Shuhba Mawlana Syekh Muhammad Nazim Adil Al-Haqqani QS
A'uudzubillaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillaahir rahmaanir rahiim
Wash-shalaatu was-salaamu 'alaa asyrafil Mursaliin Sayyidinaa wa Nabiyyina Muhammadin wa 'alaa aalihi wa Shahbihi ajma'iin
Seorang pengikut Syekh memberitahu bahwa salah seorang murid telah meminjam uang dalam jumlah besar tetapi sampai sekarang belum juga dikembalikan, bukan karena ia tidak mampu, melainkan karena keserakahan dan ketidakjujurannya.
Syekh Nazim QS mengomentari,
Suatu ketika Grandsyekh Syekh ‘Abdullah Fa’iz ad-Daghestani QS berkata kepada saya, “Wahai Nazim Efendi QS, berulang kali telah kukatakan kepada orang-orang agar mereka tidak meminjamkan uang (tentu saja Grandsyekh tidak merujuk pada utang-piutang dengan bunga tertentu, karena itu sudah pasti dilarang keras dalam Islam; tetapi beliau merujuk pada utang-piutang tanpa bunga yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain sebagai bentuk pertolongan atas kesulitan yang dialami atau sebagai modal usaha. Pinjaman semacam itu digolongkan sebagai “pinjaman yang bermanfaat” dalam Hukum Islam). Saya katakan kepada mereka, “Wahai kalian, Allah SWT memerintahkan kita untuk memberi pinjaman yang bermanfaat. Allah SWT senang kepada kita bila kita memberikan bantuan untuk menolong orang yang sedang memerlukan dan oleh sebab itu Dia telah memerintahkan kita dan menjadikan pinjaman itu sebagai jalan untuk mendekatkan diri ke Hadirat-Nya. Tetapi Aku sebagai Syekh kalian, berharap bisa mencegah kalian dari pinjam-meminjam uang!”
“Mungkin ini terdengar aneh bagimu, wahai Nazim Efendi QS, seperti halnya bagi mereka, di mana, pada saat Allah SWT memerintahkan kita untuk memberi pinjaman, Aku malah melarang para pengikutku untuk melakukannya. Ya, memang seolah-olah terlihat bahwa Allah SWT memerintahkan tetapi Aku melarangnya. Tetapi mungkin ini tidak lagi terlihat aneh bagimu bila Aku menyebutkan dan membahas kondisi yang harus dipenuhi sebelum seseorang menganggap pinjaman itu sebagai ‘pinjaman yang bermanfaat’, jenis pinjaman yang dapat mendekatkan diri kepada Tuhannya. Engkau akan melihat bahwa untuk ini diperlukan lebih banyak persyaratan daripada hanya memberi pinjaman tanpa bunga.”
“Jika seseorang mendatangimu untuk meminjam sejumlah uang, misalnya 1000 poundsterling, kalian harus memikirkannya dan berdiskusi dengan dirimu sendiri, katakanlah pada dirimu, ‘Orang itu datang dan ingin meminjam sejumlah uang. Apakah kau siap untuk memberinya? Juga apakah kau siap untuk kehilangan uang itu tanpa menyebabkan perubahan dalam hatimu terhadapnya? Apakah kau siap untuk tetap bersahabat dengannya walaupun karena kasus itu engkau tidak akan mendapatkan uangmu kembali, baik karena ia tidak mampu membayarnya karena keadaan ekonominya atau karena ia tidak mau membayarnya, walaupun ia mampu melakukannya? Bahkan jika ia mempermainkan engkau, akankah engkau tetap menjadi sahabatnya seperti halnya sekarang?”
“Jika engkau secara jujur bisa mengatakan, ‘Ya, ia adalah saudaraku, dan 1000 poundsterling ini tidak akan menjadikan kami saling bermusuhan. Tidak peduli apapun yang terjadi pada uang itu, perasaanku terhadapnya tidak akan pernah berubah, baik terang-terangan maupun dalam hatiku.’ Kalau demikian, berikanlah pinjaman kepadanya. Tetapi bila jawabanmu, ‘Tidak, jika ia tidak dapat mengembalikan uang itu, Aku akan membawanya ke pengadilan’ atau ‘Bila ia memang tidak dapat mengembalikan uang itu, Aku akan bersabar, tetapi jika ia menipuku, Aku akan mengajukannya ke pengadilan.’ Bila demikian, maka jangan beri dia pinjaman.”
Grandsyekh menekankan bahwa persahabatan dan persaudaraan lebih berharga daripada dunia dan segala isinya. Kita tidak boleh menghancurkan persahabatan dengan perselisihan karena hal-hal duniawi, itu adalah dosa. Kita harus melihat diri kita dengan sangat cermat, karena ini adalah urusan kubur. Sekarang kalian bersahabat, tetapi bila kalian memberinya pinjaman dan ia tidak membayar kembali, kalian bisa saling bermusuhan. Ingatlah, persahabatan kalian lebih berharga daripada 1000 poundsterling itu. Persahabatan kalian lebih berharga daripada seluruh kekayaan di dunia ini. Dikembalikan atau tidak, hati kalian tidak boleh terguncang, “Tidak masalah apakah ia akan mengembalikan atau tidak, apapun alasannya. Jika ia ingin membodohi aku dan mengambil uangku, itu juga tidak masalah, lagi pula aku memang orang yang bodoh.”
Ya, bahkan bila orang itu sudah mencapai taraf kerendahan hati semacam itu, bukan suatu kontradiksi jika ia mengaku sebagai orang bodoh; karena siapapun yang berkata, “Aku tidak bodoh,” suatu saat akan dibodohi oleh seseorang. Kebodohannya akan menjadi kenyataan. Jadi jangan mengaku bahwa kalian pintar, kuat, atau tak terkalahkan, karena itu akan mengundang penghinaan, dan seseorang akan datang untuk menggosok wajah kalian dengan lumpur.
Allah SWT tidak pernah suka dengan orang yang berpikir bahwa dirinya adalah ‘sesuatu’. Setiap hari kita melakukan hal-hal yang bodoh tanpa pernah memperhatikannya. Kalian begitu bodoh, dan jika kalian tidak mengetahuinya, seseorang akan datang untuk menunjukkannya padamu. Itu penting.
Saya sering mendengar Grandsyekh mengutip sabda Rasulullah SAW, “Orang yang berkata, ‘Aku pintar,’ suatu hari pasti akan menjadi bodoh; siapa yang mengaku, ‘Aku kaya,’ suatu hari akan menjadi sangat miskin sehingga dia akan memerlukan sumbangan dari orang-orang; barang siapa yang berkata, ‘Aku tahu,’ suatu hari akan menjadi tidak tahu apa-apa, bahkan dia tidak tahu bagaimana menyuapi dirinya sendiri—seperti seorang anak yang baru saja disapih.”
No comments:
Post a Comment