27 June 2008

Ego dan Shuhba

Shuhba Mawlana Syekh Muhammad Hisyam Kabbani QS


A'uudzubillaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillaahir rahmaanir rahiim
Wash-shalaatu was-salaamu 'alaa asyrafil Mursaliin Sayyidinaa wa Nabiyyina Muhammadin wa 'alaa aalihi wa Shahbihi ajma'iin


Di mana kita kehilangan zikir kita—ingatan kita pada Allah SWT; di mana kita terputus walaupun hanya sedetik saja, segera ego kita akan melompat keluar karena ingin diperhatikan. Untuk itu, pada saat nafsu seseorang ingin diperhatikan, yang lain harus menyadari bahwa ia telah keluar dari lingkaran shuhba. Ia harus ditarik kembali.

Adalah berat bagi ego kita untuk menjadi ‘hanya salah satu’ dari kebanyakan orang—bukan menjadi seseorang yang ‘berbeda’. Nafsu selalu menunggu seseorang untuk kehilangan total kesadarannya—sehingga ia (nafsu) bisa melompat keluar.

Para sufi hidup di dalam shuhba. Kehidupannya berisi shuhba. Mereka semuanya mempunyai tujuan yang sama, niat yang sama namun maqam mereka berbeda. Setiap orang berada dalam tingkatannya masing-masing namun perbedaan itu sebenarnya ‘selaras’ satu sama lain. Ketika kita berada dalam shuhba, jangan mengatakan bahwa “masalah saya berbeda dengan dia” atau “karakter saya berbeda dengan dia” atau “saya mempunyai gagasan berbeda dengan dia.” Jangan berpikiran bahwa diri sendiri adalah ‘seseorang’. Jangan! Semua orang yang datang bersama dalam suatu shuhba, apapun perbedaan mereka, sebenarnya mereka ‘selaras’ satu sama lain.

Jangan terlalu yakin akan diri sendiri, jangan pernah berpikir bahwa kalian tidak melakukan sesuatu agar diperhatikan. Siapa sih yang tidak? Berapa banyak yang kita katakan atau kita lakukan bukan karena suatu tujuan? satu, dua? Berapa banyak? Apa yang kalian katakan mungkin terbungkus oleh ‘tujuan’ yang lebih dalam. Tanyakan pada diri sendiri atau tanya pada hati kalian mengapa kalian berbicara dan berlaku seperti itu? Tak seorang pun lepas dari ego, sampai mereka mencapai maqam yang aman.

Sebelum mencapainya, segalanya dapat terjadi setiap saat dan tidak kurang dari satu detik, lebih cepat dari perkiraan kalian. Kadang kita terkejut dengan diri sendiri karena melakukan sesuatu hal yang konyol, “Mengapa saya melakukan hal itu? Mengapa saya mengatakan hal seperti ini?”

Pikiran terlalu lambat untuk menangkapnya, karena ego bergerak lebih cepat dari pikiran! Kita berusaha memahami saat segalanya telah terjadi. Jadi, untuk tetap waspada/sadar adalah lebih penting dari pada hanya berpikir.

Saat nafsu seorang sufi melompat ke depan, keinginan untuk diperhatikan melalui amarah dan permusuhan terhadap saudara laki-laki atau perempuannya (ini adalah cara paling terkenal agar diperhatikan yaitu dengan mengkritik, menyalahkan, marah). Saat hal ini terjadi, kewajiban bagi mereka yang dikritik, yang dituduh—untuk menemui roh orang yang melawannya dengan hatinya. Hal ini sangat penting. Saat seseorang melawan kalian atau mengkritik kalian dengan keegoan mereka, dengan nafsu mereka—jangan dilawan lagi dengan nafsu, karena jika kalian melakukan itu kalian sedang dalam peperangan. Hanya akan memanas. Inilah aturan bagi siapapun dan agar kita dapat menggunakannya setiap saat. Di saat seseorang mengkritik atau menyerang kalian, karena nafsu mereka, maka temuilah mereka dengan hati kalian jangan dengan ego kalian. Jangan balik menyerang atau mengkritik. Hal itu tidak akan menolong. Hanya akan melempar kalian berdua keluar (dari shuhba—penerj.).

No comments: