10 June 2008

Nilai Seseorang Berhubungan dengan Cara Dia Menilai Waktunya

Shuhba Mawlana Syekh Muhammad Nazim Adil Al-Haqqani QS

A'uudzubillaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillaahir rahmaanir rahiim
Wash-shalaatu was-salaamu 'alaa asyrafil Mursaliin Sayyidinaa wa Nabiyyina Muhammadin wa 'alaa aalihi wa Shahbihi ajma'iin


Waktu ada di Tangan Allah SWT, artinya waktu menggerakkan segala sesuatu agar sesuai jalur menuju takdir yang telah ditetapkan. Ada yang mampu memahami lintasan waktu dan mengamatinya dengan mata kebijaksanaan. Orang-orang seperti itu menghadapi waktu dengan mengendalikannya setiap saat, menggunakan anugerah pemahaman Allah SWT itu untuk menggerakkan hidupnya menuju arah yang benar. Yang lain menggunakan waktu dengan hal-hal yang menyimpang, seperti ketika seseorang melihat pada cermin cekung atau cembung. Persepsi seperti ini terjadi karena mereka tidak berdamai dengan “Tangan Tuhan”; belum memahami alasan mengapa Allah SWT membatasi dunia ruang dan waktu.

Allah SWT bermaksud memberi sebuah kesempatan untuk menyempurnakan diri kita, guna meraih Atribut-Atribut Suci-Nya melalui berbagai usaha kita ketika menghadapi situasi yang sulit. Hal itu mempersiapkan diri kita untuk hari pertemuan kita kembali dengan Sang Khalik.

Dalam sebuah hadis qudsi, Tuhan mengatakan, “Keturunan Adam AS menyumpahi waktu, dan Akulah waktu. Di dalam Tangan-Ku berada lintasan siang dan malam.”

Bagi mereka yang belum memahami kebenaran ini, waktu terasa berjalan dengan cara yang menganggu dan tak menentu. Hal ini untuk menarik perhatian kita agar merubah diri sendiri untuk mendapatkan harmoni/keseimbangan dalam melewati waktu. Karena waktu itu sendiri, jelas ia tidak terlalu cepat ataupun terlalu lambat untuk mengakomodasi keinginan-keinginan kita.

Perasaan kita terhadap waktu adalah karena kemurahan Allah SWT. Seperti halnya perut sakit adalah indikasi untuk mengubah pola makan, sehingga sakit itu membangunkan kita untuk penyesuaian gaya hidup. Ada yang merasakan waktu cepat berlalu, bagaikan seorang penunggang yang merana di atas punggung kuda yang menyerbu sebuah kawanan ternak lalu menuju sebuah karang. Namun bagi yang lain, waktu seakan tidak bergerak seperti sedang terjerumus di dalam rawa-rawa.

Pertama-tama kita harus paham akan nilai dari waktu yang ketika terlewatkan tidak akan diperoleh kembali. Jika seluruh bangsa mengumpulkan sumber-sumbernya dalam usaha menebus satu detik dari masa lalu (untuk mengubah sebuah keputusan yang menimbulkan petaka, misalnya) akan berhasilkah mereka? Tidak!

Sebuah gunung harta tidak bisa membawa kembali satu detik momen penting dalam hidup kalian. Jadi, waktu amat berharga untuk diperhitungkan. Namun orang-orang malah menyia-nyiakannya agar bisa mempunyai waktu rehat lebih banyak.

Begitu banyak orang-orang (bukan saja yang secara klinis mengidap depresi) yang menderita ketidakmampuan untuk menyesuaikan waktu dengan cara agar tercapai kedamaian pikiran.

Nafsu anak-anak muda adalah ingin menelan seluruh dunia ini dengan seketika. Demam panas nafsu pencapaian akan kenikmatan membuat waktu terasa cepat berlalu. Seringkali, dalam waktu yang kritis ini tidak ada kebijaksanaan yang bisa dilatih, lalu memperturutkan kecenderungan ego untuk menghabiskan seluruh energi mereka. Itulah cara mudah untuk menghabiskan energi secara cepat dan ceroboh. Padahal hidup seperti sebuah lari marathon: butuh langkah-langkah, karena jika kalian berlari cepat dari permulaan maka akan roboh setelah beberapa ratus yard. Menyusun kembali sebuah persiapan energi butuh unsur-unsur kontrol diri dan kemauan, di mana hal itu jarang terdapat pada kaum muda.

Sebagian anak-anak muda menghindar dari cara-cara spiritual. Hanya ketika mereka sedang “jatuh” dan menderita lalu mereka datang ke sini dengan terpincang-pincang untuk “perbaikan”. Ratusan orang datang pada saya sambil mengatakan, “Wahai Syekh, bisakah engkau menolong saya?” Suatu tugas berat untuk menolong mereka yang telah menghabiskan seluruh tenaganya dengan sia-sia dan mereka yang mempunyai kekuatan fisik dan mental yang sayangnya berada di tingkat yang rendah.

Kadang-kadang saya merasa heran karena sebagaian dari mereka masih amat muda. Membangkitkan orang mati adalah sebuah keajaiban yang hanya diberikan pada nabi-nabi, namun sepanjang masih ada tanda-tanda kehidupan kami berharap mampu membangkitkan mereka dari keadaan koma.

Sebagai hasil apa yang dilakukan secara berlebih-lebihan, maka depresi menjangkiti kaum muda-mudi ini. Sekarang waktu menjadi tidak cepat berlalu, namun menyeret seperti jalannya seekor keong. Seorang yang depresi berharap waktu akan cepat berlalu namun kenyataannya berlawanan, menit seperti berjam-jam, sejam bagaikan berhari-hari, dan sehari bagaikan berminggu-minggu.

Biasanya, orang-orang yang energinya tidak tersalurkan dengan cara yang bermanfaat, dan merasa tidak berhasil dalam hidupnya, akan terjangkit perasaan seperti ini. Begitu tolol bagi mereka yang berharap bahwa waktu akan cepat berlalu, karena seperti yang telah kita sebutkan, waktu bagaikan sebuah perhiasan yang tidak ternilai.

Dalam Tarekat Naqsybandi yang mulia ini, kita mempunyai sebuah peraturan yang menonjol: nilai seseorang berhubungan dengan cara ia menilai waktunya. Jika kalian merasa waktu kalian sebagai sebuah beban yang tak berguna dan berharap untuk cepat berlalu, maka kalian akan menjadi sebuah beban di muka bumi ini, dan lebih baik kalian berada di bawahnya daripada di atas bumi. Mengapa? Karena kalian dengan ceroboh memboroskan satu harta yang tak ternilai, yaitu energi vital kalian.

Sekarang harta tak ternilai yang lain, yaitu waktu - bukan menjadi semacam kemakmuran di tangan kalian, tetapi menjadi timbunan tak terukur di bawah tanah yang telah kalian kubur. Bersikaplah bijaksana dengan energi vital kalian sehingga nilai dari waktu termanifestasi dalam hidup kalian. Jika kalian menjaga waktu kalian layaknya permata, maka kalian akan diagungkan di mata orang-orang dan di Hadirat Ilahi, di sini dan di akhirat kelak.

Ada sebuah ungkapan: “Seorang sufi bagaikan seorang anak bagi waktunya.” Artinya, seorang sufi memperlakukan waktunya dengan pemujaan dan rasa hormat yang sama seperti terhadap orang tuanya sendiri. Sikap baik terhadap orang tua adalah kewajiban utama dalam agama. Dalam tarekat sufi, kita ditekankan untuk menghormati waktu sebagaimana kita menghormati ayah dan ibu.

Seorang darwis sejati tidak akan pernah melewatkan sebuah momen dengan percuma, namun menangkapnya seperti seorang joki terlatih yang mengendalikan kudanya. Menggunakan kecakapan seperti itu agar waktu berjalan dengan arah yang benar dan dengan kecepatan yang tepat. Lihatlah seorang darwis sejati, pasti kalian akan menemukan mereka sibuk dengan sesuatu yang berguna, tidak pernah melakukan aktifitas yang merugikan atau yang sia-sia. Jika seseorang mampu menuntun dirinya sendiri pada perbuatan-perbuatan yang mengarah pada kesempurnaan, maka ia tahu apa yang harus dilakukan. Mata hatinya tidak pernah buta; ia selalu waspada terhadap tanda-tanda mengenai segala hal yang sedang dihadapinya.

Grandsyekh kita sering mengatakan, “Bagaimana kalian mengisi hari-hari kalian? Jangan sia-siakan waktu, usahakan untuk ‘menenun’ ruang dan waktu sehingga kalian meninggalkan warisan kekal di dunia ini dan terhormatlah karenanya di sini dan di akhirat kelak.”

Bagi pengikut tarekat, menyia-nyiakan waktu secara ceroboh atau mengisinya dengan aktifitas yang tidak berguna adalah dosa besar. Jagalah energi vital dan waktu berharga kalian, jadikan tiap saat menjadi berguna.

Wa min Allah at tawfiq


No comments: