punggungnya, kemudian Jibril AS membuka dada beliau dari atas hingga bawah, dan sama sekali tidak ada pendarahan. Jibril AS berkata pada Mika'il AS, 'Berilah aku air dari Zamzam,' yang kemudian diambil oleh Mika'il AS. Jibril AS mengambil jantung Nabi SAW dan mencucinya tiga kali sebelum mengembalikannya ke tempatnya semula. Kemudian ia menutup dada beliau dan mereka membawanya dari pintu masjid itu ke tempat di nama Buraq telah menanti."
Ilustrasi yang menggambarkan Malaikat Jibril AS bersiap-siap untuk membelah jantung Nabi SAW.
Malaikat Jibril AS sebetulnya mampu untuk mengambil jantung Nabi SAW secara ajaib dengan bedahan yang kecil atau malah tanpa membuka dada beliau sama sekali. Namun, di sini kita melihat dalam Sunnah Nabi SAW suatu petunjuk bagaimana melakukan suatu operasi jantung yang terbuka. Teknik yang sama untuk membuka seluruh rongga dada ini kini digunakan oleh para ahli bedah jantung.
Kesempurnaan Penghambaan ('Ubudiyyah)
Bagaimanakah Allah SWT menggambarkan pribadi yang Dia bawa dalam Perjalanan Malam tersebut? Dia melukiskan pribadi itu sebagai "hamba-Nya" - 'abdi hi. Abu Qasim Sulayman al-Ansari RA berkata bahwa saat Nabi SAW mencapai level tertinggi dan maqam yang paling terhormat, Allah SWT mewahyukan pada beliau, "Dengan apakah Aku mesti memberimu kehormatan?" Nabi SAW menjawab, "Dengan menghubungkan diriku pada-Mu melalui penghambaan ('ubudiyyah)." Karena hal inilah, Allah SWT mewahyukan ayat Quran Suci ini, dengan memberikan penghormatan bagi Nabi SAW dengan gelar "hamba-Nya" saat melukiskan Perjalanan Malam (Isra'). Allah SWT tidak memberikan karunia seperti itu sebelumnya pada Musa AS. Dia hanya berfirman, "Dan tatkala Musa AS datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan..." [QS 7:143] mengacu Musa AS dengan menggunakan namanya. (Sedangkan pada kasus Nabi Muhammad SAW) Bukannya berfirman, "Maha Suci Dia Yang telah memperjalankan Muhammad SAW...", melainkan Allah SWT memberikan kehormatan pada Nabi SAW dengan mengacu Nabi SAW sebagai 'abdihi, "hamba-Nya." Kesimpulan halus lainnya dari penggunaan istilah "'abdihi", --hamba-Nya (suatu konstruksi dalam bentuk absentia atau orang ketiga) oleh Allah SWT ini, adalah adanya makna bahwa, 'Dia memanggil Nabi SAW ke suatu kekosongan di mana tak ada sesuatu apa pun melainkan Kehadiran Diri-Nya Sendiri.' Dan yang lebih ajaib daripada hal memanggil Nabi SAW ke Hadirat-Nya adalah bahwa Dia membawa badan dan roh Nabi SAW, yang wujud dalam ruang dan waktu, ke suatu 'tempat' di mana tidak ada ruang dan waktu, tidak ada 'di mana' dan tidak ada pula 'kapan!'. Allah SWT membawa hamba-Nya yang tulus ini, Penghulu kita Muhammad SAW, dari wujud fisik kehidupan duniawi ini menuju Hadirat Ilahiah yang sepenuhnya abstrak.
Maqam Kedekatan pada Ilahi
Ayat ini berlanjut dengan melukiskan perpindahan Nabi SAW melalui maqam-maqam yang jumlahnya tak terhitung. Setelah menyempurnakan akhlaknya melalui ibadah yang terus-menerus, 'ubudiyyah, Masjidil Haram, atau Masjid Suci, di sini merupakan suatu simbol atau indikasi bahwa Nabi SAW telah diangkat dari seluruh dosa. Penggambaran Allah SWT akan Nabi SAW sebagai "'abd"—hamba-- mendahului penyebutan-Nya akan dua masjid: Masjid Suci (Masjid al-Haram) dan Masjid Yang Berjarak Jauh (Masjid Al-Aqsha). Allah SWT tidak mengatakan hamba-Nya dibawa "dari Mekah," melainkan Dia berfirman, "dari Masjid yang Suci," Masjid al-Haram. "Suci" di sini bermakna yang tak dapat diganggu gugat, tak satu pun dosa diperbolehkan dalam wilayahnya, tidak pula ghibah, tidak pula menipu, atau berdusta. Di sana, seseorang mesti selalu waspada akan Kehadiran Allah SWT.
Masjid al-Haram di Mekah
Masjid al-Haram, mewakili di sini suatu maqam di mana dosa-dosa yang menandakan kehidupan hewani tak lagi pernah dilakukan. 'Aqsha' dalam bahasa Arab bermakna 'Yang Terjauh'. Dus, Masjid al-Aqsha di sini disebut sebagai masjid terjauh dibandingkan dari Masjid al-Haram dan menyimbolkan alam atau realitas spiritual. Makna literalnya adalah, 'Ia membawa hamba-Nya dari Masjid al-Haram menuju Masjid pada ujung terjauh.' Secara simbolis, Allah SWT membawa Nabi SAW menjauhi hal-hal yang terlarang dari kehidupan duniawi ini, yang haram, menuju tempat terjauh darinya—Al-Aqsha. Titik terjauh dari kehidupan hewani adalah dimensi spiritual.
Hajar al-Aswad
Kontras di antara kedua maqam ini, lebih jauh didemonstrasikan dengan adanya batu-batu yang terkenal yang ada di kedua tempat suci ini. Di Masjid al-Haram, kita mengenal adanya Hajar al-Aswad (Batu Hitam) yang dikendalikan oleh batasan-batasan fisik, ditaruh dalam suatu wadah, jatuh dari surga dan menjadi gelap oleh dosa-dosa kemanusiaan. Di Masjid al-Aqsha, terdapat batu suci yang menandai tempat di mana Nabi SAW naik ke langit, dan batu ini mengambang secara ajaib di udara, mengabaikan hukum gravitasi, ingin untuk meninggalkan tarikan gravitasi bumi, untuk meluncur menuju Hadirat Ilahi.
Batu suci di Masjid al-Aqsha menandakan tempat Nabi SAW naik ke langit. Batu itu tetap melayang di udara mengabaikan gravitasi bumi.
Makna halus yang dapat diturunkan dari urutan kata-kata di sini adalah bahwa hamba sejati Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, memulai dari maqam 'ubudiyyah, penghambaan, yang juga adalah tujuan dari penciptaannya. Hal ini mengizinkan dirinya untuk memulai dari kedudukan (maqam) akhlak yang sempurna dan tak bercacat ('ismat), meninggalkan semua yang terlarang, meninggalkan kecintaan atas kehidupan duniawi ini (al-haraam) dan bergerak dari situ menuju maqam terjauh, tingkatan tertinggi dari seluruh ciptaan, sebagaimana ditandai oleh maqam dari masjid terjauh, al-Aqsha.
Masjid al-Aqsha di Jerusalem
Tahapan-tahapan Tasawuf
Dalam Ilmu Pensucian Jiwa, Tasawuf, tahapan-tahapan tersebut dinamai dengan Syariah, Tariqat, dan Haqiqat. Tahapan pertama terkait dengan bidang disiplin fisik, dari mana seorang pencari kemudian bergerak dalam "Jalan", Tariqah, dengan kendaraan 'ubudiyyah, penghambaan dan ibadah, dan kemudian naik menuju maqam haqiqat, realitas, di mana seluruh kebatilan dan kepalsuan punah, lenyap, dan Ketuhanan Allah SWT ditampakkan secara nyata pada sang hamba.
Allah SWT membawa Nabi Muhammad SAW ke Masjid al-Aqsha di Palestina, di mana hampir seluruh nabi menyambut beliau. Di sana beliau menjumpai seluruh nabi berkumpul, dan mereka melakukan salat secara berjamaah di belakang beliau. Dari sana Allah SWT mengangkat beliau menuju langit, seakan-akan Dia berfirman, 'Wahai nabi-nabi-Ku! Aku tidak pernah mengangkat seorang pun dari Masjid al-Aqsha seperti aku menaikkan Muhammad SAW.' Ini adalah untuk menunjukkan pada mereka bahwa Mi'raj (naiknya) Nabi Muhammad SAW—tidak seperti siapa pun di antara mereka, beliau tidak dibatasi oleh hukum-hukum alam semesta ini.
ilustrasi mengenai peristiwa Isra' Mi'raj Nabi SAW
Dinaikkan di Malam Hari, Bercahaya Bagaikan Bulan Purnama
Allah SWT kemudian mengangkat beliau dari Masjid al-Aqsha dengan cara Mi'raj, menuju Hadirat Ilahiah-Nya. Mengapakah Allah SWT menggunakan kata-kata, 'laylan--pada suatu malam'? Mengapa Dia tidak berkata, 'naharan--pada suatu siang'? 'Laylan' di sini mengilustrasikan kegelapan dari dunia ini, ia menjadi bercahaya hanya oleh bulan yang berkilau dari Nabi SAW yang terbit untuk menerangi semua kegelapan.
"Subhan al-ladzii asraa bi 'abdihi laylan". "Maha Suci Ia yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam..." Lihatlah pada setiap kata dari ayat suci ini. Pertama-tama Allah SWT memuji Diri-Nya sendiri dalam bentuk orang ketiga, in absentia. Allah SWT kemudian secara ajaib memindahkan Nabi SAW dari Mekah menuju Masjid al-Aqsha (asra'). Kemudian Dia mengacu Nabi SAW sebagai "'abd - hamba", memberi beliau kehormatan melalui gelar tertinggi itu sebagai seseorang yang terkait dengan kehidupan spiritual, bukan kehidupan hewani. Risalah Nabi Muhammad SAW melengkapi dan menyempurnakan baik disiplin fisik dan hukum (syari'ah) dari Musa AS maupun spiritualitas (rawhaniyya) dari 'Isa AS. Syari'ah dari Musa AS berkaitan dengan kehidupan duniawi ini, sedangkan spiritualitas 'Isa AS terkait dengan kehidupan surgawi. Dengan melalui dan melampaui kehidupan duniawi, yang diwakili oleh Isra' (Perjalanan Malam), menuju kehidupan surgawi, yang diwakili oleh Mi'raj, Nabi SAW dibawa di atas kedua sayap ini. Tak seorang pun nabi dibawa dalam kedua dimensi ini kecuali Junjungan kita, Sayyidina Muhammad SAW.
Kendaraan-kendaraan Nabi SAW Salah seorang dari ulama-ulama besar bidang Tafsir Quran, al-'Ala'i RA berkata, "Pada Malam Mi'raj Nabi SAW menggunakan lima kendaraan yang berbeda-beda. Yang pertama adalah Buraq, suatu makhluk bersayap yang membawa beliau dari Mekah menuju Masjid al-Aqsha. Yang kedua adalah Kenaikan (Mi'raj) yang dengannya Nabi SAW mencapai langit dunia ini, as-sama' ad-dunya'. Ada dua penjelasan untuk Mi'raj: satu, bahwa Buraq membawa Nabi SAW ke atas, dan yang kedua, bahwa sebuah 'tangga' turun dan menaikkan Nabi SAW dengan amat cepat. Kendaraan ketiga adalah sayap-sayap para Malaikat yang membawa Nabi SAW hingga langit ketujuh. Kendaraan keempat adalah sayap-sayap Jibril AS yang membawa beliau dari langit ketujuh menuju Sidrat al-Muntaha, 'Pohon Lotus Terjauh'. Kendaraan kelima adalah suatu karpet (ar-raf raf) yang membawa beliau hingga maqam 'dua ujung busur panah--qaba qawsayn.' [QS 53:9]." "Serupa dengan itu, Nabi SAW berhenti pada sepuluh maqam yang berbeda: tujuh langit dan yang kedelapan di Sidrat al-Muntaha. Yang kesembilan adalah tempat di mana beliau mendengar suara dari pena-pena Malaikat yang tengah menulis amal perbuatan manusia, dan maqam kesepuluh adalah di 'Arsy (Singgasana). Wallahu A'lam, dan Allah SWT-lah yang lebih tahu."
Aspek Mukjizat dari Isra' dan Mi'raj
Seluruh kejadian-kejadian ajaib ini terjadi di malam Perjalanan Malam dan Kenaikan, Laylat al-Isra' wal-Mi'raj. Banyak hadis-hadis yang menjelaskan detail peristiwa-peristiwa di Perjalanan Malam ini yang telah disahihkan oleh berbagai huffaz (Ahli Hadis) seperti Ibn Shihab RA, Tsabit al-Banani RA, dan Qatada RA. Allah SWT mendukung nabi-nabi-Nya dengan keajaiban-kejaiban (mu'jizat) agar mampu melampaui hukum-hukum fisika dan batasan-batasan realitas kemanusiaan kita. Jika Allah SWT mengaruniakan suatu mukjizat, janganlah kita memandangnya sebagai sesuatu yang tak mungkin, jika kita seperti itu, maka kita hanya akan menjadi seperti ilmuwan yang tak mampu memahami apa pun di luar jangkauan persepsi mereka.
Para ulama berbeda pendapat pada malam apa perjalanan agung ini terjadi. Imam Nawawi RA berkata bahwa Perjalanan ini terjadi di bulan Rajab. Dalam kitab ar-Rawda karangan Nawawi RA, ia menyatakan bahwa peristiwa ini terjadi sepuluh tahun dan tiga bulan setelah awal Kenabian, sedangkan Fatawa menyatakan bahwa peristiwa Perjalanan Malam ini terjadi lima atau enam tahun setelah permulaan wahyu. Apa pun kasusnya, para ulama sepakat bahwa Laylat al-Isra' wal Mi'raj ini terjadi baik pada badan maupun roh (dari Nabi SAW).
Visi Ibrahim AS dan Dimensi Spiritual
Allah SWT berfirman dalam Qur'an Suci: "Wa kadzaalika nurii Ibraahiima malakuut as-samaawaati wa l-ardhi wa liyakuuna min al-muuqiniin" "Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim AS tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim AS itu termasuk orang-orang yang yakin." [QS 6:75]
Allah SWT menunjukkan kerajaan langit dan bumi pada Nabi Ibrahim AS, dengan membuka pandangan spiritual Ibrahim AS (basiirah) agar beliau melihat keindahan dan keajaiban alam semesta dari tempat beliau berpijak di bumi. Allah SWT menunjukkan pada beliau apa yang di luar hukum-hukum alam semesta fisik, melalui mata kalbunya. Sekalipun demikian, segera setelah ayat ini, Allah SWT telah menunjukkan pula pada Ibrahim AS keagungan-keagungan di balik alam semesta fisik, "Falammaa janna 'alaihi l-laylu ra-a kawkaban qaala haadza rabbiy..." "Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: 'Inilah Tuhanku'" [QS 6:76]. Dalam ayat-ayat berikutnya Ibrahim AS, secara serupa, "keliru" pula menganggap bulan dan matahari sebagai tuhannya: "Falammaa ra-a l-qamara baazighan qaala haadzaa rabbiy, falammaa afala qaala la in lam yahdii rabbiy la-akuunanna min al-qawm id-dhaalliin; falammaa ra-a s-syamsa baazighatan qaala haadzaa rabbiy.." "Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: 'Inilah tuhanku.' Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: 'Sesungguhya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat; Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: 'Inilah tuhanku...'" [QS. 6:77-78]. Ayat-ayat ini yang berkaitan dengan bintang-bintang, bulan dan matahari adalah ditujukan pada orang-orang yang tidak beriman. Allah SWT menunjukkan pada Ibrahim AS Kebenaran dan ia telah meraih keyakinan dalam iman (sebagaimana ditunjukkan ayat 6:75, red.).
Sebagai seorang nabi, Ibrahim AS juga bebas dari dosa, dan dus, tak mungkin untuk menganggap selain Allah SWT sebagai Tuhannya. Tetapi, adalah tugas Ibrahim AS untuk menyampaikan suatu Risalah Samawi (Pesan Langit). Untuk berusaha membawa setiap orang berada dalam naungan Rahmah Allah SWT, Ibrahim AS mencoba untuk mengajar ummatnya dengan cara yang sedemikian rupa hingga tidak membuat mereka menolak pesan dakwahnya. Dengan secara bijaksana menggunakan suatu proses eliminasi, ia menunjukkan pada mereka bahwa suatu dimensi spiritual benar-benar wujud/ada. Ibrahim AS menghilangkan bintang (sesuatu yang kecil), kemudian bulan, kemudian matahari (benda langit yang nampak terbesar). Ibrahim AS menegaskan kembali keyakinan sejatinya pada Allah SWT dan pemalingan dirinya dari gangguan-gannguan duniawi dengan mengatakan, "Falamma afalat qaala yaa qawmi innii barii-un mimmaa tusyrikuun. Innii wajjahtu wajhiya li l-ladzii fathar as-samaawaati wa l-ardha haniifan, wa maa ana min al-musyrikiin." "maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata, 'Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan'." [QS 6:78-79] Makna dari penunjukan ini adalah: jangan mengejar hal-hal dari kehidupan duniawi ini, tapi carilah dimensi spiritual yang melampaui semua hukum-hukum alam semesta fisik.
Di zaman kita saat ini, ilmuwan-ilmuwan yang materialistik dan beberapa sekte Islam yang berpikiran sempit mencoba untuk menyangkal spiritualitas, dimensi keempat, yang telah Allah SWT tunjukkan pada Ibrahim AS. Mereka yang menolak dan menyangkal adanya dimensi spiritual dari Islam, maka mereka tengah terjatuh dalam perangkap yang sama seperti yang dialami oleh kaum Ibrahim AS. Nabi Muhammad SAW bersabda, 'Yang paling kutakutkan bagi umatku adalah syirk tersembunyi (membuat partner bagi Allah SWT).' Syirik tersembunyi adalah bagi seseorang untuk merasa bangga akan dirinya sendiri, yang paling mudah termanifestasikan dalam bentuk penolakan atas kata-kata orang lain.
Perbedaan atau Kehormatan dari Kenaikan (Mi'raj) Nabi Muhammad SAW
Nabi Ibrahim AS telah ditunjukkan padanya kerajaan malakut, dari langit dan bumi. Nabi Musa AS tidak melihat kerajaan ini. Tetapi, Musa AS mampu untuk mendengar Allah SWT dan berbicara langsung pada Allah SWT dari Gunung Sinai, sehingga beliau dikenal sebagai Kalimullah (ia yang berbicara dengan Allah SWT secara langsung). Sekalipun Ibrahim AS dikaruniai kemampuan untuk melihat dalam dimensi-dimensi spiritual, dan Musa AS dikaruniai kemampuan untuk mendengar Allah SWT secara langsung, tubuh dan badan dari kedua nabi besar ini tetap tinggal di bumi, dan dikenai hukum-hukum fisika-nya. Pandangan (visi) Nabi Ibrahim AS dan pendengaran Nabi Musa AS melampaui batasan fisik melalui kekuatan roh mereka, tetapi tubuh mereka tidaklah bergerak melampau dunia fisik ini.
Tetapi, Allah SWT telah membuat Nabi Muhammad SAW bergerak dalam dimensi-dimensi spiritual dengan tubuh fisik beliau dalam kebebasan paripurna dari hukum-hukum fisika. Allah SWT menyebut Nabi SAW "linuriyahu min aayaatinaa..." "agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dati tanda-tanda (kebesaran) Kami..." [QS 17:1]. Allah SWT menunjukkan pada Ibrahim AS kerajaan alam semesta ini, tapi Ia menggerakkan Nabi SAW dalam tubuh dan ruh beliau di luar hukum-hukum fisika alam semesta ini, untuk menunjukkan pada beliau 'tanda-tanda Kami', aayaatina. Bentuk kepemilikan (possesive) yang terkait dengan Tanda-tanda (Aayaat) sebagai milik dari Allah SWT secara langsung, menunjukkan kehormatan yang lebih agung dan pengetahuan yang dianugerahkan pada Nabi SAW. Kerajaan langit dan bumi yang ditunjukkan! pada Nabi Ibrahim AS adalah karya dalam lingkup alam semesta fisik ini, dan tidak menjangkau Surga, sedangkan ayat-ayat Allah SWT yang ditampakkan pada Nabi Muhammad SAW langsung terkait dengan Allah SWT dan tidak terhubung dengan dunia ini.
Visi (Penglihatan) Nabi SAW akan Tuhannya dan Kesempurnaan Tawhiid
"Lalu Allah SWT mewahyukan pada hamba-Nya apa yang ia wahyukan. Hati Nabi SAW tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Maka apakah kamu hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? Dan sesungguhnya Muhammad SAW telah melihat-Nya lagi pada waktu yang lain, di Sidratil Muntaha, di dekatnya ada surga tempat tinggal. Ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak pula melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda Tuhannya Yang paling besar." [QS 53:10-18].
Imam Nawawi RA dan almarhum Imam Mutawalli Sya'rawi RA sepakat dengan mayoritas ulama dalam menafsirkan ayat-ayat ini, bahwa maknanya adalah Nabi SAW melihat Tuhannya di waktu lain, bukannya bahwa ia melihat Jibril AS di waktu lain, sebagaimana beberapa menyatakan. Imam Nawawi RA meriwayatkan dalam komentar (syarah) Sahih Muslim-nya, "Sebagian besar ulama berkata bahwa Nabi SAW melihat Tuhannya dengan kedua mata kepalanya-- ra'a rabbahu bi'aynay ra'sihi. Nabi SAW datang melalui suatu perjalanan panjang menuju Singgasana Ilahiah (arsy), mencapai qaaba qawsayni (jarak dua ujung busur panah), dan mencapai Surga Jannat al-Ma'wa di dekat Sidrat ul-Muntaha.
Setelah semua ini, Imam Sya'rawi RA bertanya, "Apakah yang membuat penglihatan Nabi SAW tidak berpaling? Beberapa mengatakan bahwa itu adalah Jibril AS, tapi Nabi SAW telah melihat Jibril AS dalam banyak kesempatan dan Jibril AS menyertai dan bersama beliau selama masa Perjalanan Malam dan Kenaikan (Isra' Mi'raj) itu. Adalah irrelevan untuk mengatakan bahwa pada hal inilah pandangan Nabi SAW tidak berpaling atau tidak lepas, karena jika ini mengacu pada Jibril AS, maka Nabi SAW telah memiliki berbagai kesempatan untuk telah melihatnya. Allah SWT tidaklah mengatakan sesuatu yang irrelevan, dan karena inilah saya berpihak pada mayoritas ulama (termasuk Imam Nawawi RA) dengan mengatakan bahwa dengan mata fisiknyalah Nabi SAW melihat Allah SWT."
"Laqad ra'a min aayaati rabbi hi l-kubraa" "Sungguh dia telah melihat sebagian ayat-ayat Tuhannya yang paling agung." [QS 53:18]. Apakah kemudian yang bisa menjadi Ayat Terbesar bagi Nabi SAW selain dari penglihatan akan Tuhannya? Karena Nabi SAW telah melihat semua tujuh tingkatan dari Surga, kemudian naik ke tingkatan yang lebih jauh dari ciptaan apa pun sebelum maupun sesudahnya, menuju "jarak dua ujung busur panah". Dinyatakan dalam hadits bahwa karunia terbesar bagi orang-orang beriman di kehidupan Akhirat bukanlah kenikmatan-kenikmatan Surga, melainkan melihat Tuhan mereka setiap hari Jumat. Jika orang-orang beriman, baik yang awam maupun yang khawas, akan melihat Tuhan mereka di akhirat nanti, jelas tentu saja, "Ayat Terbesar" bagi Kekasih-Nya Nabi Muhammad SAW tak mungkin kurang dari itu.
"Wa maa ja'alna r-ru'ya l-latii arainaa-ka illaa fitnatan li n-naasi" "Dan tidaklah Kami karuniakan visi yang Kami perlihatkan padamu (Ya Muhammad SAW) melainkan sebagai ujian bagi manusia."[QS. 17:60]. Berkenaan dengan ayat ini, Ibn 'Abbas RA berkata, "Rasul Allah SAW benar-benar melihat dengan matanya sendiri visi (dari semua yang ditunjukkan pada beliau) pada malam Isra' ke Jerusalem (dan kemudian ke langit)..." Inilah keagungan Nabi Muhammad SAW. Tak seorang pun pernah melihat Tuhannya selain dari Muhammad SAW, yang menjadikannya sebagai satu-satunya monoteis (muwahhid) sejati. Tak seorang pun kecuali Muhammad SAW mencapai suatu pemahaman sempurna akan Keesaan Ilahiah—Tawhid--pemahaman siapa pun selain beliau akan tawhid hanyalah peniruan (taqliid).
Nabi Ibrahim AS adalah Bapak para nabi dan beliau dikaruniai visi spiritual untuk melihat karya-karya dalam alam semesta ini dan Nabi Musa AS dikaruniai kemampuan berbicara langsung dengan Tuhannya. Tetapi, Allah SWT memindahkan Nabi Muhammad SAW dengan tubuh fisiknya, bertentangan dengan hukum-hukum fisika alam semesta, menuju ke Keghaiban, suatu tempat di mana tak ada apa pun dan tak ada kemungkinan akan apa pun--"la khala wa la mala". Allah SWT membawa Muhammad SAW ke sana dan membukakan bagi beliau Diri-Nya Sendiri, dengan cara yang Dia kehendaki. Bagaimana ini terjadi, kita tak mengetahuinya. Ini tak terlihat dan tak diketahui (ghayb). Dus, sebagaimana Ibn 'Abbas RA berkata, ini adalah suatu perkara untuk diimani dengan penerimaan penuh, dan bukan suatu perkara untuk dipertanyakan.
Penjelasan tentang Ayat-Ayat tentang Berhala
"Maa zaagha l-basaru wa maa taghaa, laqad ra-a min aayaati rabbihi l-kubraa, afara-aitum ul-laata wa l-'uzza wa manaata ts-tsaalitsat al-ukhraa" "Penglihatannya tidak berpaling dan tidak lepas. Sungguh ia telah melihat Tanda-Tanda Terbesar Tuhannya. Maka apakah kalian melihat Lat dan 'Uzza dan yang ketiga Manat?" [QS 53:17-20]
Mengapakah Allah SWT menyebut ketiga tuhan-tuhan palsu ini; Lat, 'Uzza dan Manat, yang disembah oleh para musyrikin Mekah, segera setelah Dia menyebut "Ayat-ayat Terbesar Tuhannya" dalam ayat 53:18? Para ulama berkata bahwa ayat 53:18 menunjukkan bahwa Muhammad SAW telah mencapai pemahaman sempurna akan Keesaan (Tawhid) Allah SWT, sementara ayat 53:19-20 sebagai kontrasnya, menunjukkan bahwa berhala-berhala ini tak lebih dari buatan para pemahatnya. Jika "Ayat-ayat terbesar" [QS 53:18] mengacu pada Jibril AS, tentu kemudian tidak akan diikuti dengan (ayat) yang menyebut berhala-berhala palsu sesudah ayat itu.
Nabi Ibrahim AS menyebut sebuah bintang, bulan, dan matahari - tiga entitas dari kehidupan duniawi ini--sebagai objek-objek yang secara keliru telah dianggap tuhan selain Allah SWT. Dan dalam surat Bintang (an-Najm), Allah SWT menyebutkan al-Lat, al-'Uzza, dan Manat, sekali lagi tiga tuhan-tuhan palsu, segera setelah mendeskripsikan bahwa Nabi Muhammad SAW melihat Tuhannya, sebagaimana dijelaskan oleh sebagian besar ulama. Kedua wahyu [dalam surat yang berbeda tentang Ibrahim AS dan Muhammad SAW] ini menolak konsep batil dari penyembahan berhala, dan secara halus pula menekankan ide palsu akan suatu trinitas, yang mencakup sebagian besar dari bentuk-bentuk kemusyrikan. Keesaan adalah bagi Allah SWT Yang Maha Tinggi dan Maha Suci, Yang Satu--al-Wahid, Yang Unik--al-Fard, Yang Abadi--as-Shamad.
Wa min Allah at tawfiq
© Islamic Supreme Council of America,
http://www.islamicsupremecouncil.org
No comments:
Post a Comment