30 October 2008

Mengenai Hadis Rasulullah SAW

Shuhba Mawlana Syekh Muhammad Nazim Adil Al-Haqqani QS

  

A'uudzubillaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillaahir rahmaanir rahiim
Wash-shalaatu was-salaamu  'alaa asyrafil Mursaliin Sayyidinaa wa Nabiyyina Muhammadin  wa 'alaa aalihi wa Shahbihi ajma'iin

 

“Ini adalah apa yang diajarkan oleh Grandsyekh kepada saya,” kata Mawlana.  “Hadis-Hadis Rasulullah SAW adalah sama dan mempunyai derajat yang sama, sebagaimana al-Quran.  Kita harus menghormati Hadis-Hadis tersebut seperti halnya kita menghormati ayat-ayat suci al-Quran.  Di dalam ayat al-Quran terdapat suatu keterangan.  Di dalam Hadis, Rasulullah SAW tidak berbicara untuk dirinya sendiri, tetapi berdasarkan wahyu yang diturunkan dari Allah SWT.  Jika Allah SWT tidak mengizinkannya, Rasulullah SAW tidak akan mampu mengucapkannya.  Oleh sebab itu, kita harus menghormati kata-kata Rasulullah SAW seperti halnya kita menghormati ayat-ayat suci al-Quran.” 

Seseorang bertanya, “Apakah ini berarti bahwa kita harus berwudu sebelum membaca kitab Hadis, seperti halnya ketika kita ingin membaca al-Quran?” 

Mawlana menjawab, “Jika kita ingin mendapatkan hikmah dari suatu buku keagamaan, kita harus membacanya dalam keadaan berwudu.  Tanpa wudu, kita tidak berada di jalur yang benar.  Rasulullah SAW menasihati kita agar selalu menjaga wudu karena itu adalah senjata Muslim dalam menghadapi Setan.  Setan tidak bisa mendekati orang yang mempunyai wudu.”

“Rasulullah SAW menerangkan al-Quran berdasarkan kapasitas pemahaman kita,” Syekh melanjutkan, “karena al-Quran adalah firman Allah SWT, sedangkan Hadis adalah sabda Rasulullah SAW.  Rasulullah SAW adalah manusia seperti kita, sehingga ucapannya lebih mudah dimengerti oleh kita.  Oleh sebab itu, beliau menerangkan hal-hal yang tersirat dalam al-Quran kepada kita.” 

Seorang murid bertanya, “Bagaimana kita mengetahui bahwa suatu Hadis otentik?”  Syekh Nazim QS menjawab, “Jika seorang ‘alim yang jujur berkata atau menulis dalam suatu buku mengenai Hadis-Hadis tertentu, maka kalian harus mempercayainya.  Misalnya, al-Ghazzali QS menulis banyak buku berisi banyak Hadis.  Beberapa orang menganggap beberapa Hadisnya lemah, tetapi kita tidak sependapat dengan pemikiran ini.  Kita yakin bahwa Imam Ghazzali QS adalah seorang ‘ulama besar, ‘ulama ‘king size’.  Beliau bukanlah seorang ‘ulama biasa, beliau jujur dan dapat dipercaya.  Oleh sebab itu, kita percaya terhadap semua Hadis yang beliau tulis.” 

“Jika kalian menemukan seorang cendikiawan yang dapat kalian percayai, maka kalian harus percaya terhadap semua Hadis yang dikatakannya kepada kalian.  Ini adalah jalan bagi seorang murid dan juga orang awam terhadap suatu Hadis.  Tetapi para Awliya, di mana Allah SWT telah memberi mereka cahaya, mereka berbeda.  Mereka dapat mendengarkan pembicaraan seseorang dan melihat apakah ada cahaya yang terpancar dari ucapannya.  Dengan demikian, mereka dapat mengetahui apakah ucapannya benar.   Begitu pula ketika Awliya itu membaca, mereka dapat melihat Hadis-Hadis yang sahih itu memancarkan cahaya.  Hadis-Hadis tersebut adalah ucapan Rasulullah SAW yang turun dengan cahaya dan dipenuhi cahaya.  Bila seseorang dapat melihat cahaya ini, dia tidak memerlukan opini orang lain bilamana Hadis tersebut kuat atau lemah.” 

“Begitu banyak ‘ulama yang menyangkal Hadis ini atau itu sementara para Awliya mengatakan bahwa Hadis itu semuanya benar.  Jadi, kita harus menerima Hadis dari orang-orang yang mempunyai cahaya Iman dalam hatinya dan menunjukkan kebenaran bagi kita.  Demikian juga, jika suatu buku mempunyai Hadis Rasulullah SAW, kita menerimanya sebagai tanda penghormatan kepada Rasulullah SAW.  Jika itu merupakan Hadis yang tidak benar, tidak ada kewajiban bagi kita bila kita menerimanya.  Ini adalah adab yang tinggi.  Jika seseorang berkata, ‘Ini adalah sebuah Hadis,’ kita mempercayainya sebagai tanda penghormatan kepada Rasulullah SAW.” 

Seseorang bertanya, “Jadi, sampai kita meraih pengelihatan seperti yang dimiliki oleh para Awliya, kita harus menerima semua Hadis sebagai Hadis yang sahih?” 

“Ya,” kata Mawlana, “jika kalian tidak melakukan hal ini, kalian tidak bisa maju, tidak bisa!  Jika kita membacanya dalam sebuah buku, mendengarnya dari seorang ‘ulama atau dari seseorang, sebagai tanda penghormatan kepada Rasulullah SAW, kita harus mempercayainya.”   

Seorang murid berkata, “Maksudnya kita tidak boleh menanyakan sumbernya?”  Mawlana menjawab, “Tidak, hal itu tidak baik.  Untuk menyetujui atau mengatakan ‘baiklah’ adalah lebih baik.  Tetapi untuk melakukan hal ini memang sulit.  Mengatakan ‘baiklah’ adalah suatu tanda hati yang bersih.  Jika hati seseorang tidak bersih, dia akan bertanya, ‘dari mana (Hadis) ini?  dari mana (Hadis) itu?’ banyak sekali pertanyaan yang muncul!  Itu menandakan bahwa hatinya tidak bersih.  Semakin banyak dia bertanya, semakin banyak hatinya dipenuhi dengan keraguan.” 

“Apakah banyak koleksi Hadis yang sahih?” “Banyak sekali,” kata Mawlana.  “Semuanya sahih.  Buku apa pun yang menulis Hadis Rasulullah SAW harus kita percayai.  Ini adalah jalan saya.” 

“Tetapi apakah sekarang Mawlana sudah sampai pada titik di mana Mawlana dapat melihat cahaya yang terpancar dari suatu Hadis yang sahih?” tanya seorang murid. 

Syekh menjawab, “Ahh, ya.  Tetapi kalian tidak dapat meraih titik itu sampai kalian mempercayai semua ucapan yang mengatakan bahwa itu adalah sebuah Hadis.  Cara ini akan membawa  kalian ke titik tersebut, di mana kalian dapat melihat cahaya.  Sangat sulit untuk menerima hal ini.”

Wa min Allah at tawfiq


No comments: