17 May 2008

Saat Tragedi Mendatangi Kehidupan Kita, Bagaimana Kita Menjaga Iman Kita akan Rahmat Allah SWT?

A'uudzubillaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillaahir rahmaanir rahiim
Wash-shalaatu was-salaamu 'alaa asyrafil Mursaliin Sayyidinaa wa Nabiyyina Muhammadin wa 'alaa aalihi wa Shahbihi ajma'iin


Pertanyaan:
Syekh Effendi, saat kita menyaksikan keindahan terbitnya matahari dan langit tanpa batas yang penuh dengan bintang, kita merasa dan mengetahui dengannya akan keberadaan Sang Pencipta dan bahwa Dia adalah Yang Maha Agung. Tetapi, terkadang dalam hidup seseorang terjadi peristiwa yang menyedihkan dan mengerikan: ketika orang yang kita cintai wafat --orang tua, saudara, teman. Saat tragedi mendatangi kehidupan kita, bagaimanakah kita mampu menjaga iman kita akan rahmat Tuhan, bagaimanakah kita dapat merasakan bahwa Dia peduli akan apa yang terjadi pada setiap orang dari kita?


Jawaban dari Mawlana Syekh Nazim Haqqani QS:

Kini, tamu terhormat kita telah menanyakan suatu pertanyaan yang amat penting yang pasti ditanyakan oleh setiap orang di dunia ini dalam hatinya masing-masing.

Kedua matanya telah terbuka akan Keagungan Tanpa Batas dari Sang Pencipta melalui keajaiban dan keindahan yang telah Dia ciptakan untuk hal itu. Karena itulah, ia memuji sang Pencipta dan berkata bahwa tanda-tanda yang menakjubkan dalam alam semesta ini dan kesempurnaan serta keharmonisan dari pergerakan rumit benda-benda langit, serta keseimbangan alam dan lain-lain akan menyebabkan seseorang tersadar akan Kebesaran Sang Pencipta, Sang Pemelihara dan Sang Pemandu dari Semua Ciptaan.

Tamu kita tersebut telah menyadari, sebagaimana semua orang yang beriman, bahwa Rahmat tanpa akhir dari Tuhan meliputi seluruh alam semesta, karena tanpanya baik diri kita maupun makhluk lain tak akan mampu wujud dan mendapatkan bagian rezekinya. Ia telah melihat bahwa diri kita tengah berenang dalam Samudera-samudera Rahmat Allah SWT. Tetapi, ia bertanya, sebagaimana juga dilakukan begitu banyak orang, bagaimanakah kita bisa mendamaikan keimanan kita akan Rahmah Allah SWT ini dengan kepahitan dan kengerian yang kita rasakan saat kematian orang-orang tercinta atau saat terjadinya peristiwa-peristiwa yang tampak kejam dan mengerikan di dunia ini. Ia tengah bertanya bagaimanakah kita mampu menangani keraguan yang merasuki pikiran kita berkaitan dengan rahmat tadi, bagaimanakah kita menangani suara yang berkata pada diri kita: "Jika Allah SWT begitu penyayang, bagaimana mungkin Dia mengizinkan peristiwa-peristiwa seperti itu terjadi?"

Kemarin kita telah berbicara tentang penciptaan Adam AS, dan kita berkata bahwa, menurut tradisi, anak cucu Adam AS telah dikaruniai kedudukan paling terhormat di antara seluruh makhluk di dunia ini, suatu kedudukan sebagai wakil-wakil (khalifah) dari Pencipta mereka.

Setiap makhluk boleh untuk meminta memiliki posisi yang demikian tinggi itu, tetapi Allah SWT mengingatkan mereka semua, dengan bertanya: "Siapa di antara kalian yang siap untuk membayar harganya dan memikul beban dari kedudukan yang paling terhormat itu? Siapa yang mampu memikul kedudukan terberat itu di atas bahunya?" Ya, kepada seluruh ciptaan dipertunjukkan pada mereka sifat dan karakteristik kedudukan terhormat itu, beserta tanggung jawab-tanggung jawab yang menyertainya. Sebagaimana Allah SWT menyatakan dalam Quran Suci:

"Sungguh, telah Kami tawarkan amanah itu pada Langit, Bumi, dan gunung-gunung; dan mereka semua menolak untuk menerimanya, dan mereka takut untuk mengkhianatinya. Tetapi, manusia, ia mengambilnya untuk dirinya sendiri dan memikulnya. Sungguh ia amat zalim, dan amat bodoh." [33:72]

Dan Dia membukakan bagi seluruh ciptaan apa yang termaktub dalam amanat itu, sehingga tak ada satu ciptaan pun yang akan berkelit bahwa ia telah dibebani suatu beban di luar dari apa yang ia sendiri telah terima. Sebagai hasilnya, ketika mereka dihadapkan pada pilihan itu, seluruh ciptaan menolak untuk mengambilnya bagi diri mereka sendiri, dengan mengatakan bahwa mereka tak dapat mempercayai diri mereka sendiri dengan suatu tugas yang memiliki kondisi dan persyaratan seperti itu (amanat); mereka berkata bahwa mereka takut menghadapi tantangan yang demikian berat seperti itu. Tetapi manusia berkata, "Aku dapat memikulnya. Aku siap untuk melakukan pengorbanan yang diperlukan, aku siap untuk membayar harganya."

Di sinilah, kemudian, terletak jawaban bagi kalian. Jika kalian mengklaim kehormatan itu, jika kalian menghargai kemuliaan posisi kalian sebagai "Mahkota Ciptaan", jika kalian mempertimbangkan bahwa hal yang memisahkan diri kalian dari anjing dan monyet tersebut, patut untuk dijaga, patut untuk diberi pengorbanan, maka kalian pun mesti siap untuk menerima dan setuju dengan keputusan dan takdir Tuhan kalian; itulah harga yang kalian bayar untuk kedudukan paling terhormat itu. Kalian tak boleh menolak apa yang Dia kehendaki dalam mengarahkan jalan kehidupan ciptaan-Nya. Dia melakukan apa pun yang Dia Kehendaki, dan kewajiban diri kita adalah untuk bersabar dalam perkara-perkara yang berada di luar jangkauan pengaruh kita (seperti ketakterhindaran kematian), demi kecintaan dari Tuhan kita, karena Dia telah berikan cinta-Nya pada keturunan Adam AS di atas semua makhluk lainnya.

Lihatlah, Tuhan kita meminta Nabi Ibrahim AS untuk menyembelih putranya Ismail AS demi cinta Tuhannya. Dalam cerita ini terdapat suatu pelajaran bagi diri kita semua. Ia memerintahkan Ibrahim AS, "Sembelihlah anakmu demi Diri-Ku. Harga dari Cinta-Ku jauh lebih tinggi daripada pengorbanan dari cinta yang kau labuhkan pada putra kesayanganmu itu. Berikan cinta itu (yang kini kau berikan bagi anakmu) pada-Ku pula: dengan menyembelihnya, berikan (cinta itu) pada-Ku."

Kemudian Ibrahim AS bersiap untuk menaati Tuhannya, sekalipun Setan mencoba berulang kali untuk membujuknya. Dus, (dengan membuktikan kesiapannya untuk melaksanakan perintah Tuhan) Ibrahim AS membuktikan keteguhannya (istiqamah) dalam menaati perintah Ilahi. Tetapi, Tuhan, yang tidak membutuhkan darah pengorbanan, melainkan menerima ketulusan yang dipersembahkan melalui kurban itu, mencegah pisau (milik Ibrahim AS) dari melakukan pemotongan. Dia memerintah pada pisau: "Jangan memotong!" Hingga ketika Ibrahim AS berusaha menyembelih leher anaknya, pisau itu tak juga dapat memotong, bahkan tak mau untuk menyayat segores pun, sekalipun Ibrahim AS telah mengasahnya sendiri dengan kerajinan dan ketekunannya. Berulang kali ia menggoreskan pisau itu atas leher halus putranya, tetapi tanpa ada hasilnya. Pada akhirnya Ibrahim AS melempar pisaunya. Dan untuk menunjukkan pada Ibrahim AS, akan Kekuatan dari Kehendak-Nya, Allah SWT membuat pisau itu menebas menembus suatu batu besar bagaikan sebilah pisau menyayat sepotong keju. Kemudian seorang Malaikat muncul di hadapan Ibrahim AS yang tengah terkejut, berkata: "Wahai Ibrahim AS, jangan kau berpikir bahwa pisaumu tumpul! Kau telah buktikan ketulusanmu, kini ambillah domba ini dan sembelihlah ia..."

Allah SWT telah mengaruniakan Cinta Ilahiah-Nya pada keturunan Adam AS, dan kita telah merespon pada Tuhan kita, dengan mengatakan: "Kami adalah benar bagi-Mu, wahai Tuhan Kami." Kemudian Dia Yang Maha Agung berkata, "Akan Kucoba dirimu, untuk menguji seluruh diri kalian untuk melihat siapa yang benar atas klaimnya mencintai-Ku." Siapakah yang mampu bertahan dengan cobaan seperti yang menimpa Ibrahim AS? Tetapi, dalam keseluruhan hidup kita, banyak pula berbagai cobaan menimpa, dan dengan bersabar dalam menghadapi cobaan-cobaan itu, kita akan memperoleh cinta tanpa batas dari Tuhan kita.

Salah seorang wali terkenal dalam Islam adalah Raja dari negeri Balkh, yaitu Ibrahim bin Adham QS. Ia meninggalkan kerajaannya demi Tuhannya dan pergi untuk hidup dengan apa yang ia peroleh dari melakukan kerja buruh yang kasar, dan mendarmabaktikan waktu luangnya, dan seluruh hatinya, untuk pengabdian bagi Tuhannya.

Saat ia turun dari tahtanya, ia pergi meninggalkan pula di belakangnya istri yang tengah hamil. Setelah dua belas tahun, anak laki-laki yang dilahirkan istrinya tersebut mulai bertanya tentang ayahandanya. Sang anak pun pergi mencari ayahandanya, dan berhasil melacak jejak ayahnya hingga akhirnya ia menjumpai ayahandanya di Mekah. Ibrahim bin Adham QS mengetahui bahwa anak tersebut adalah putranya, begitu ia pertama kali melayangkan pandangan matanya pada wajah mulia sang anak. Ibrahim bin Adham QS berkata,"Kau adalah putraku." Sang anak berkata, "Kau adalah ayahandaku." Kemudian Ibrahim bin Adham QS berdoa pada Tuhannya, "Wahai Tuhanku, Kau lebih tahu bahwa hingga kini, seluruh cintaku hanya kupersembahkan bagi-Mu. Kini telah kulihat bahwa sebagian cintaku telah berlabuh pada putraku ini. Wahai Tuhanku, seluruh yang kuinginkan dalam hidup ini adalah agar keseluruhan hatiku murni hanya teruntuk bagi-Mu; karena itu aku memohon-Mu untuk mengubah cinta yang ada dalam hatiku bagi anakku ini menjadi cinta bagi-Mu."

Kemudian Allah SWT memanggil roh anak laki-laki Ibrahim bin Adham QS ke Hadirat Ilahiah-Nya (yaitu mewafatkannya-red.) Cinta yang dimiliki sang anak bagi ayahnya telah ditransformasikan menjadi Cinta Ilahi, sehingga ia pergi ke Hadirat Ilahi dalam keadaan suci sempurna; dan cinta yang dimiliki Ibrahim bin Adham QS bagi putranya tersebut juga menembus relung Cinta Ilahiah, bersatu dengan Samudra-Samudra Cinta Ilahiah dalam kalbu kewaliannya.

Allah SWT adalah "Al-Ghayyur" atau "Tuhan Yang Pencemburu". Dia menyuruh diri kita untuk menyatukan semua cinta yang kita rasakan, ke dalam Cinta Ilahiah-Nya; untuk mengambil cinta yang kita miliki dan rasakan bagi orang-orang tercinta kita dan mentransformasikannya, mengubahnya menjadi suatu cinta yang akan menembus relung Cinta Ilahi. Inilah makna dari Dia yang menginginkan suatu "kalbu suci" (qalbun saliim) dari hamba-hamba-Nya, karena semua yang kau cintai dalam diri kekasih-kekasihmu (orang-orang yang kau cintai) tak lain tak bukan adalah suatu tarikan dari seberkas cahaya Atribut-Atribut Tuhanmu yang kau lihat dalam diri mereka, yang berkilau melalui keakraban di antara dirimu dan diri mereka lalu menjangkau hatimu.

Semua orang-orang yang kau cintai itu akan mati, dan begitu pula dirimu; tetapi jika cinta itu mencapai penerima sejati dari semua cinta, maka tujuan utama dari cinta manusia telah teraih, dan hal ini diterima serta menyenangkan dalam Hadirat Ilahiah. Namun, jika kita gagal untuk berserah diri pada keputusan Tuhan kita akan kefanaan dari seluruh makhluk-makhluk-Nya, dan membenci-Nya karena menaruh diri kita dalam suatu wujud sementara yang dipenuhi bayangan-bayangan, keadaan dan perasaan yang berlalu, maka hidup ini pun akan menjadi suatu pil yang terlalu pahit untuk ditelan. Dalam kasus seperti itu, hidup pun dengan sendirinya menjadi suatu samudra kesedihan, karena bagaimana pun Dia memanggil semua hamba-hamba-Nya, satu demi satu, kembali ke Hadirat Ilahiah dan meninggalkan diri kita dan dunia ini.

Dialah Tuhan kita, satu-satunya Pemelihara keberadaan diri kita. Dia memiliki hak dan kekuasaan atas kita dan mencoba diri kita untuk melihat siapakah yang benar dan berpegang pada cinta dari Tuhan mereka. Karena itulah, segala macam bentuk kejadian bisa terjadi: orang-orang tercinta bisa mati, orang-orang muda mati, saudara, orang tua, istri atau suami akan mati. Kemudian, Dia akan melihat apa yang kalian lakukan: Dapatkah diri kalian mengubah cinta kalian dan membuat tragedi tersebut menjadi suatu sebab untuk meningkatkan cinta kalian pada Tuhan kalian? Begitu sedikit orang memahami hal ini, dan karena itulah mengapa mereka tak mampu melihat Hikmah Ilahiah di balik peristiwa-peristiwa yang menyedihkan. Mereka tak menyadari bahwa Tuhan kita tengah mengisyaratkan pada diri kita untuk mencintai-Nya sepenuhnya dan secara eksklusif; karena itulah mereka menjadi menderita.

Segala sesuatu yang Allah SWT berikan pada keturunan Adam AS adalah sementara, tak berharga untuk cinta sejati itu. Kalian harus memberikan cinta kalian pada Dia yang selalu wujud dan eksis--dari pra-keabadian hingga pasca-keabadian.

"Maha Suci Dia Yang Maha Hidup (Tuhan), yang bagi-Nya tak ada Kematian"

Karena itu, kalian mesti tersadar akan hakikat-hakikat ini dan jangan pernah berpikir bahwa kejadian-kejadian di sekitar kalian itu mewakili keputusan-keputusan dari seorang Tuhan yang tak punya belas kasihan. Tidak! Karena dalam kejadian-kejadian yang nampak kejam tersebut terkandung kasih sayang tanpa batas, sebagaimana Tuhan kita akan membalas kebaikan bagi diri kita sesuai dengan kerasnya cobaan yang kita alami: balasannya adalah lebih banyak, lebih banyak, dan lebih banyak lagi Cinta-Nya. Kapan pun kejadian-kejadian yang menyedihkan dan tak disukai menimpa dirimu, Tuhanmu menjadikannya sebagai sarana bagimu untuk mendekat pada-Nya, agar Dia menumpahkan Samudra-Samudra Cinta-Nya yang tanpa akhir bagi hamba-hamba-terkasih-Nya.

Ini adalah suatu titik yang paling penting dan yang paling berat. Kita harus memahami hikmah-hikmah ini dan maknanya. Tetapi, pemahaman akan hikmah ini akan tetap menghindari diri kita selama masih saja berpikir bahwa ini semua hanyalah sekedar kata-kata. Cinta Ilahiah itu harus dirasakan. Sekalipun saya banyak mengulang kata-kata, "Madu, madu, madu..." atau melukiskan karakteristik dan cita rasa madu, kalian tak akan mampu merasakannya, dan tak akan terpuaskan. Hakikat-hakikat ini harus dirasakan, dan kecuali kalian telah mencapai titik itu, kalian pun tak akan memahami hal-hal ini lebih dari sekedar kata-kata.

No comments: