21 June 2008

Mengenai Shuhba

Shuhba Mawlana Syekh Muhammad Hisyam Kabbani QS


A'uudzubillaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillaahir rahmaanir rahiim
Wash-shalaatu was-salaamu 'alaa asyrafil Mursaliin Sayyidinaa wa Nabiyyina Muhammadin wa 'alaa aalihi wa Shahbihi ajma'iin



"Thariqatuna as-shuhba wa-l khayru fi-l jam'iia"
(Jalan kita berada dalam asosiasi dan berkah atau kebaikan berada dalam kebersamaan).
Syah Naqsyband

Shuhba berarti suatu asosiasi atau perkumpulan di mana semua yang hadir memusatkan diri pada satu titik, satu sasaran.

Sebagian orang berpikir bahwa mereka tidak akan menemukan suatu kejahatan, atau konflik di tempat-tempat seperti kota suci Mekah; kalian tidak akan menyaksikan hal-hal semacam itu di depan Ka’bah. Namun demikian, seseorang yang telah mengunjungi tempat-tempat suci ini dapat dengan mudah mengetahui bahwa pada kenyataannya hal itu tidaklah demikian. Bahkan dibandingkan tempat lain, tempat-tempat suci tersebut justru lebih banyak melahirkan segala sesuatu yang berasal dari dunia yang berbeda, bukan dari dunia roh atau malaikat, melainkan dari dunia binatang.

Maka ketika kalian masuk, atau berniat untuk mulai menempuh hidup di Jalan Sufi, tak jadi soal bila berbagai kesulitan dan masalah menimpa diri kalian. Persoalannya hanya, ketika untuk pertama kalinya kalian dapat mengetahui mengapa hal-hal tersebut terjadi dan apa makna dari peristiwa itu. Itulah perbedaannya. Orang biasanya tidak menderita akibat apa yang menimpa mereka, tetapi sebagian besar menderita karena mereka tidak mengerti mengapa kejadian itu menimpa mereka dan apa hikmah dari kejadian itu.

Oleh sebab itu, orang yang berusaha untuk mengikuti jalur spiritual sepatutnya mengerti. Mereka harus tahu bahwa dengan bergabungnya mereka ke dalam kelompok seperti itu; tidak berarti secara otomatis mereka aman satu sama lain, karena kita tahu bahwa salah satu cara Allah SWT, salah satu jalan-Nya yang paling terkemuka dalam menguji hamba-hamba-Nya adalah dengan menempatkan mereka dalam keadaan saling bertentangan. Hal itu terjadi dalam tarekat seperti halnya di luar (tarekat), tetapi mungkin di dalam tarekat hal itu terlihat lebih jelas karena orang tidak menginginkannya. Pada saat yang sama, orang harus memahami hal itu dan belajar untuk berurusan dengannya. Lebih jauh lagi, apa yang terjadi dalam tarekat hanyalah merupakan sebuah contoh terhadap apa yang terjadi di mana-mana, tetapi di situ hal itu terlihat lebih jelas. Sebab kita harus selalu waspada dan tidak boleh lengah ketika kita mengikuti jalan spiritual. Jika kita tidak mau mengikutinya, kita boleh tidur. Tidak masalah. Tetapi bila kita berusaha untuk mengikuti jalur seperti itu, kita tidak boleh tidur. Hal itu tidak diizinkan. Jika terjadi juga, kita harus segera berusaha untuk bangkit.

Kadang-kadang, ketika kita berbicara di sini, kita berbicara secara umum menyangkut semua orang yang datang dari mana-mana, dan pergi ke mana-mana. Kadang-kadang, ada hal penting yang perlu disampaikan mengenai peristiwa-peristiwa yang khusus, tetapi apapun yang dibicarakan, sudah tentu berguna dan bermanfaat. Kita tidak berbicara di sini untuk tampil mengesankan dengan pengetahuan kita. Maksud dari shuhba atau pembicaraan dalam shuhba terletak dalam dua hal. Pertama adalah untuk menyampaikan sesuatu yang bermanfaat bagi orang-orang dan mungkin itu bisa menolong dalam situasi tertentu bagi mereka dan pada saat yang sama bisa bermanfaat secara umum. Tujuan kedua dari pembicaraan dalam shuhba adalah untuk memohon kepada Allah SWT untuk memberikan suatu pembukaan dalam hati orang-orang yang benar-banar mendengarkan, yang selalu terjaga dan tidak lengah, sehingga berkah akan tercurah pada mereka. Mereka dapat meninggalkan pertemuan itu dengan berkah dari Allah SWT, Rasulullah SAW, dan dari Grandsyekh di Tarekat Naqsybandiyyah. Berkah ini akan tercurah ke dalam hati mereka dan itu akan menolong mereka.

Sekarang kita akan berbicara mengenai makna berada dalam shuhba dan makna ketika meninggalkannya, ketika melanggar peraturan shuhba. Ini adalah sebuah nasihat bagi setiap orang secara general, dan khususnya bagi orang-orang tertentu. Saya akan menyebutkan kepada kalian, sesuatu yang berasal dari Grandsyekh besar kita, Syeikh `Umar al-Suhrawardi QS Awarif al-Ma`arif. Beliau berbicara tentang makna ketika seseorang mengatakan, “Saya seorang Sufi.”

Di masa sekarang, banyak orang yang tidak memahami hal ini lagi, dan begitu banyak orang yang menghakimi, mengkritik dan menghukum tanpa pemahaman. Maka, mereka bisa saja mengambil keuntungan dari ucapannya. Tetapi ucapan mereka sama pentingnya untuk orang-orang yang mengikuti atau berniat untuk mengikuti suatu jalur spiritual, Jalan Sufi.

Dalam tradisi Sufisme, selalu ada tempat khusus di mana para Sufi tinggal. Jika kalian pergi ke Konya, di Turki, dan mengunjungi makam Jalaluddin Rumi QS, semoga Allah SWT mensucikan rahasianya yang diberkati, kalian akan melihat bahwa di sekitar makam tersebut terdapat sebuah rumah besar dengan banyak kamar. Di kamar-kamar itulah murid-murid Syekh dalam Tarekat Maulawiyah tinggal. Hal semacam ini juga terdapat dalam tarekat lain, tetapi tidak seluruhnya demikian.

Dalam Tarekat Naqsybandi, Syekh kita mengatakan bahwa membangun rumah seperti itu bukanlah prinsip kita. Mengapa tidak? Apa hikmah di balik pernyataan ini? Untuk apa rumah itu dibangun? Itu berarti, orang-orang yang mengikuti jalur spiritual tinggal dalam satu rumah. Mereka mengikuti peraturan khusus yang merupakan peraturan di rumah itu. Mereka berada di bawah bimbingan si pemilik rumah. Rumah seperti itu bisa saja memiliki dinding, atap dan lantai dari batu, tetapi bagi kita itu tidak perlu. Itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang memerlukan dinding seperti itu, atap seperti itu, dan batu seperti itu agar tahu di mana mereka tinggal. Rumah-rumah seperti itu dibangun dan bisa dibangun kembali. Namun, bagi orang yang mengerti apa makna untuk tinggal di sebuah rumah, tinggal bersama, dan mengikuti peraturan di rumah tersebut, berjalan di jalur spiritual di bawah bimbingan pemilik rumah, ia tidak memerlukan dinding seperti itu. Sekarang, di dalam Tarekat Naqsybandi, ketika kita tidak memiliki rumah seperti itu, atau tidak terdorong untuk memilikinya, bukan berarti tidak ada. Itu berarti Syekh dan muridnya mengetahui, tanpa perlu diingatkan lewat batu-batu itu, bahwa mereka tinggal di rumah seperti itu. Rumah kita adalah tarekat ini. Rumah itu memiliki peraturan untuk tinggal dengan satu sama lain. Jika seseorang tidak mengikuti peraturan tersebut, sesuatu akan terjadi padanya. Mungkin, ia akan ditempatkan di luar untuk sementara, mungkin ia akan ditempatkan di ruangan lain, atau akan dikatakan kepadanya, “Pergilah ke luar sampai kamu diizinkan untuk masuk kembali.” Tak ada rumah tangga yang tidak memiliki peraturan. Orang harus mengetahui dan mematuhinya. Rumah bagi Naqsybandiyya disebut shuhba. Itulah rumahnya. Jika kalian berada dalam sebuah shuhba, maka kalian berada dalam Tarekat Naqsybandiyyah. Jika kalian menerima peraturan shuhba, kalian tinggal di rumah ini, di bawah pengawasan dan bimbingan Syekh. Jika kalian melanggar peraturannya, berarti kalian melanggar peraturan rumah tersebut. Oleh sebab itu kita harus mengetahuinya. Tidak menjadi soal apakah rumah itu tersusun atas beberapa material atau tidak. Itu hanya diperlukan oleh orang yang mendapatkan pemahamannya lewat rumah seperti itu, tetapi tidak semua orang memerlukannya. Seorang pengikut Tarekat Naqsybandi harus bisa memahami tanpa rumah tersebut.

Ketika kita mengunjungi Mawlana Syekh di Lefke, Siprus, kita melihat sebuah pondokan (guest house) dan rumah Syekh. Tetapi jangan kalian pikir bahwa ketika kalian meninggalkan Siprus, kalian tidak lagi berada di rumah Syekh. Tak peduli di mana kalian berada. Rumah itu berada di mana-mana.

Sekarang, apa yang dikatakan oleh Syekh Umar Suhrawardi QS adalah mengenai orang-orang yang tinggal di rumah seperti itu. Mungkin, kalian tahu bahwa banyak makna yang terkandung dalam kata tasawwuf atau Sufi, dan masing-masing memiliki hikmah. Sebagian orang mengatakan bahwa kata itu berasal dari kata suf, wool, atau dari kata dalam bahasa Arab yang berarti kemurnian. Syekh Umar Suhrawardi QS mengatakan bahwa kata itu berasal dari Ahl as-Suffa. Ketika orang mengatakannya, dia harus mengerti maknanya: siapa yang dimaksud Ahl as-Suffa dan apa artinya bagi orang yang mengaku dirinya sebagai seorang Sufi, dan siapa yang tinggal di bawah nama orang-orang tersebut. Ada sebuah ungkapan dalam hadits Rasulullah SAW, “Jiwa-jiwa adalah bagaikan tentara yang berkumpul bersama, mereka yang mengenal satu sama lain, setuju satu sama lain. Mereka yang tidak mengenal satu sama lain, takkan setuju.”

Dan ada pernyataan yang serupa dari Sayyidina ‘Ali KW, semoga Allah SWT memberkati wajahnya, “Apa yang kau kenal, kau cintai; dan apa yang kau abaikan, kau benci.”

Hadis Rasulullah SAW juga menyatakan hal yang sama, “Mereka yang mengenal satu sama lain, setuju satu sama lain, mereka datang bersama, mereka bertemu, mereka berada dalam shuhba. Mereka yang tidak saling mengenal, tidak setuju.” Sekarang Syekh Suhrawardi QS berkata, “Melalui shuhba, jiwa para Sufi disatukan dan ego mereka (anfaas) dibatasi. Mengapa? Karena dengan berada dalam shuhba, mereka melihat satu sama lain, memandang satu sama lain, sesuai dengan hadis bahwa seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya. Dalam shuhba, mata bertemu mata. Setiap orang menjadi cermin bagi orang lain dan dengan demikian ego mereka terbatasi. Sebagaimana Mawlana Syekh Nazim QS suatu hari berkata, “Alasan mengapa kita duduk bersama adalah karena itu merupakan latihan bagi sisi buruk ego kita, nafs al-lawwaamah. Biasanya apa yang disukai oleh sisi buruk kita, ego kita adalah untuk diperhatikan, menonjol, berbeda, menjadi seseorang, dan menjadi lebih dari yang lainnya. Namun demikian, selama kita duduk bersama, tak seorang pun yang menjadi lebih dibanding yang lain. Tentu saja, kadang-kadang itu akan menjadi terlalu sulit, kemudian satu atau yang lain harus muncul. Bahkan dalam suatu shuhba, ia harus menonjol. Tujuan dari shuhba adalah untuk menjaga agar ego tetap berada dalam batasnya. Setiap kali salah seorang yang duduk dalam shuhba memperlihatkan tanda-tanda ingin menampakkan diri, atau ingin menonjolkan diri, ia harus menarik diri. Karena keinginan itu terjadi ketika ego ingin memperlihatkan dirinya. Menonjolkan diri berasal dari hilangnya hudur, kehadiran. Kehadiran di sini mengandung arti Hadirat Ilahi. Untuk berada di Hadirat Ilahi tidak berarti kita harus berada di tempat lain, di bulan. Itu berarti hadir. Di sini. Itu harus dipelajari, dijaga, dan dipraktikkan, agar kita selalu hadir, dalam Hadirat-Nya. Ketika kalian kehilangan kehadiran kalian, kehilangan momentum, hal pertama yang terjadi adalah kalian akan muncul, “Aku di sini. Kalian melihatku? Setiap orang memperhatikanku? Ya? Setiap orang memperhatikan apa yang kukatakan, dan bagaimana tampangku?”

Setiap kita kehilangan zikir kita, ingatan kita, setiap hubungan kita terputus walaupun hanya sesaat, dengan segera ego melompat dan ingin agar diperhatikan. Oleh sebab itu, setiap kali ego dari salah seorang di antara kita ingin diperhatikan, yang lain tahu bahwa ia telah keluar dari lingkaran shuhba. Dan ia harus ditarik kembali. Sangat berat bagi ego kita, untuk tidak menjadi sesuatu yang spesial, hanya menjadi orang biasa seperti yang lain. Ego menanti seseorang agar kehilangan kewaspadaannya sehingga ia dengan segera akan melompat.

Salah satu jalan yang paling terkenal agar mendapat perhatian adalah melalui kemarahan dan kebencian terhadap orang lain, bahkan terhadap saudara dalam tarekat. Tak pernah yakin mengenai diri kalian, tak pernah berpikir bahwa kalian tidak melakukan sesuatu untuk diperhatikan. Siapa yang tidak melakukannya? Berapa banyak hal yang kita lakukan atau kita katakan yang bukan ditujukan dengan maksud seperti itu? Satu, dua? Berapa banyak? Apa yang kalian ucapkan bisa saja dibungkus atau dihiasi dengan kepentingan yang ‘lebih dalam’, tetapi tanyakanlah pada diri kalian sendiri, atau tanyakan pada hati kalian, mengapa kalian berbicara atau bertindak seperti itu. Tak seorang pun yang aman dari egonya sampai mereka mencapai maqam yang aman. Hingga saat itu, peristiwa apa saja bisa terjadi dan dalam waktu kurang dari satu detik, lebih cepat dari yang kalian pikirkan. Kadang-kadang bahkan kita sendiri kaget, kita menemukan diri kita berbicara dan bertindak dengan cara seperti itu. Kita berkata, “Mengapa aku melakukan hal itu?” “Mengapa aku mengatakan hal itu?” Pikiran terlalu lambat untuk menangkap. Ego bergerak lebih cepat dari pikiran kita! Kita mencoba untuk memahami tetapi kejadiannya sudah terjadi. Oleh sebab itu, yang lebih penting dari berpikir adalah untuk selalu waspada.

Tetapi apa yang akan kita lakukan? Ketika ego dari para Sufi melangkah ke bagian terdepan, ingin diperhatikan melalui kemarahan dan kebencian terhadap saudaranya baik pria maupun wanita, marah terhadap orang lain, menyerang seseorang (itulah cara yang terkenal agar diperhatikan, yaitu dengan mengkritik, menyalahkan dan marah kepada orang lain), ketika hal itu terjadi, ketika ego ingin diperhatikan, tugas dari saudara yang dikritik atau diserang adalah menghadapi orang yang menyerangnya dengan hatinya. Itu sangat penting. Ketika seseorang menyerang kalian, atau mengkritik kalian lewat jiwanya yang egois, melalui egonya; hadapilah dia dengan hati kalian, jangan dihadapi dengan ego kalian. Jangan menyerang balik, atau mengkritik balik. Itu tidak menolong siapapun, malah itu akan menyingkirkan kalian berdua.

Jika kalian berkata bahwa kalian adalah bagian dari shuhba, selama kalian menganggap diri kalian sebagai pengikut jalur spiritual itu, ketahuilah bahwa rumah tersebut memiliki peraturan. Dan kapan pun kalian menjumpai seorang saudara, di mana pun kalian menjumpainya, kapan pun kejadiannya, pertama kali lihatlah dirimu sendiri. Jangan mencoba untuk melompat atau menyerang. Ketika kalian diserang atau dikritik oleh seseorang, saudara pria atau wanita, jangan membalasnya dengan ego kalian. Kalian harus menghadapi ego dengan hati kalian. Mengapa? Ketika kalian menghadapi ego dengan hati kalian, ia akan kehilangan semua pijakan di bawah kakinya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia menjadi terpesona. Tetapi bila kalian menghadapi ego dengan ego kalian, maka perang segera dimulai dan perlindungan dari setan pun lenyap, tak ada lagi perlindungan dari setan bagi keduanya.

Allah SWT berfirman,
"Id fa`billatii hiya ahsanu fa idzal-ladzii baynaka wa baynahuu `adaawatun ka-annahuu waliyyun hamiim/ Wa maa yulaqaahaa illal-ladziina shabaruu wa maa yulaqaahaa illa dzu hazhin `azhiim." [QS 41:34-35]

Artinya,
Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.

Allah SWT Yang Maha Pemurah berbicara tentang Kebenaran dalam ayat tersebut. Itulah makna dari ayat tersebut. Itu adalah untuk orang-orang seperti itu. Jika kalian tidak mengikuti tarekat, lalu ada seseorang yang melakukan sesuatu yang buruk terhadap kalian, adalah perilaku yang tidak baik bila kalian membalasnya, tetapi kadang-kadang hal itu diperbolehkan bagi mereka. Tetapi kalian tidak diizinkan untuk melakukan hal itu, karena kalian menempuh perjalanan melalui jalur spiritual. Ketika kalian mengatakan bahwa kalian adalah seorang Sufi, maka ayat tersebut berlaku pada kalian. Kalian semua atau sebagian besar dari kalian yang mengenal Syekh Nazim QS, apakah kalian menyadari bahwa Mawlana seringkali membaca ayat ini? Balaslah sesuatu yang buruk dengan sesuatu yang baik. Mana yang lebih baik? Hati lebih baik daripada ego.

Kadang-kadang salah satu di antara dua orang mengeluh kepada Syekh. Mereka telah saling mengejek satu sama lain dalam waktu yang lama dan salah seorang di antara mereka berkata, “Sekarang kita harus membicarakan hal ini kepada Syekh.” Lalu Syekh akan menegur salah satu di antara mereka, tak peduli siapa di antara mereka. Mengapa? Karena keduanya sama-sama bersalah. Syekh bisa saja menegur salah seorang di antara mereka, beliau dapat memilih salah satu di antara mereka, tak jadi soal. Keduanya telah melanggar lingkaran shuhba. Yang pertama karena menyerang (seseorang) agar ia tampil sebagai orang yang menonjol dan yang kedua karena membalas serangan itu dengan egonya.

Ini adalah nasihat praktis yang sangat penting secara umum dan khususnya bagi beberapa orang di antara kita di sini.

Itu adalah dua aturan utama mengenai perilaku dalam shuhba. Thariqatuna as-shuhba. Itu adalah peraturan bagi pengikut tarekat ini. Itu adalah peraturan untuk seluruh pengikut Sufi sejati, orang-orang yang menata hidupnya sebagai Ahl-Suffa. Ini juga merupakan shuhba tetapi bukan merupakan shuhba hanya karena kita duduk di lantai ini. Untuk berada dalam shuhba, kalian harus memenuhi peraturan dalam shuhba. Kalian dapat terlihat duduk di sini, namun pada kenyataannya kalian berada di tempat lain. Intinya adalah untuk berada di sini, berada bersama-sama yang lain, di bawah pengawasan Syekh. Itulah shuhba. Tidak hanya duduk di sini, tidur, melihat ke sekeliling, atau bermain-main; namun berada di sini dengan perhatian yang lengkap dan selalu waspada.

Para Sufi hidup dalam shuhba. Hidup mereka terdiri atas shuhba. Mereka semua mempunyai tujuan yang sama, niat yang sama tetapi mereka berada di tingkat yang beragam. Setiap orang berada di tingkat yang berlainan tetapi tingkatan mereka ‘diselaraskan’ satu sama lain. Ketika kita berada dalam sebuah shuhba, jangan berkata bahwa aku mempunyai persoalan yang berbeda dengan dia, atau karakterku berbeda dengannya, atau aku mempunyai pikiran yang berbeda dengannya, jangan berpikir bahwa kalian adalah sesuatu. Jangan. Semua orang yang datang bersama ke dalam shuhba, apapun perbedaan mereka, mereka semua diselaraskan satu sama lain.

Tujuan dari shuhba adalah untuk bersama dengan yang lain, sebagaimana Allah SWT melukiskannya,

"Wa naza`naa maa fii shuduurihim min ghillin ikhwaanan 'alaa sururim mutaqaabiliina" [QS 15:47]

“Dan kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada di dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan.”

Itulah fungsi dari shuhba. Kita harus melenyapkan segala rasa dendam yang berada di dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara dan duduk berhadap-hadapan.

Syekh Umar Suhrawardi QS berkomentar,

“Tatap muka terjadi ketika sisi dalam yang tersembunyi dan sisi luar yang tampak adalah sama.”

Ya, setiap orang melihat satu sama lain, setiap orang mempunyai raut muka yang tampak, tetapi apakah penampakannya itu sama dengan apa yang tersimpan di dalam? Atau apakah kalian menyimpan sesuatu yang lain di dalam? Ketika kalian duduk bersama seseorang, di manapun, dalam suatu shuhba, dan kalian mempunyai sisi luar yang mengatakan satu hal, dan sisi dalam yang mengatakan hal lainnya, apakah kalian berada dalam shuhba? Tidak. Kalian tidak duduk berhadap-hadapan karena kalian mempunyai muka yang lain. Satu muka menghadap ke sini, muka yang lain menghadap ke sisi yang lain. Satu muka mempunyai raut yang bersahabat, dan muka yang lain penuh kebencian. Itu bukanlah shuhba. Kalian duduk berhadap-hadapan ketika sisi dalam, yang tersembunyi dari pandangan orang-orang biasa adalah sama atau serupa dengan apa yang terlihat di luar. Tak ada perbedaan. Bukan dua orang yang duduk di hadapan saya, tetapi satu orang saja. Barulah Saya duduk berhadap-hadapan, dan kita berada dalam shuhba. Bila hal itu tidak terjadi, maka shuhba-nya menjadi rusak. Jika seseorang dalam hatinya mempunyai suatu perasaan tersembunyi yang menentang saudaranya, maka tidak terjadi yang namanya tatap muka, walaupun mukanya menghadap muka yang lain. Satu muka menghadap ke arah ini dan muka yang lain ke arah yang lain; dan duduk di depan satu sama lain dan membicarakan soal-soal agama, sufisme dan tarekat dan Saya tidak tahu apa. Kalian harus mengerti, tidak meremehkan hal ini dan tidak bermain-main dengannya. Thariqatuna as-shuhba. Kalian harus bersama dengan yang lainnya, berhadapan satu sama lain. Sisi dalam kalian harus sama dengan sisi luar kalian, terhadap saudara-saudara kalian.

Ahl us Suffah, sebagaimana Quran menerangkan kepada kita, adalah seperti ini. Itu adalah salah satu arti dari Ahl us-Suffah. Mereka terbuka satu sama lain, tanpa perasaan dendam, “Karena dendam dan kemarahan ditimbulkan oleh kecintaan terhadap dunia…” Dengan kecintaan terhadap dunia, bukan kecintaan terhadap akhirat, bukan karena cinta terhadap Allah SWT, bukan cinta terhadap agama, atau cinta terhadap tarekat. Jika hal itu juga terjadi di antara para pengikut Sufi, maka itu terjadi karena alasan yang sama. Tak peduli istilah apa yang dipakai. Kita berbicara mengenai realitas. Jika kalian duduk dalam shuhba dan hal ini terjadi, maka hal itu berasal dari kecintaan terhadap dunia. Dan itu tidak diizinkan bagi para pengikut Sufi, khususnya bagi pengikut Tarekat Naqsybandi. “Karena dendam dan kemarahan timbul akibat kecintaan pada dunia dan kecintaan terhadap dunia adalah asal dan sumber dari semua kejahatan.”

Orang-orang dalam shuhba duduk berhadap-hadapan, di dalam maupun di luar, bersama-sama dengan sifat kekeluargaan dan cinta. Mereka bertemu untuk berbicara bersama-sama dan makan bersama, dan dengan cara ini mereka berharap akan mendapatkan berkah dari Tuhan mereka. Jika mereka mengikuti peraturan shuhba. Jika mereka tidak mengikuti peraturannya, tak ada berkah.

Dilaporkan bahwa seseorang berkata kepada Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah SAW, kami makan tetapi rasa lapar kami tidak pernah hilang.” Beliau menjawab, “Mungkin kalian makan secara terpisah. Datanglah bersama, dan ingatlah Allah SWT, maka kalian akan diberkati.”

Bi hurmati l-Habibi, bi hurmatil Fatiha.

[demi kemuliaan kekasih (Allah SWT), diakhiri dengan membaca Surat Pembuka, surat pertama dalam al-Qur’an]


Pertanyaan:
S.M.: Anda berkata, ”Seorang mukmin adalah cermin bagi saudaranya.” Dalam tarekat, hal ini sangat penting. Itu seperti Saya melihat diri saya sendiri melalui Anda. Anda melihat saya…

Syekh Hisyam QS: Ketika kau melihat saya, apakah kau melihat dirimu sendiri?

S.M.: hmm, itulah yang Saya herankan. Dan juga…

Syekh Hisyam QS: Atau apakah kau melihat saya?

S.M.: Saya melihat Anda!! (tertawa)

Syekh Hisyam QS: Tetapi seharusnya kau tidak melihat saya, karena Saya hanyalah sebuah cermin!

S.M.: Itulah yang ingin Saya katakan. Untuk mengatakan kepada yang lain bahwa yang salah dalam dirinya adalah bagian dari sebuah cermin.

Syekh Hisyam QS: Tidak! kau tidak perlu mengatakan sesuatu. Kau hanya harus melihat. Kau harus melihat. Atau Saya yang harus melihat. Sebuah cermin tidak berbicara. Ia hanyalah cermin. Ya. Saya tidak perlu mengatakan sesuatu kepadamu. Kau hanya harus melihat saya untuk melihat dirimu sendiri; begitu pula dengan yang lainnya. Jika Saya mulai berbicara, dan mengatakan sesuatu kepadamu, maka kau menjadi terlalu tertarik kepada saya… Kau tidak lagi melihat dirimu sendiri. Jika Saya sebuah cermin, dan hadis mengatakan bahwa, “orang-orang beriman” adalah cermin. Bukan setiap orang. Kita adalah cermin yang tidak sempurna. Syekh dan para Awliya, mereka adalah cermin yang sejati. Mengapa? Karena mereka tidak lagi memikirkan egonya. Ketika kau melihat pada mereka, kau hanya akan melihat dirimu sendiri. Jika kau adalah seorang yang beriman. Jika kau tidak cukup beriman, kau bisa melihat Mawlana Syekh dan tidak melihat dirimu sendiri. Itulah bedanya. Cermin tidak perlu mengeluarkan kritikan, atau mengatakan sesuatu. Ia harus tetap berada di sana, bersih dan memantulkan. Setiap orang mengetahuinya, kita mengetahui apa yang kita lakukan, tetapi kita terlalu mudah untuk menyimpang dan melihat hal lain, dan itu semua membuat kita lupa akan diri kita sendiri. Tetapi ketika kau melihat seorang mukmin, kau tidak dapat melarikan diri dari dirimu sendiri. Ia tepat berada di depanmu, karena seperti yang dikatakan oleh Syekh Suhrawardi QS bahwa sisi dalam dirinya adalah seperti sisi luarnya. Ia tidak berusaha untuk menyembunyikan dirinya. Ia tetap berada di depanmu, dan kau melihat dan menyaksikan. Kau melihat dirimu sendiri. Itu sangat penting. Kau harus mempelajari bahwa apa yang kau lihat bukanlah orang lain, kau melihat dirimu sendiri. Jadi, sekali lagi, jangan mengkritik! Lihatlah dirimu sendiri.

S.M.: Kesalahan yang kita lihat pada orang lain sesungguhnya milik kita sendiri…

Syekh Hisyam QS: Tentu.

Wa min Allah at tawfiq

No comments: