08 December 2008

Tangan Tuhan di Balik Segala Peristiwa

Shuhba Mawlana Syekh Muhammad Nazim Adil Al-Haqqani QS

A'uudzubillaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillaahir rahmaanir rahiim
Wash-shalaatu was-salaamu 'alaa asyrafil Mursaliin Sayyidinaa wa Nabiyyina Muhammadin wa 'alaa aalihi wa Shahbihi ajma'iin


“Oh Tuhanku, aku mohon pada-Mu untuk menganugerahiku pemahaman, dan agar membuatku mampu membuat yang lain memahaminya.”
(sebuah doa Nabi Muhammad SAW)

Setiap akan memberi nasihat, diam-diam saya membaca doa ini. Karena saya sadar, hanya orang yang telah mengetahui dirinya sendirilah yang mampu mengajari orang lain sesuatu yang berguna. Ada seorang tamu yang mengatakan pada saya tentang seorang guru spiritual yang tulisan dan pembicaraannya amat rumit, dan hanya para intelektual terlatih yang mampu mengerti apa yang sedang dia katakan. Ini bukanlah tanda orang yang mempunyai pemahaman karena ajaran-ajarannya tidak bisa dimengerti. Seorang manusia yang mempunyai pemahaman akan selalu mencoba membuat dirinya dapat dipahami dengan memberikan pidato yang jelas dan langsung ke sasaran. Menyesuaikan dengan tingkat pemahaman pendengarnya, dan dia akan mencoba merambah pendengar seluas mungkin, kalau tidak maka kata-katanya akan seperti tertiup angin. 

Bahkan Allah SWT, Tuhan dari seluruh makhluk, Tuhan segala ciptaan, Tuhan bagi seluruh eksistensi, merendahkan segala Keagungan-Nya sampai ke tingkatan seluruh ciptaan-Nya. Inilah yang dimaksud dengan "Tanazzulat Subhani" atau sedekat mungkin dari yang mampu dipahami. Dengan merendahkan segala Keagungan itu, kalian bisa menemui Tuhan pada setiap ciptaan-Nya, di dalam segala tingkatan. Jika Dia tidak bersama dengan seekor semut dan tidak paham kondisi dan kebutuhan semut, maka Dia tidak bisa didefinisikan sebagai Tuhan bagi semut itu. Dia adalah Tuhan bagi seluruh ciptaan. Semua ada dalam Pengetahuan-Nya, bahkan makhluk-makhluk terkecil sekalipun. Apalagi umat manusia, ciptaan yang paling istimewa, apakah berlebihan bila kita mengatakan bahwa Dia selalu bersama kita? "Tidakkah Pencipta mengetahui apa yang Dia ciptakan?" tanya Tuhan. Dia Maha Tahu dan menjadi Tuhan bagi seluruh ciptaan-Nya, namun hal itu tidak mengurangi-Nya untuk selalu bersama setiap ciptaan-Nya. 

Nabi-nabi kita yang suci beserta para pewarisnya di setiap zaman telah diberkati dengan pengetahuan rahasia akan Kebenaran Ilahiah. Dan kewajiban utama mereka untuk mengungkapkan segala kenyataan itu agar dapat dipahami oleh umat manusia secara umum dan juga bagi setiap individu dalam cara apa pun, sesuai tingkat pemahaman dan kemampuan mereka. Sebagai pembimbing bagi umat manusia atas percikan Sifat-Nya, mereka telah dianugerahi kemampuan untuk mengkomunikasikan dan menyentuh hati-hati manusia. Namun hanya para nabi dan para pewaris aslinya yang menemukan keluwesan seperti itu dalam diri mereka. Bagi yang lain amat sulit untuk berkomunikasi dengan mereka yang bukan dari kalangannya sendiri atau dari latar belakang dan perilaku yang sama. Pembimbing Ilahiah mampu memberikan apa yang masyarakat inginkan, mengatakan apa yang mereka ingin dengar, sehingga semua orang dari berbagai kalangan mampu merasakan kedamaian bersama dan mengikutinya. 

Sebuah pesawat Concorde tidak bisa mendarat di atap sebuah gedung, namun sebuah helikopter mampu. Kebanyakan ulama seperti Concorde, begitu bangga dengan sayapnya yang besar, kecepatan dan bentuknya yang luar biasa. Namun hanya negarawan, pialang, pria, wanita yang istimewa dan makmur yang bisa naik Concorde. Seperti para ulama hanya bicara dan menulis agar dipuji oleh para ulama lain. Concorde terbang dengan kecepatan yang luar biasa dan butuh area yang luas di bandara internasional untuk mendarat, namun sebuah helikopter dapat mendarat di mana pun, kadang di laut, atau terbang rendah untuk menyelamatkan manusia yang terperangkap api.

Maka Guru-Guru Ilahiah juga dapat diakses oleh setiap orang di setiap kesempatan, di mana Concorde bisa menabrak sebuah tempat di mana heli mampu menyelamatkan para korban. Saya tidak meninggalkan mereka di atas gunung Himalaya, melainkan menyelamatkan mereka. Para pencari kebenaran harus mencari kualitas-kualitas seperti itu dalam seorang pembimbing yang mengaku ingin menyampaikan ceramah yang berkaitan dengan keilahian. Kalau tidak, mereka akan mengejar ajaran yang sia-sia dan menurut Nabi suci kita SAW, sebuah tanda dari kesempurnaan manusia dalam Islam adalah penolakannya pada aktifitas yang tidak berguna (yang tidak ada kaitannya dengan dirinya).

Salah seorang tamu kita menceritakan bahwa ulama ini mengangkat topik tentang “Fana dan Baqa”, atau Lenyap dan Kekal dalam Ilahi. Saya rasa tidak seorang pun—kecuali mereka yang telah mencapai maqam tersebut—layak untuk berbicara mengenai topik itu. Kalau tidak, penjelasannya akan sama dengan mereka yang belum pernah mencicipi madu dan berusaha menjelaskannya dari buku yang dibacanya, kepada mereka yang tidak tahu tentang madu. Atau seperti bertanya pada seorang anak kecil tentang kenikmatan bulan madu… sia-sia.

Topik-topik ini adalah Samudra. Ketika kalian meleleh, terserap dalam Keesaan Allah SWT, maka kalian akan memahami arti dari “Fana-Fillah” (Lenyap dalam Allah SWT). Ketika kalian bebas sebagai seseorang dalam eksistensi, ketika kalian mencoba menjadi setetes air hujan yang jatuh dari langit dan tenggelam, menyatu dalam Samudra Kesatuan Ilahi, maka tak seorang pun akan bertanya di mana tetesan itu hilang, karena tetesan itu telah menjadi sebuah Samudra. Sepanjang tetesan itu masih terjatuh, maka akan selalu berkata, “Aku adalah seseorang,” namun ketika ia mencapai Samudra, dia pun akan berkata, “Di mana aku? Aku sudah tidak ada, aku bersama-Nya; aku di sini, namun tidak di sini, hanya Dia yang di sini dan sekarang aku bersama-Nya. Aku berada dalam Samudra-Nya. Aku merasakan ini, dan tidak ada yang mengatakan bahwa aku setetes hujan. Karena tetesan itu telah menjadi Samudra.” Itulah sebuah contoh sangat sederhana akan penjelasan tentang melenyapkan diri dalam Tuhan. 

"Baqa" atau keabadian, adalah keadaan selalu bersama Tuhan. Dalam maqam itu, kepribadian kalian tidak tampak; yang terpancar adalah eksistensi Ilahi. Kalian telah didandani oleh Keesaan Ilahiahnya. Itulah maqam at-Tawhid. Apa yang dimaksud Baqa adalah kalian tidak akan pernah kehilangan pandangan, perasaan, mengetahui, memahami tanpa membatasinya. Kita harus berusaha untuk meraih maqam-maqam ini, tetapi Jalan itu sulit dan membutuhkan berbagai latihan.

Salah satu dari aspek latihan itu adalah dengan melihat apa pun yang terjadi berasal dari Allah SWT semata. Inilah rukun iman keenam dalam Islam: Keyakinan bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, baik atau buruk adalah berasal dari Tuhan. Ini mengacu pada "Tawhid al-Af'al" atau " Penyatuan Tindakan". Jalan untuk memulai kesadaran akan titik ini adalah dengan mengingat sumber dari segala apa pun adalah Allah SWT. Ketika sesuatu terjadi, jangan terusik dengan diri sendiri atau siapa pun yang bukan penyebab terjadinya sesuatu. Karena mereka hanyalah alat atas kejadian-kejadian itu. 

Itu berarti, jika Ahmad datang dan memberimu uang dan kemudian Fulan datang dan menamparmu lalu mengambil uang itu. Janganlah mengira bahwa Ahmad adalah si pemberi dan si Fulan adalah seorang pencuri. Jika kamu berpikir seperti itu, kamu sudah jatuh dari tingkatan keimanan yang tinggi. Kalian harus menerima bahwa Tangan Tuhan ada di balik kedua tangan mereka, baik yang mengambil dan yang menerima. Karena bagaimanapun, Dialah Sang Pencipta bagi segala tindakan manusia. Ketika seseorang berbaik hati pada kalian, kalian harus ingat bahwa Tuhan kalian yang mengirimkan kebaikan itu pada hatinya, dan kalian harus bersyukur pada-Nya. Nabi SAW bersabda, "Siapa yang tidak berterima kasih pada manusia, sama dengan tidak bersyukur pada Allah SWT."

Nabi SAW tidak mengizinkan pandangan tauhid memecah kita dari menyempurnakan kesopanan kita terhadap manusia yang bersangkutan. Ketahuilah, Tuhanmu yang mengirim dia, dan jangan melupakan itu dalam keadaan apa pun. Dan ketika kalian melihat Ahmad memberi emas penuh di tanganmu, kalian harus mengatakan, “Oh Syekh Ahmad, terima kasih banyak! Pertama, terima kasih pada Tuhanmu, yang mengirim kebaikan di dalam hatimu untukku, dan terima kasih atas ketulusanmu memberikan apa yang telah diamanatkan padamu."

Dan ketika perampok bernama Fulan datang, memukulmu dan mengambil seluruh uang itu, janganlah marah padanya! Ya, menurut hukum Ilahi, syariat, diizinkan bagi yang mampu untuk meraih kembali uang itu, dan memberi hukuman sesuai hukum masyarakat. Namun jika kalian berada di jalan tauhid, maka kalian harus menghormati bahwa segala kejadian itu berasal dari Allah SWT juga. Dia sendiri yang mengirim orang untuk merampok kalian, karena Pencipta dari setiap kejadian hanyalah satu: Allah SWT. 

Karena tidak mungkin bagi semua orang menginginkan keimanan tingkat tinggi, di mana Tangan Tuhan terlihat di setiap peristiwa, maka Allah SWT dalam salah satu ayat Qur'an, dalam kasus pembunuhan diizinkan untuk "Nyawa dibayar dengan nyawa" dan berlanjut bagi mereka yang mampu untuk "memberikan pipi yang satunya", inilah tingkatan-tingkatan terhormat dari syariat (hukum) dan tarekat (jalan). Berdasarkan ayat-ayat ini, bagaimanapun hukum Islam mengenai pembunuhan adalah seimbang. Melegakkan bagi perasaan manusia normal dengan membalas dendam ketika menghadapi kejahatan yang mengusik ini. Islam mengizinkan untuk mengeksekusi para pembunuh, sehingga dengan cara ini, meredakan perasaan keluarga korban dan mencegah adanya permusuhan. Hukum juga mengizinkan pembayaran uang sebagai pengganti pelaksanaan hukuman bagi kerabat korban. Terakhir, ayat tersebut menyadarkan bahwa siapa pun yang mencari tingkat tertinggi dari keimanan dan pandangan keesaan untuk memaafkan. "Dan siapa pun yang memaafkan dan memahaminya, imbalannya adalah sebuah maqam di sisi Tuhan-nya."

Apa yang Allah SWT maksudkan bagi para pencari kebenaran sejati adalah: "Sekarang maafkan dia, karena Aku-lah yang mengirimnya untuk melakukan perbuatan itu." Sehingga kalian pun sadar, bahwa sebenarnya tidak ada yang bersalah dan tidak perlu adanya balas dendam. Namun ini bukan tingkatan biasa. Kita harus mengusahakan untuk bisa memaafkan perbuatan seperti itu, namun ego kita seperti gunung berapi. Manusia amat sopan dalam urusan sehari-hari selama semua orang berperilaku sesuai apa yang diharapkan dan semuanya berjalan sesuai yang direncanakan. Namun ketika Tuhan menghalangi dengan kejadian kecil yang mengakibatkan kecelakaan, hanya karena alasan kecil itu, kita bisa mendengar kata-kata cabul keluar dari mulut mereka seperti semburan lahar. 

Ego seperti itulah yang membuat orang menjadi sakit. Itu berbahaya karena berada di bawah perintah ego-ego. Di mana kalian menemukan toleransi seperti yang dikatakan dalam ayat-ayat Qur’an? Begitu banyak kebencian dan frustasi mengurung manusia, saya melihatnya dalam penampilan mereka, bahkan sering seseorang yang sedang marah mencari kambing hitam. Dan yang menarik, kambing hitam yang asli dan yang diberlakukan di seluruh dunia adalah selalu "orang-orang asing."

Jadi saya meyakinkan masyarakat di Barat sini, “Kami di sini sebagai tamu kalian. Ini tanah air kalian.” Begitukah? Kalian tidak bisa tinggal di sini, kecuali di makam. Tanah air kalian adalah di dalam kuburan, bukan di atas tanah. Bersyukurlah, tidak seorang pun mengomeli kita di kuburan, tidak ada yang mencegah kita untuk tidak dikubur. Penggali kubur membersihkan debu di tangannya lantas dia pergi, dan bumi menerima kita tanpa diskriminasi. Hanya manusia di atas bumi yang sibuk dengan membuat perbedaan. Oleh karena itu penerimaan tingkat tinggi yang berasal dari Tuhan jarang ditemukan. Namun Allah SWT mengajari kita, “Kalian harus mengerti siapa Aku. Aku-lah Sang Pencipta semua manusia dan apa pun yang mereka perbuat. Pahami ini dan kalian akan meraih kedamaian serta meninggalkan segala keluhan.”

Ketika saya bersama Grandsyekh melakukan thawaf di Mekah, di rumah Allah SWT, Ka’bah. Grandsyekh berkata pada saya, “Lihatlah ke atas sana!” Ketika saya melihatnya, di atas kepala-kepala manusia yang sedang berjejal-jejal ada sekelompok orang juga sedang melakukan thawaf. Namun mereka dalam maqam yang berbeda. Tenang, damai dan santun. Padahal mereka juga manusia, bukan malaikat. Mereka adalah golongan yang telah mencapai maqam di mana mereka melihat apa pun yang terjadi, berasal dari Allah SWT, mereka telah meninggalkan kesulitan dalam mengejar dunia. 

Tetapi bersamaan dengan itu, di bawah mereka, manusia-manusia berjejal-jejal karena kurang akan keyakinan. Saling mendorong, menyikut dan menginjak-injak. Ada kelompok-kelompok yang saling mengunci tangannya dan menyikut kerumunan, bergerak lurus dengan kecepatan tinggi, melempar mereka yang naas nasibnya jatuh atau terpelanting ke udara. Ada sikut-sikut orang di rusukku, tumit orang di jempol kakiku. Namun di atas kami, mereka yang telah pasrah akan kehendak Allah SWT, tidak lagi membutuhkan bumi di bawah kaki mereka. 

Sekarang, mungkin kalian menganggap hal semacam itu adalah mustahil. Menganggap bahwa saya sedang mendongeng, namun ketika diberitahu ada pesawat sedang terbang, kalian langsung mempercayainya. Jika manusia mampu membuat besi bisa terbang, apakah Tuhan tidak mampu menjadikan manusia terbang? Mereka berada dalam kedamaian Tuhan dan segala ciptaan-Nya mampu mengangkatnya. Kita telah ditunjukkan ‘jalan yang lebih tinggi’ dalam pandangan Ke-Esa-an-Nya, dan kita diminta bersabar dalam segala kejadian yang tidak kita senangi dengan mengingat Sumber Penyebabnya. Inilah latihan terbaik bagi ego-ego kita. Jalani latihan ini, atau kalian akan terus bersusah-payah sampai menuju liang lahat nanti. 

“Wahai manusia, jika kalian berusaha keras menuju Tuhan-mu, maka kalian akan berjumpa dengan-Nya.” Tuhan yang mengajarkan kita bahwa usaha keras kita akan dunia, pengejaran kita dari timur sampai barat, dari sini ke sana, siang malam, tanpa kita sadari, tidak lain adalah perlombaan kita menuju Samudra Ke-Esa-an Tuhan Yang tiada akhirnya. Namun kita belum menyadarinya sekarang. Roh kita mencari Tuhan-nya, sehingga ke mana pun kita bergerak, tidak ada arah lain kecuali menuju ke hadapan-Nya.

Wa min Allah at-Tawfiq bi hurmat al-Fatiha

No comments: