Shuhba Mawlana Syekh Muhammad Hisyam Kabbani QS
A'uudzubillaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillaahir rahmaanir rahiim
Wash-shalaatu was-salaamu 'alaa asyrafil Mursaliin Sayyidinaa wa Nabiyyina Muhammadin wa 'alaa aalihi wa Shahbihi ajma'iin
Kita tidak menyebut mukjizat kecuali bagi nabi-nabi. Apa yang para awliya lakukan dengan keajaiban-keajaibannya, kita sebut sebagai karamah. Allah SWT menganugerahi para awliya kekuatan yang tidak mampu dilakukan oleh manusia lain. Nabi SAW bersabda, “Ajallu-l-karamat dawamu-t-tawfiq.” “Karamah yang terbaik adalah kesuksesan yang terus-menerus.” Bagi manusia biasa yaitu dengan menjaga kesinambungan perilaku-perilaku yang baik pada cara/arah yang benar. Misalnya, tidak baik bila salat 100 rakaat pada hari ini, 2 rakaat esok hari, kemudian tidak salat sama sekali pada lusanya, lalu 50 rakaat pada hari selanjutnya. Apa manfaatnya? Tidak ada!
Yang terbaik adalah ibadah secara berkesinambungan. Jika sekarang salat 5 kali sehari, lanjutkan terus dengan salat 5 kali sehari. Jangan melakukan terlalu banyak pada suatu hari untuk kemudian berhenti selama sebulan. Sabda Nabi SAW, jika kalian meraih konsistensi, itulah sebuah karamah, kekuatan yang Allah SWT anugerahkan dalam hati kalian. Hal itu lebih baik, daripada melakukan sesuatu yang tidak mampu dilakukan orang lain, seperti berjalan di atas paku-paku, atau memakan pecahan kaca. Itu bukan karamah. Karamah adalah menjaga kemajuan hidup kita sehari-hari, tidak berhenti dari satu waktu ke waktu lain. Jagalah konsistensi.
Seperti yang dikatakan Syah Naqsyband QS tentang meletakkan 3 hal utama yang harus dilaksanakan murid-muridnya atas perintah syekh (menggali lubang, mengeringkan lautan, berjalan terus untuk meraih amanat—penerj.). Kesalahan kita adalah tidak percaya bahwa kita mampu mencapainya.
Setiap orang berpikir bahwa setelah mampu meraih tingkat tertinggi, dia ingin mengatur semua orang, dan menginginkan agar semua orang di dalam kelompok itu mendengar dia, karena merasa dialah murid favorit syekh. Hal ini adalah salah. Seseorang yang duduk di dekat barisan sepatu-sepatu adalah murid kesayangan syekh, bukan yang duduk di dekat syekh. Inilah yang harus kita jaga dalam pikiran kita.
Kita memerlukan seseorang untuk membawa kita kembali pada syekh; bukan seseorang yang menjauhkan kita dari beliau. Meninggalkan syekh berarti mematahkan seluruh kemajuan kalian. Syekh tidak peduli kalian meninggalkan beliau atau tidak, karena kalian adalah milik beliau. Nanti pada hari kiamat, beliau akan menarik kalian kembali ke hadapannya. Namun dalam hidup ini, kalian akan selalu tertipu oleh seseorang yang akan menjauhkan kalian pada beliau.
Allah SWT menunjukkan Ahmad al-Badawi QS, seorang ulama suci yang diminta datang di Hadirat-Nya, namun harus mengambil sebuah kunci dari seorang pembimbing yang akan dikirim oleh Allah SWT. “Sunnati fi khalqi,” “Metode/Jalan-Ku ada di antara umat manusia. Setiap orang harus bergantung pada yang lain untuk mendekati-Ku. Tidak ada yang mampu berdiri sendiri kecuali Aku. Akulah Sang Pencipta dan Aku tidak bergantung pada apa pun.”
Sang ulama harus pergi pada awliya untuk mendapatkan kunci itu, dan awliya itu mengatakan, “Harga yang kuminta bagi kunci itu adalah membuang segala ilmu yang engkau pelajari dari buku-buku dan ego. Kami tidak bergantung pada buku-buku. Itu adalah pengetahuan palsu, engkau mengumpulkan pengetahuan dengan egoisme, dengan kesombongan, dengan arogansi. Kelak engkau tidak bisa menjadi contoh yang baik bagi pengikutmu. Kita harus membuang semua pengetahuan itu. Jika engkau menerima, aku akan memberi kuncimu.”
Ahmad al-Badawi QS berkata, “Aku siap.” Itulah ketulusan akan apa yang beliau inginkan. Beliau menerimanya, walaupun berarti hidup menjadi taruhannya. Karena beliau adalah seorang ulama besar dan seorang hakim di negaranya. Jika syekh mengatakan pada seseorang untuk menyerahkan hidupnya, dan dia dengan tulus memberikannya, maka dialah yang akan menerima rahasia-rahasia syekh. Syekh ingin memberi kita rahasia namun kitalah yang tidak ingin mengambilnya, karena kita tidak tulus.
Awliya itu mengambil pengetahuan Ahmad QS sampai beliau tidak lagi hafal surat al-Fatiha dan mengingat namanya sendiri. Masyarakat menyangka beliau sudah gila, anak-anak kecil mengolok-olok dan melempari beliau dengan batu-batu di jalanan. Namun di dalam hati, beliau selalu bersama syekhnya. Syekh meninggalkan beliau dalam keadaan seperti itu sampai ada kesempatan mereka bertemu kembali. Pada saat pertemuan itu, keadaannya telah berada pada tingkat yang lebih matang. “Tolonglah, demi Allah SWT, demi Rasul-Nya, beri aku kunci itu. Aku ingin memasukinya.” Cinta itu begitu membakar di dalam hati beliau.
Cinta itu adalah cinta karena kepedihan. Itulah kewajiban akan cinta. Kalian tidak mengambil kemanisan dari cinta, tetapi kepedihan. Jika kalian merasakan kemanisan, itu bukan cinta, tapi hanyalah permen. Untuk mengambil permata, kalian harus memotongnya dan mungkin tangan kalian akan teriris juga. Cinta itu penuh dengan kepedihan dan penderitaan, itulah yang diperlukan. Bukan cinta yang penuh dengan kemanisan di mana syekh mengajak kalian berkeliling untuk piknik. Cinta adalah dengan menguji kalian, seperti semut yang berjalan terus mencari makanan tidak peduli bila sebuah tangan atau kaki manusia akan meremukkannya.
Kata syekh, “Lihatlah ke dalam mataku, sekarang engkau akan menerima pengetahuan spiritual kami. Kini saatnya kami alirkan pengetahuan Ilahi di dalam hatimu.”
Sekarang ulama itu tidak lagi mengatakan, ”Ini pengetahuanku.” Karena itu hanyalah ego. Sekarang yang dialirkan adalah pengetahuan para syekh, tidak ada ego di
Untuk mendapatkan cinta dan kehadiran syekh, ada beberapa syarat. Kita yang berada di negara-negara barat, sangat jauh pemahamannya akan ‘penderitaan cinta ‘ – ‘kepedihan cinta’. Padahal itu yang kita butuhkan untuk mencapai tingkatan penglihatan akan syekh; bagaimana mengetahui beliau, bagaimana memahami beliau, bagaimana mematuhi beliau dan menyadari apa yang harus kita lakukan.
Wa min Allah at-tawfiq bi hurmat al-Fatiha.
No comments:
Post a Comment