"Tidak perlu ditekankan lagi, bahwa Islam sangat menjunjung nilai-nilai rasio, keseimbangan, dan tanggung jawab dalam pelaksanaan urusan-urusan duniawinya. Tak ada yang diputuskan semaunya saja dalam penentuan hukum yang berkaitan dengan urusan-urusan perang, perdamaian, hubungan internasional dan aturan hukum. Di bidang ini, ada banyak kesamaan antara hukum Islam dengan sistem hukum yang saat ini dipraktekkan di seluruh dunia. Selain adanya kemungkinan besar bahwa sistem-sistem hukum itu banyak dipengaruhi oleh warisan hukum Islam, kesamaan ini dapat pula dijelaskan dengan adanya fakta bahwa perlindungan dan pengesahan hak-hak asasi manusia adalah batu fondasi utama dalam perundang-undangan Islam."
Masyarakat internasional telah menyepakati, lewat institusi Perserikatan Bangsa-Bangsa, akan adanya hak-hak dan kepentingan manusia, yang selama ini selalu ditekankan dalam Islam. Ini tidaklah mengejutkan jika orang mengetahui akan realisme dasar, rasionalitas, dan pragmatisme dari hukum Islam.
Sekalipun demikian, selama ini kritik-kritik terhadap Islam, selalu menekankan bahwa Islam dan Muslim adalah keras dan intoleran terhadap komunitas selain mereka. Kritik-kritik ini mengacu pada ayat-ayat Quran yang menyeru orang beriman untuk memerangi orang kafir, kemudian mereka menunjukkan adanya perang-perang di zaman permulaan Islam dan konfrontasi berikutnya antara kaum Salib (Crusaders) dan kaum "Saracen" atau "Moor", dan sekarang stereotipe kontemporer dari "teroris" Arab.
Harus dicatat bahwa banyak Orientalis yang tidak setuju dengan pencirian seperti ini. Banyak di antara mereka yang justru memiliki pandangan yang berbeda. Lebih banyak ilmuwan masa kini yang telah meninggalkan sepenuhnya pendekatan Orientalisme masa lalu yang dipenuhi dengan hal-hal emosional. Sekalipun demikian, anggapan bahwa Islam masih dilihat sebagai sesuatu yang mengancam, fanatik, keras dan asing, masih terlihat sekali di media-media dunia.
Dalam merumuskan jawaban atas semua masalah ini, adalah penting untuk memfokuskan lebih dahulu pada definisi umum dari Islam, agar kita tidak jatuh pada kesalahpahaman tentang Jihad dan posisinya dalam agama ini. Ungkapan umum bahwa Islam adalah suatu "way of life" (jalan hidup) sudah menjadi demikian usang hingga titik di mana kita dapat berlaku tanpanya. Islam lebih akurat dilukiskan sebagai "menegakkan kerajaan langit di muka bumi."
Pernyataan terakhir tersebut harus dipahami secara hati-hati untuk menghindari penjelasan yang dangkal atau literalisme menyesatkan yang banyak terdapat dalam pemikiran kontemporer tentang Islam. Adalah jauh dari cukup, untuk sekedar mengutip dalil-dalil tertulis, sebagai suatu cara menunjukkan pemahaman, akan suatu subjek tertentu dalam agama ini. Tidak pula cukup, menggunakan teks-teks Quran dan Sunnah Nabi SAW, tanpa pengetahuan mendalam akan situasi kemanusiaan dan aspek budaya di saat mana teks-teks tersebut diturunkan dan diterapkan untuk pertama kalinya, demikian pula pengetahuan akan urutan-urutan ayat-ayat berdasarkan turunnya atau penghapusan (nasikh mansukh).
Dengan kata lain, konteks dan situasi saat turunnya Quran dan Hadis adalah krusial dalam penentuan syarat-syarat yang berkaitan dengan Jihad. Suatu kesalahan untuk menghakimi Islam dan Muslim, atas jenis "Jihad" yang telah jatuh menjadi korban dari tendensi-tendensi ideologis. Kritik atas hal ini harus pula menyadari adanya interpretasi "Jihad" yang dibesar-besarkan dan terkadang dipaksakan oleh beberapa "reformisme religius" yang menjadi-jadi saat ini. Mereka (reformis yang menjadi-jadi) ini telah mengabaikan aspek-aspek utama dari warisan intelektual Islam, secara selektif menekan figur-figur penting (dalam Islam) dan tak mengindahkan sejarah Islam tanpa cela berupa keberpegangan pada standar-standar hukum dan keadilan pada urusan-urusan negara.
Jihad dalam Sejarah dan Hukum
Sekarang, marilah kita melihat karakter Jihad secara lebih menyeluruh sebagaimana muncul dalam sejarah dan hukum Islam. Jihad dalam bahasa Arab berarti "berjuang untuk mencapai suatu tujuan". Jadi, asumsi umum, bahwa Jihad berarti perang, adalah salah. Dalam kenyatannya, Jihad, menurut makna teknisnya, memiliki beberapa cabang, yang salah satunya adalah bentuk perang dari Jihad.
Ibn Rusyd, dalam Muqaddimaat-nya, membagi Jihad menjadi empat macam, yaitu: "Jihad dengan hati; Jihad dengan lidah; Jihad dengan tangan dan Jihad dengan pedang." (1) Ia mendefinisikan "Jihad dengan lidah" sebagai "Untuk menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran, sebagaimana jenis Jihad yang diperintahkan Allah SWT pada kita untuk dilakukan atas orang-orang Munafik dalam firman-Nya, "Wahai Nabi SAW! Berjihadlah atas orang-orang kafir dan orang-orang munafik" [9:73]. Nabi SAW pun berjuang melawan orang-orang kafir dengan pedangnya dan melawan orang-orang Munafik dengan lidah." Said Ramadan Buti, seorang ulama Orthodoks kontemporer dari Syria mengatakan, dalam karyanya tentang Jihad dalam Islam, (2) "Bahkan sebelum beliau SAW melakukan Jihad dengan pedang melawan kaum kafir, tidak ada keraguan bahwa sebelumnya, Nabi SAW telah menyeru orang-orang kafir ini dengan damai, melakukan protes atas kepercayaan mereka dan berjuang untuk melenyapkan pemahaman mereka yang salah akan Islam. Ketika mereka telah menolak solusi apa pun, bahkan malah mendeklarasikan perang melawan beliau dan dakwah beliau, dan memulai perang, saat inilah tidak ada alternatif kecuali untuk membela diri dan memerangi balik." (3)
Salah satu bentuk Jihad, yang biasanya tidak dilihat dalam persaingan saat ini untuk menulis 'headline' yang bernilai berita, adalah Jihad dalam menyajikan pesan-pesan Islam--dakwah. Tiga belas tahun dari 23 tahun misi kenabian Rasulullah SAW murni hanya berisi Jihad tipe ini. Berlawanan dengan kepercayaan yang populer saat ini, kata Jihad itu sendiri beserta bentuk-bentuk terkait dari kata akarnya <jahada> banyak disebut dalam ayat-ayat Makkiyah dalam konteks non-kombatif (non perang).
Jihad Perang (Jihad Qital) dalam penggunaan teknisnya dalam syari'ah Islam berarti "deklarasi perang atas kekuatan-kekuatan non-Muslim yang suka perang dan agresif atau terhadap sesama Muslim yang melanggar batas". Jihad tidaklah bisa diputuskan secara serampangan oleh sembarang orang. Prinsip-prinsip dari Jurisprudensi Islam menyatakan bahwa aksi-aksi seorang pemimpin haruslah dibimbing oleh kepentingan-kepentingan ummat dan kepentingan-kepentingan secara kolektif, dalam beberapa kasus, harus didahulukan daripada kepentingan-kepentingan individual.
Jihad dan Penyebaran Islam
Allah SWT berfirman dalam Quran, "Serulah (semua) pada Jalan Tuhan-mu dengan bijaksana (hikmah) dan pengajaran yang indah; dan berdialoglah bersama mereka dengan cara-cara yang terbaik dan penuh kasih: karena Tuhan-mu lebih mengetahui, siapa yang tersesat dari jalan-Nya, dan siapa yang beroleh petunjuk" [16:125]
Menyeru orang pada Islam dan membuat mereka akrab dan kenal dengannya dalam berbagai aspeknya lewat dialog dan persuasi yang baik adalah TIPE PERTAMA JIHAD dalam ISLAM, berlawanan dengan khayalan yang mempercayai bahwa Jihad hanya ada dalam bentuk peperangan (qital). Ini disebutkan dalam Quran, di mana Allah SWT berfirman, "maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah (berjuanglah) terhadap mereka dengannya (al-Quran) dengan jihad yang besar" [25:52]. Di sini kata "berjuang" <jaahidu>, digunakan dengan makna berjuang memakai metode khutbah-lidah dan nasihat/peringatan dan untuk gigih di dalamnya, sekalipun adanya penolakan keras kepala dari orang-orang kafir terhadap kepercayaan dan prinsip-prinsip Islam.
Imam Nawawi dalam kitabnya al-Minhaj, ketika mendefinisikan Jihad dan berbagai kategorinya yang berbeda-beda, berkata, "Salah satu dari tugas kolektif ummat secara keseluruhan (fardu kifayah) adalah untuk mengajukan protes secara sah, untuk memecahkan masalah-masalah keagamaan, dan juga untuk mempunyai ilmu tentang syari'ah (hukum Ilahi), dan untuk menyeru pada kebaikan dan mencegah kemungkaran (amar ma'ruf nahi mungkar)". (4)
Penjelasan mengenai Jihad dalam kitab karangan Imam al-Dardir yaitu Aqarab al-Masalik, bahwa Jihad adalah menyebarkan pengetahuan akan Hukum Ilahi (syari'ah, red.) menyeru pada kebaikan dan melarang kejahatan. Beliau menekankan bahwa adalah tidak diizinkan untuk melompati kategori Jihad ini untuk langsung menerapkan Jihad Perang, beliau berkata, "Tugas [Islami] pertama adalah untuk menyeru (dakwah) orang-orang untuk masuk dalam naungan Islam, sekalipun seandainya mereka pernah diceramahi oleh Nabi SAW sebelumnya".(5) Pendapat serupa, dikemukakan Imam Bahouti dalam bab Jihad di kitabnya Kashf al-Kinaa, dengan menunjukkan adanya kewajiban keagamaan kolektif (kifayah) yang harus dilakukan ummat Islam sebelum mengambil bentuk Jihad perang, antara lain berkhutbah dan memberikan pendidikan tentang agama Islam, menghilangkan segala macam ketidakpastian/keragu-raguan akan agama ini; dan mengusahakan tersedianya semua keahlian dan kualifikasi yang dibutuhkan orang-orang dalam aspek keagamaan, sekuler, kepentingan fisik dan finansial karena hal-hal ini diperlukan untuk pengaturan hidup di dunia ini maupun untuk kehidupan yang berikutnya. Artinya, di sini dakwah--yaitu melakukan aktivitas-aktivitas penyebaran Islam dan pengetahuan tentangnya yang terkait--adalah batu utama dari 'bangunan' Jihad dan aturan-aturannya.
Karenanya, suatu usaha untuk membangunnya tanpa 'batu' utama ini hanya akan merusak makna dan hakikat Jihad itu sendiri (6).
Menghilangkan semua kesalahpahaman dan stereotipe akan citra Islam yang dipunyai non-Muslim, kemudian membangun suatu hubungan saling percaya dan bekerja sama dengan mereka dengan cara-cara yang dapat diterima oleh cara berpikir mereka, semua adalah bentuk-bentuk utama dari Jihad. Demikian pula, menegakkan suatu masyarakat yang kuat dan suatu negara yang dapat memenuhi semua kebutuhan fisik warganya, yang dengannya tercipta kondisi-kondisi di mana pesan dakwah akan terdengar, bukannya tenggelam dalam hiruk pikuk dan rutinitas sehari-hari, semua hal-hal ini adalah suatu kebutuhan dan merupakan suatu blok dasar bangunan dari konsep Jihad. Fondasi-fondasi ini merupakan pelaksanaan perintah Quran, "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung." [3:104]. Sebelum hal ini terpenuhi, Jihad pun belum dilaksanakan.
Pemindahan Agama secara Paksa?
Jadi fondasi dari Jihad adalah penyebaran Islam (dakwah). Suatu pertanyaan yang sering diajukan adalah apakah Islam memaklumi dan mengajarkan konversi (usaha pemindahan agama) non-Muslim secara paksa dan bersenjata. Ini adalah suatu citra yang terkadang disebarkan oleh ilmuwan Barat dan jika Anda bertanya pada seorang ulama Muslim, tentu saja hal ini akan disangkalnya secara serius sebagai tidak benar sama sekali. Quran secara jelas menyatakan "Tidak ada paksaan dalam agama, telah jelas jalan petunjuk dari kesesatan" [2:256] dan [60:8]. Dalam ayat ini, kata "rusyd" atau "jalan petunjuk" mengacu pada seluruh domain kehidupan manusia, tidak hanya pada ritual dan teologi Islam!
Tidak perlu diperdebatkan lagi adanya fakta bahwa
Syarat-syarat Jihad Perang
Penguasa, atau Imam, bertanggung jawab sepenuhnya pada rakyat dan aparat hukum mereka, yang utamanya diwakili oleh para ulama. Posisi dari hukum adalah HANYA pada suatu waktu di mana dapat dibuktikan secara logis bahwa:
Pada saat seperti itulah sang penguasa dapat menyatakan dan melaksanakan ketentuan Jihad. Adanya seorang pemimpin dari kaum Muslim, seorang Imam, untuk mendeklarasikan Jihad Qital, adalah suatu persyaratan. Dalam al-Mughni, Ibn Qudama menyatakan "mendeklarasikan Jihad adalah tanggung jawab Imam dan merupakan keputusan hukum independen darinya" (7). Al-Dardir mengatakan, "Pernyataan Jihad dilakukan dengan penugasan Imam pada seorang pemimpin" (8). Abu Bakr Al-Jazaa'iri menyatakan bahwa pilar-pilar Jihad antara lain adalah: "Suatu NIAT yang TULUS dan bahwa ia dilakukan di belakang seorang Imam Muslim dan di bawah panji bendera-nya dan dengan izinnya. Tidak diizinkan bagi mereka untuk berperang bila tidak ada Imam".
Demikian pula, penguasa, atau pemimpin politik dari suatu negara, memiliki kekuasaan untuk meratifikasi perjanjian-perjanjian damai, jika perjanjian-perjanjian itu konsisten dengan kepentingan-kepentingan Muslim. Wajib militer hanya dibatasi pada laki-laki muda yang sehat dengan syarat mereka memperoleh izin orang tuanya untuk berperang. Pengecualian akan hal ini adalah apabila musuh telah memasuki perbatasan-perbatasan suatu negara Muslim, saat itu Jihad menjadi wajib tanpa syarat atas setiap laki-laki yang mampu.
Persyaratan Islam dalam Meratifikasi Perdamaian
Allah SWT berfirman "Masuklah dalam perdamaian sepenuhnya dan jangan kau ikuti langkah-langkah setan" [2:208]. Nabi SAW bersabda, setelah menegakkan negara Islam di Madinah, bahwa jalan dari kaum Muslim adalah satu. Tak boleh ada satu kelompok pun dapat menyatakan perang atau bertempur, tak ada pula satu kelompok dapat melakukan perdamaian olehnya sendiri, tapi seluruh ummat Muslim-lah yang mesti membuat perdamaian. Suatu perjanjian damai dapat diputuskan oleh pemimpin negara/ummat, dan semua unsur dari negara/ummat diikat oleh keputusan itu, tanpa melihat apakah pemimpin itu ditunjuk atau terpilih. Keputusan final adalah tergantung pada sang penguasa setelah ia berkonsultasi dengan lainnya.
Jika suatu negara tidak memiliki pemimpin, maka negara itu mesti memilihnya, atau semua negara dan bangsa-bangsa tetangganya harus datang bertemu dan sepakat atas suatu pakta dengan suatu negara asing mana pun. Ini berlaku baik untuk perdamaian, maupun untuk perang. Tak seorang individu pun atau suatu kelompok diperbolehkan maju sendiri ke depan dan mendeklarasikan sendiri suatu Jihad: hal yang demikian akan menjadi suatu Jihad yang palsu. Semua bangsa Muslim dan pemimpin-pemimpin mereka harus datang dan bertemu untuk memutuskan perang atau damai, dan hanya inilah proses yang dapat diterima (untuk penentuan keputusan Jihad atau perdamaian, red).
Secara alamiah, setiap komunitas memiliki hak untuk membela diri dan dalam kasus Islam, di mana agama adalah dimensi utama dari eksistensi manusia, perang dalam rangka mempertahankan negara menjadi suatu amalan religius. Ketidakpahaman atas hal ini dalam Islam, yaitu aspek non-sekularismenya; telah pula menyumbang pada ketakutan bahwa ketika Islam berbicara tentang perang, maka itu selalu berarti perang untuk mengkonversi (agama, red.). Ini mungkin benar untuk budaya-budaya lainnya, tapi Islam harus diizinkan untuk berbicara tentang dirinya sendiri.
Al-Dardir berkata tentang ini, "Jihad menjadi suatu kewajiban ketika musuh menyerang [Muslim] dengan tiba-tiba" (9). Said Ramadan al-Buti menunjukkan bahwa berperang dalam kasus seperti ini adalah kewajiban dari seluruh komunitas itu. Ini berdasarkan pada sabda Nabi SAW, "Ia yang terbunuh ketika mempertahankan miliknya; atau dalam pembelaan diri, atau untuk agamanya, adalah seorang syahid" (10).
Sudah jelas dari Quran dan sumber-sumber lain bahwa perjuangan bersenjata melawan kaum Musyrikin diperintahkan secara hukum dalam konteks situasi-situasi yang spesifik setelah Nabi SAW berhijrah dari Mekah ke Madinah. Di Madinah, beliau melakukan suatu perjanjian dengan Yahudi dan suku-suku Arab di
Penolakan keras dari pemimpin Mekah (saat Nabi SAW sudah berada di Madinah) untuk mengizinkan penyebaran Islam secara damai di Mekah. Inilah pada kenyataannya yang menjadi alasan paling mendasar untuk Jihad bersenjata.
Penyiksaan terus-menerus yang tak kunjung reda atas Muslim yang tertinggal di Mekah setelah hijrahnya Nabi SAW ke Madinah memicu pemberontakan bersenjata atas kepentingan-kepentingan Quraisy di Hijaz.
Penduduk Mekah sendiri telah memulai kampanye militer melawan kaum Muslim di Madinah dengan tujuan tunggal untuk memusnahkan Islam.
Perjanjian-perjanjian keamanan kunci telah dilanggar secara sepihak oleh beberapa suku yang tadinya bersekutu dengan Nabi SAW, yang memojokkan beliau pada suatu posisi yang lemah.
Kondisi-kondisi ini untuk Jihad yang melibatkan perjuangan bersenjata dinyatakan secara jelas dalam Quran:
"Dan perangilah di jalan Allah SWT orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah SWT tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas" [2:190] dan "Mengapakah kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janji -nya), padahal mereka telah keras kemauannya untuk mengusir Rasul dan merekalah yang pertama kali memulai memerangi kamu?" [9:13]
Gambaran yang muncul di sini adalah bahwa perintah berperang diberikan berkaitan dengan kondisi-kondisi tertentu. Dus, deklarasi perang bukanlah suatu perkara yang sembarangan sama sekali. Suatu implikasi lebih jauh dari hal ini, sebagaimana dikemukakan mazhab Hanafi, adalah bahwa perang saat itu dinyatakan oleh Nabi SAW sebagai kepala dari negara Islam, dan karenanya tak seorang pun dapat mendeklarasikan Jihad secara sah kecuali seorang penguasa yang merupakan kepala sebuah negara Islam. Tugas itu terletak pada pundak kepemimpinan religius/politik untuk menentukan apakah kondisi-kondisi untuk Jihad telah dipenuhi dan kemudian untuk memberikan fatwa yang tepat.
Dalam waktu-waktu sesudahnya, kaum Muslim terlibat dalam peperangan untuk menegakkan "Pax Islamica" atau Orde Islami. Orde hukum dan politik haruslah lahir dari perintah Ilahi (Quran, Sunnah, dll.). Hal ini menjamin hak-hak setiap individu dengan tetap mewaspadai semua tendensi psikis gelap dari manusia dan karenanya mencegahnya dari melakukan perbuatan-perbuatan anti-sosial, agresi politik, hingga ke tindak-tindak kriminal paling umum. Untuk hal inilah Quran menyeru orang-orang beriman untuk pergi ke depan mempertahankan mereka yang hak-hak dan kemerdekaannya telah diinjak oleh tirani tak terkendali, dari orang-orang zalim dan pasukan penakluk musuh, atau mereka yang dicegah dari mendengarkan secara bebas firman Allah SWT yang disampaikan pada mereka oleh para da'i dan pendidik. Allah SWT berfirman, "Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah SWT dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita, maupun anak-anak yang semuanya berdoa: ‘Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!’". [4:75]
Tidak ada bukti kuat bahwa kaum Muslim pernah berniat atau mencoba memaksakan ritual dan kepercayaan Islam yang spesifik.
Ide, yang umum dipostulasikan di media, bahwa Islam bermusuhan terhadap non-Muslim hanya semata-mata karena mereka non-Muslim, adalah suatu kekeliruan konsepsi yang besar (11). Di luar kondisi-kondisi yang dilukiskan di atas, tidak ada alasan valid untuk bersikap bermusuhan pada mereka karena Quran menyatakan, "Allah SWT tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah SWT menyukai orang-orang yang berlaku adil." [60:8] Yang diacu dalam ayat ini adalah kepada non-Muslim secara umum.
Ayat ini menyebutkan suatu prinsip fundamental dalam Islam berkaitan dengan hubungan Muslim/Non-Muslim. Muslim dianjurkan untuk berbuat baik dan adil terhadap pemeluk agama dan kepercayaan lain kecuali dalam dua keadaan; pertama, jika mereka mengeluarkan kaum Muslim dari tanah mereka yang sah, dan; kedua, jika mereka berlaku bermusuhan terhadap kaum Muslim atau menunjukkan niatan yang jelas untuk melakukan hal itu (al-hirabah) disebabkan agama mereka dengan niatan kuat untuk menghancurkan keseluruhan ummat Islam. Dalam kasus yang kedua itu, adalah kewajiban dari Pemimpin Muslim untuk mendeklarasikan Jihad sebagai suatu aksi bela diri untuk menolak serangan-serangan semacam itu.
Jihad di antara Muslim
Jihad, dalam kasus pertikaian internal (Muslim), hanya muncul ketika dua kondisi ini ada: seorang Imam yang adil memerangi pemberontakan yang tak dapat dibenarkan; dan kaum Muslim berperang mendukung sang Imam melawan pihak yang memberontak. Dalam Islam, kesetiaan dan ketaatan pada pemerintah adil yang berkuasa adalah suatu kewajiban. Harus pula dicatat bahwa pemberontakan-pemberontakan melawan pemerintah yang sah dan khususnya pemerintahan politik, hanya demi pemberontakan itu sendiri, maka pemberontakan seperti ini tidak memiliki tempatnya dalam konsepsi Jihad. Dalam zaman relativisme seperti sekarang ini, semangat pemberontakan nampaknya telah menembus setiap lapisan masyarakat. Sekalipun demikian, Islam dan prinsip-prinsipnya tak boleh dibuat tunduk pada trend-trend kultural semacam ini.
Di beberapa kelompok "Islamis" kontemporer, Jihad telah diadaptasikan pada konsep Marxis atau Sosialis tentang pemberontakan revolusioner yang ditujukan untuk menggulingkan pemerintahan suatu negara. Dalam suatu lingkungan ideologi-ideologi politis dan revolusioner, yang seringkali amat materialistik, Islam secara tak terhindarkan telah tereduksi menjadi tak lebih dari sekedar filosofi sosial. Reduksionisme ini sama saja dengan kesalahpahaman yang dalam akan fungsi esensial dari Islam, yaitu untuk memalingkan “wajah” manusia dari dunia yang tak harmonis dan penuh ilusi menuju pada suatu kedamaian dan ketenangan akan kesadaran dan visi Ilahiah (Ketuhanan). Jihad internal (ke dalam nafsu sendiri), sebagaimana telah kami singgung di awal essai ini, memiliki peran kunci dalam hal ini.
Pemberontakan pada Penguasa
Ulama Ibn Nujaym berkata, “Tidaklah diizinkan adanya lebih dari satu pemimpin negara (Imam) dalam satu periode waktu. Hakim mungkin ada banyak jumlahnya, bahkan di satu negara, tapi pemimpin hanya satu.” (12) Al-Bahjouri mengatakan, “Adalah suatu kewajiban untuk taat pada pemimpin, sekalipun ia adalah seseorang yang tidak adil atau tidak tepercaya atau bahkan jika ia telah melakukan dosa atau kesalahan.” (13) Mazhab Abu Hanifah mengatakan bahwa kepala negara, Imam, tidak dapat dipecat karena berlaku fasiq (14). Hudzaifa bin al-Yaman RA meriwayatkan suatu hadis di mana ia berkata, “Nabi SAW bersabda, ‘Akan ada setelahku, pemimpin-pemimpin yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak mengikuti sunnah-ku, dan akan ada di antara mereka manusia-manusia yang hatinya seperti setan dalam tubuh seorang manusia’. Aku kemudian bertanya pada Nabi SAW, ‘Apa yang mesti Aku lakukan jika Aku hidup pada waktu itu?’ Beliau menjawab, ‘Dengarkan dan taatlah pada penguasa, bahkan jika ia mencambuk punggungmu dan mengambil uangmu, dengarkan dan taati.’” (15)
Dalam riwayat lain, Auf bin Malik RA berkata, “Wahai Nabiyallah SAW, apakah Anda menganjurkan kami untuk memerangi mereka?” Beliau menjawab, “Jangan! Jangan memerangi mereka selama mereka tidak mencegahmu melakukan salatmu. Dan jika kau melihat mereka sesuatu yang tidak kau sukai, bencilah perbuatan mereka itu, tapi jangan kau benci diri mereka. Dan jangan kau tarik tanganmu dari ketaatan pada mereka.”(16) Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abdullah ibn al-Abbas RA, “Jika seseorang membenci penguasanya, ia harus bersabar, karena jika ia melawan penguasa dengan suatu pemberontakan atau tingkah laku merusak sekalipun hanya dengan sejengkal tangan dan kemudian mati, maka ia mati dalam keadaan jahiliyyah dan berdosa.”
Teks-teks sumber ini adalah bukti yang jelas bahwa barangsiapa hidup di bawah pemerintahan tertentu haruslah taat pada penguasa itu dan hidup dengan damai. Mereka dilarang untuk mengangkat senjata melawannya. Pemberontakan atau kekerasan oleh suatu kelompok terhadap penguasa ditolak secara tegas oleh Islam, dan dilarang oleh Nabi SAW dan akan menjadi suatu sebab kematian di jalan jahiliyyah. Dus, Islam menganggap pemberontakan terhadap penguasa sebagai suatu ketidakadilan. Hadis-hadis ini menegaskan bahwa seseorang mesti bersabar terhadap penguasa/pemerintahnya, sekalipun jika penguasa itu melakukan tekanan. Hadis-hadis ini mengacu pada pemimpin suatu negara, dan bukan pemimpin suatu kelompok kecil. Karena itulah, kelompok-kelompok yang memberontak dengan kekerasan melawan rezim pemerintahan mereka adalah terlarang dalam Islam dan dianggap sebagai illegal dan berdosa.
Sebenarnyalah, jalan yang benar untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan seorang pemimpin adalah menurut suatu hadis “Jihad terbesar adalah ketika seseorang berkata kebenaran di hadapan seorang penguasa tiran.” (17) Perlu dicatat di sini bahwa hadis tersebut tidak menyebutkan sama sekali tentang melawan sang penguasa, melainkan memuji siapa yang mengoreksi penguasa dengan kata-kata. Oposisi bersenjata dan dengan kekerasan atas suatu rezim pemerintahan tidak akan pernah dianggap sebagai suatu Jihad di jalan Allah SWT, sekalipun hal ini diklaim oleh banyak kelompok. Sayang sekali, saat ini kita melihat begitu banyak individu dan kelompok yang mencap penguasa dan pemerintahan mereka sebagai kafir atau murtad, untuk menjustifikasi tindakan mereka mendeklarasikan jihad atas pemerintah, dengan memberi alasan bahwa hal ini karena pemerintahannya tidak memerintah dengan apa yang diwahyukan pada Nabi SAW. Lebih buruk lagi dari hal ini, adalah mereka bertindak lebih jauh dengan menteror dan membunuhi pejabat-pejabat pemerintah, anggota-anggota angkatan bersenjata dan petugas pelayanan masyarakat, semata-mata karena mereka adalah target yang mudah. Kelompok-kelompok ini menggunakan suatu ideologi “militan Islami” untuk membenarkan aksi yang kejam seperti itu, dengan menyatakan bahwa penguasa, pemerintah, dan pejabat-pejabatnya sebagai kriminal-kriminal yang menghalangi jalan “Islam yang benar”, yang harus dilenyapkan. Dus, mereka yang sebenarnya tak berbuat kejahatan apa pun, yang sekedar mencari penghidupan dan membina keluarga mereka, seperti para pejabat dan petugas kementerian dan departeman, pejabat provinsi dan
Jika penguasa bertindak salah, tidak diizinkan untuk mencapnya sebagai murtad, tidak pula diizinkan mengindoktrinasi ummat untuk menggunakan militansi untuk melawannya. Pada zaman Nabi SAW setelah Fat-hu Makkah (penaklukkan Mekah), seorang sahabat bernama Hatib ibn Abi Balta, menolong sebagian musuh dengan mendukung mereka secara ekstensif dan memberikan informasi rahasia pada mereka. Mungkin tidak ada saat ini orang yang mendukung penguasa tiran seperti Hatib mendukung orang-orang kafir saat itu. Ketika ia ditanya akan motifnya, Hatib menjawab, “Wahai Nabi Allah SAW! Janganlah terburu-buru menghakimi diriku. Aku dulu adalah orang yang berhubungan erat dengan kaum Quraisy, tapi aku tidak termasuk dalam suku ini, sementara para muhajir (sahabat yang hijrah) lain bersamamu, mereka memiliki keluarga-keluarga mereka di Mekah yang akan melindungi keluarga tanggungan mereka dan harta milik mereka. Karenanya, aku ingin untuk menutupi ketiadaan hubungan darahku dengan mereka itu dengan cara melakukan kebajikan bagi mereka sehingga mereka mau melindungi tanggungan-tanggunganku. Aku melakukannya sama sekali bukan karena kufur atau murtad tidak pula karena mengutamakan kufur atas Islam.” Nabiyullah SAW bersabda, “Hatib telah mengatakan padamu kebenaran.” (18)
Kita lihat di sini bahwa Nabi SAW, sekalipun sadar sepenuhnya akan tindakan-tindakan Hatib, tidak pernah menganggapnya di luar naungan Islam, tidak pula beliau menimpakan hukuman atasnya. Berkenaan dengan Hatib dan dukungannya pada orang-orang kafir, Allah SWT menurunkan ayat berikut, “Wahai orang-orang beriman! Janganlah kau ambil musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman setia: akankah kau tawarkan pada mereka kasih sayang sementara mereka mengingkari kebenaran yang telah datang padamu, dan mengusir Rasul dan dirimu sendiri karena kamu beriman pada Allah SWT, Tuhanmu?” [60:1]. Sekalipun ayat ini menegur Hatib, menunjukkan bahwa ia salah, Allah SWT tidak menganggapnya keluar dari iman, melainkan tetap menegurnya dengan sebutan kehormatan “Wahai orang yang beriman”, sekalipun tindakannya dianggap membantu musuh-musuh Islam.
Ini memberikan bukti bahwa bahkan jika seseorang membantu suatu rezim yang tidak mendukung Islam, dia tak boleh disakiti sebagaimana Nabi SAW pun tidak menghukum apa pun atas Hatib. Orang mungkin akan heran betapa saat ini begitu banyak kelompok yang dengan mudah mencap orang-orang yang bekerja di pemerintahan sebagai pemberontak dan murtad, dan mengeluarkan pernyataan kejam untuk membunuh mereka. Pekerjaan orang-orang itu bagi pemerintahan mungkin hanya sekedar untuk mata pencaharian mereka, atau malah untuk membangun suatu jembatan kepercayaan bagi masyarakat Islam, untuk menjamin suatu hubungan yang lebih baik di masa depan atau pemahaman yang lebih baik akan Islam. Perbuatan-perbuatan ekstrim seperti pernyataan untuk membunuh dan lain-lain tadi, sama sekali tidak berdasar pada Islam, dan didasarkan pada suatu ideologi ekstremis yang jauh menyimpang dari jalan tengah yang selalu dianjurkan dalam agama Allah SWT yang diberkati ini.
Jihad Internal
Islam bukanlah sekedar agama retorikal belaka, ia didasarkan atas persatuan, cinta dan perbuatan yang rasional. Segera setelah wafatnya Nabi SAW, Islam menyebar ke luar dari pusatnya di bumi, Ka’abah, suatu simbol iman yang tak tergoyahkan. Jihad adalah dinamika dari perluasan ini. Jihad secara keluar, melembagakan kekuatan Islam atas kebatilan dan kezaliman, sementara Jihad secara ke dalam mewakili suatu metode kebangkitan spiritual dan perbaikan nafs. Dengan mengacu pada hal inilah, Nabi SAW pernah bersabda sekembalinya dari pertempuran, “Kita sekarang kembali dari Jihad kecil ke Jihad yang lebih besar, Jihad melawan nafs.” (19) Nabi SAW dilaporkan telah pula bersabda dalam Haji Perpisahan, “…Pejuang di Jalan Allah SWT adalah ia yang berjihad melawan dirinya sendiri (jahada nafsah) demi untuk mentaati Allah SWT.” (20)
Sarana dalam Jihad Qital, yaitu pedang, diadopsi dan diinternalisasi oleh Islam sebagai suatu simbol karismatik dari alat perang suci. Ia menyimbolkan sifat-sifat kekuatan dan kewaspadaan, sesuatu yang tak bisa ditinggalkan oleh seorang pesuluk (penempuh jalan) spiritual dalam perjalanannya menuju pencerahan dan visi. Simbolisme ini secara mendalam telah menginspirasi seniman dan pengrajin Muslim. Sebagai contoh, dalam kaligrafi, orang akan menemukan motif pedang tercetak dalam emas dan perak sebagai huruf awal dari kesaksian iman, syahadah. Bukti historis, dan praktek saat ini mengindikasikan bahwa simbol ini seringkali menjadi feature utama dari event kultural di dunia Islam, seperti tarian daerah di mana pedang berkilat diayunkan sambil menyanyi dan bergerak menurut suatu ritmik dari pembacaan zikir Sufistik.
Allah SWT berfirman dalan Quran suci, “Mereka yang berjuang demi Kami, Kami akan bimbing mereka menuju jalan Kami” [29:96]. Dalam ayat ini, Allah SWT menggunakan turunan dari akar linguistik kata “Jihad” untuk mendeskripsikan mereka yang pantas memperoleh hudan/petunjuk/bimbingan, dan Allah SWT telah membuat petunjuk itu bergantung pada Jihad melawan keinginan-keinginan batil dari jiwa. Karena itulah, orang yang paling sempurna adalah mereka yang berjuang paling gigih melawan desakan egois dari nafs-nya demi (mentaati) Allah SWT. Jihad yang paling wajib adalah Jihad melawan sisi paling dasar dari nafs, melawan keinginan (Hawa’), melawan syetan, dan melawan dunia yang rendah.
Sufi besar Al-Junayd QS berkata, “Mereka yang berjuang melawan keinginan hawa nafs-nya dan bertobat demi Allah SWT, akan dibimbing menuju jalan ketulusan (Ikhlas). Seseorang tidak bisa berjuang melawan musuh luarnya (yaitu dengan pedang) kecuali ia yang berjuang melawan musuh-musuh dalamnya (nafs dll.) Kemudian siapa saja yang telah dikaruniai kemenangan atas mereka akan pula menang atas musuh luar-nya, dan siapa yang dikalahkan musuh-musuh dalam dirinya, musuhnya akan mengalahkannya.”
Zikir: Mengingat Allah SWT
Nabi SAW bersabda, “Maukah kalian aku beritahu sesuatu yang terbaik di antara amal-amal, merupakan amal salih terbaik di hadapan Tuhanmu, meninggikan derajatmu di akhirat kelak, dan membawa keutamaan lebih banyak daripada mengeluarkan emas dan perak di jalan Allah SWT, atau berperan serta dalam Jihad dan membunuh atau terbunuh di jalan Allah SWT?” Mereka menjawab, “Ya, mau!” Beliau bersabda, ”Mengingat Allah SWT (DzikrulLah).” (21)
Dus, orang akan menemukan bahwa prinsip-prinsip Jihad Spiritual didasarkan atas pelenyapan sifat-sifat buruk, egois, dan buas dari nafs lewat latihan spiritual (riyadhah ruhaniyyah) dan penguasaan zikir, mengingat Allah SWT. Zikir ini ada banyak bentuknya: setiap mazhab atau tarekat Sufi memfokuskan pada suatu bentuk latihan spiritual yang berbeda untuk mendorong salik (sang pencari) mencapai Hadirat Ilahi. Metode-metode ini bervariasi mulai dari zikir pelan individual hingga zikir dalam suatu kelompok. Perjuangan ruhaniah inilah yang menaikkan manusia dan menanamkan dalam dirinya perasaan berhubungan dengan Penciptanya, dan perspektif yang benar dalam berhubungan dengan semua makhluk, selalu menyerukan cinta di antara manusia dan berjuang di jalan Allah SWT demi terciptanya saling pemahaman antara komunitas-komunitas yang berbeda dari semua kepercayaan dan agama yang ada. Dengan Jihad spiritual/ ruhaniah inilah pengaruh dari nafs yang egois pada ruh sang pencari (salik) akan hilang dan meningkatkan maqamnya dari depresi, kecemasan dan kesendirian menuju seseorang yang penuh kebahagiaan, kepuasan, dan persahabatan dengan Yang Maha Tinggi.
Catatan Kaki
(1) Muqaddimaat, Ibn Rushd (dikenal di dunia Barat sebagai Averroes), hal. 259.
(2) Jihad in Islam, Muhammad Sa'id R. Al Buti, Dar al-Fikr, 1995.
(3) Jihad in Islam, Muhammad Sa'id R. Al Buti, Dar al-Fikr,1995.
(4) lihat al-Minhaaj, (Metode), al-Nawawi, hal. 210.
(5) Al-sharh al-saghir, Imam al-Dardir.
(6) Kashf al-kina'a, Mansour bin Yunes al-Bahhouti, hal. 33.
(7) Al-Mughni, Vol. 9, hal. 184.
(8) Al-Sharh al-Saghir oleh al-Dardir, Vol. 2, hal. 274.
(9) Ibid.
(10) riwayat Abu Dawud dan Tirmidhi.
(11) Pengecualian tunggal atas hal ini adalah pendapat Imam Syafi'i, yang berpendapat bahwa ayat "maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertobat dan mendirikan salat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sungguh Allah SWT Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [9:5] dan ayat "Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah SWT dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (Islam), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka (Yahudi, Kristen dan Majusi), sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk." [9:29], mendukung suatu kondisi bahwa Jihad adalah perang terus-menerus atas non-Muslim sampai mereka bertobat dan menerima Islam atau jika tidak membayar jizyah." Tetapi, mayoritas fuqaha (ahli hukum) berpendapat melawan pendapat ini, dengan mengutip ayat berikutnya sebagai bukti "Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah SWT, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui." [9:6]. Imam-Imam yang lain berpendapat dari ini bahwa selama mereka patuh dan berkehendak untuk hidup dengan damai bersama kaum beriman, kewajiban Ilahiah kita adalah untuk memperlakukan mereka dengan damai, meskipun mereka mengingkari Islam. Ayat berikutnya, "Bagaimana bisa ada perjanjian (aman) dari sisi Allah SWT dan Rasul-Nya dengan orang-orang musyrikin, kecuali orang-orang yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjidilharam (yaitu di al-Hudaibiyah)? maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah SWT menyukai orang-orang yang bertaqwa." [9:7] adalah suatu perintah untuk menjaga kewajiban-kewajiban pakta perjanjian dengan perhatian yang sangat cermat, dan agar tidak melanggarnya kecuali jika orang-orang tak beriman melanggarnya lebih dahulu. Ini diulang dalam ayat berikutnya "Bagaimana bisa (ada perjanjian dari sisi Allah SWT dan Rasul-Nya dengan orang-orang musyrikin yang lain), padahal jika mereka memperoleh kemenangan terhadap kamu, mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan terhadap kamu dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. Mereka menyenangkan hatimu dengan mulutnya, sedang hatinya menolak. Dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik (tidak menetapi perjanjian)". [9:8] di mana Allah SWT memerintahkan kita untuk tidak membuat perjanjian dengan musuh tak beriman yang melanggar sumpah-sumah mereka dan memiliki niat untuk menyergap kaum Muslim. Seandainya tujuan Jihad adalah untuk memerangi seluruh orang-orang tak beriman, maka tentu tidak akan ada kebutuhan akan pakta perjanjian dan tidak akan ada pembedaan di antara musyrikin yang setia dan memegang janjinya dengan mereka yang berkhianat. Berdasarkan argumen-argumen para ulama ini, mayoritas menyimpulkan bahwa perang fisik bukanlah suatu kondisi permanen atas orang-orang tak beriman, tetapi hanya ketika perjanjian-perjanjian dilanggar atau suatu agresi telah dilakukan atas teritorial Muslim (dar al-Islam) oleh orang-orang tak beriman. Di lain pihak, dakwah pada Islam, adalah suatu jihad kontinu, dilakukan terus-menerus, berdasarkan hadis, "Aku telah diperintah untuk melawan orang-orang sampai mereka menyatakan bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT dan bahwa Muhammad SAW adalah utusan-Nya, menegakkan salat, dan membayar zakat. Jika mereka melakukan semua itu, darah dan harta mereka dijamin dan dilindungi atas namaku kecuali jika dibenarkan oleh hukum-hukum Islam. Kemudian perhitungan atas mereka akan dilakukan oleh Allah SWT." (Bukhari dan Muslim). Said Ramadan Buti dalam "Jihad in Islam", menjelaskan hadis ini secara detail, menunjukkan bahwa, berlawanan dengan pendapat minoritas, berjuang di sini tidak mengacu pada perang melainkan untuk berjuang dalam bentuk dakwah, menceramahi, memperingatkan dan menegakkan prasarana negara yang dengannya dakwah Islam terlindungi. Ini tidaklah berarti memaksa seseorang menjadi Muslim di ujung sebilah pedang, dan berbagai contoh dapat dikutip dari sejarah hidup Nabi SAW yang menunjukkan bahwa beliau tak pernah memaksakan pemindahan agama, tidak pula hal ini dilakukan penerus-penerusnya. Said Ramadan Buti menjelaskan bahwa ulama-ulama bahasa dari hadis, menunjukkan bahwa kata <uqaatil> yang digunakan Nabi SAW pada kenyataannya bermakna "melawan" dan bukan <aqtul> "membunuh". Dalam bahasa Arab, kata ini digunakan dengan makna membela diri terhadap seorang penyerang atau seorang zalim, dan tidak digunakan dengan arti menyerang atau membunuh.
(12) Al-Ashbah wal-nadhair, Ibn al-Nujum, hal. 205
(13) Syarah Sahih Muslim, vol. 2, Al-Bahouri, hal. 259.
(14) Syarh al-aqaid an-nasafiyya, Imam Abu Hanifa hal. 180-181.
(15) Sahih Muslim.
(16) Sahih Muslim. Hadis-hadis lain dengan maksud serupa antara lain: 1) "Akan ada atas kalian pemimpin-pemimpin yang akan kau kenali tapi tidak kau setujui, siapa yang menolak mereka adalah bebas, siapa yang membenci mereka adalah selamat, berlawanan dengan mereka yang senang dan mentaati mereka”, mereka (para sahabat) bertanya, “Tidakkah kami mesti memerangi mereka?” Beliau SAW menjawab, “Tidak, selama mereka masih salat.” 2) "Pemimpin-pemimpin kalian yang terbaik adalah mereka yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, kalian berdoa bagi mereka dan mereka berdoa bagi kalian. Pemimpin-pemimpin kalian yang terburuk adalah mereka yang marah atas kalian dan kalian marah atas mereka dan mengutuk mereka dan mereka mengutuk kalian.” Kami bertanya, “Ya Rasulallah SAW tidakkah kami mesti menyingkirkan mereka karena hal tersebut?” Beliau menjawab, “Tidak, selama mereka menegakkan salat bersama kalian.”
(17) Diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri dalam Abu Dawud dan Tirmidhi.
(18) Sahih Bukhari.
(19) Ghazali, dalam Ihya'-nya, al-`Iraqi berkata bahwa Bayhaqi meriwayatkannya dari Jabir dan berkata bahwa ada kelemahan pada rantai transmisinya (isnad). Menurut Nisa'i dalam al-Kuna ini adalah suatu perkataan dari Ibrahim ibn Ablah.
(20) Tirmidhi, Ahmad, Tabarani, Ibn Majah, dan al-Hakim.
(21) Diriwayatkan dari Abu al-Darda' oleh Ahmad, Tirmidhi, Ibn Majah, Ibn Abi al-Dunya, al-Hakim, Bayhaqi, dan Ahmad juga meriwayatkannya dari Mu`adz ibn Jabal RA.
Wa min Allah at tawfiq
Fatwa Mawlana Syekh Muhammad Hisyam Kabbani QS, ketua ISCA dan Syekh Seraj Hendricks, Mufti
No comments:
Post a Comment