Shuhba Mawlana Syekh Muhammad Nazim Adil Al-Haqqani QS
A'uudzubillaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillaahir rahmaanir rahiim
Wash-shalaatu was-salaamu 'alaa asyrafil Mursaliin Sayyidinaa wa Nabiyyina Muhammadin wa 'alaa aalihi wa Shahbihi ajma'iin
Grandsyekh kita berbicara tentang orang yang memberikan instruksi (semacam ustadz, mubaligh atau dai-red) di masyarakat mengenai agama Islam dan praktik yang berhubungan dengannya (wiazh). Sesuai dengan perintah Allah SWT, pasti ada beberapa orang di masyarakat yang memberikan instruksi kepada orang lainnya tentang apa yang boleh dilakukan, yaitu yang diizinkan oleh Allah SWT (halal) dan memperingatkan mereka agar menghindari hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT (haram). Kebanyakan orang menganggap berbicara kepada orang banyak adalah hal yang mudah: ambil buku dan baca, selesai! Begitu banyak orang yang berpikir bahwa itu hanya dilakukan dengan duduk dan bicara, baik dengan membaca dari sebuah kitab atau menyampaikan hal-hal yang sudah dihafalkannya, sehingga orang mengira dia mengetahui tentang hal-hal yang besar. Mereka membutuhkan waktu satu minggu untuk mempersiapkan khotbah selama setengah jam. Pengajaran seperti ini hanyalah imitasi.
Hal yang sangat penting bagi seorang instruktur dalam masyarakat adalah untuk memahami dulu hikmah dari apa yang mereka bicarakan. Hikmah bersumber dari hati, bukan pikiran. Jika kalian tidak dapat menggunakan hati kalian, kalian tidak akan merasa puas. Selama kalian memberikan pelajaran dengan akal kalian, maka kalian dan orang yang kalian tuju berada pada level yang sama. Dengan demikian kalian tidak dapat mengajarkan apa-apa pada mereka. Untuk mengajarkan ajaran Allah SWT dan Nabi-Nya SAW, kalian harus belajar untuk mengajar dengan hati kalian, dengan demikian ajaran itu akan seperti madu. Tetapi jika kalian hanya mengajar dari pikiran kalian saja, yakni dengan mencari informasi dari sejumlah buku lalu mereproduksinya, maka kalian menyerupai seorang yang terbang dari bunga ke bunga—seperti lebah—mengumpulkan ‘nektar’ dan meletakkannya dalam wadah dan menyebutnya madu. Tetapi itu bukan madu, mengapa bukan? Orang berkata, “Aku melihat seekor lebah terbang ke sana ke mari mengumpulkan nektar dari bunga-bunga, jadi aku melakukan apa yang dia lakukan.” Tetapi tidak ada madu dalam wadahnya. Karena untuk mendapatkan madu, lebah harus memakan nektar itu, dan madu dihasilkan olehnya.
Oleh karena itu, kalian jangan membiarkan diri kalian dibodohi oleh orang-orang itu, yang berbicara selama berjam-jam, berpikir bahwa dia memberikan madu. Padahal perbedaan antara apa yang mereka berikan dengan madu yang asli adalah seperti perbedaan antara langit dan bumi.
Orang yang mengaku sebagai guru ada dua tipe: pertama adalah seperti tawon yang pergi dari satu bunga ke bunga lain—seperti lebah—tetapi tidak pernah menghasilkan madu atau lilin (wax). Bahkan jika mereka telah mencapai level tertinggi dari pengetahuan di mana akal dapat meraihnya, jika ajaran mereka tidak berasal dari hati, maka itu bukanlah madu. Guru tipe lain adalah seperti lebah, ajaran mereka berasal dari hati dan seperti madu murni. Bagaimana seseorang bisa menjadi seperti ‘lebah’? Rasulullah SAW bersabda, “Jika seseorang dapat menjaga keikhlasan kepada Tuhannya selama 40 hari, maka Tuhannya akan membuka sumber hikmah baginya.”
Selama periode Kekhalifahan Sayyidina `Ali RA, KW di Kufa, beliau bepergian ke Basra dan mengunjungi semua masjid untuk mendengar orang yang memberi pengajaran di masjid-masjid. Setelah mengunjungi mereka dan mendengar setipa instruktur berbicara dari mimbar, beliau mengeluarkan sebuah keputusan melarang semua instruktur untuk berkhotbah kecuali Hasan al-Basri QS dan Qadi Syureih QS. Beliau melarang mereka berbicara kepada orang banyak di masjid. Beliau berkata bahwa semua khatib tersebut kecuali kedua orang tadi hanyalah tukang dongeng, yang mengulang cerita tanpa memahami arti signifikan dari apa yang disampaikannya, bahkan walaupun mereka mengaku bahwa mereka mengajar dengan baik sekali, Sayyidina `Ali RA, KW memberi izin hanya kepada kedua orang itu untuk memberi khotbah di masjid—yang lainnya tidak!
Kalian dapat memakan makanan yang sudah rusak, mengakibatkan perut kalian sakit dan kalian terangsang untuk muntah, tetapi siapa pun yang mendengar sesuatu yang buruk, dia tidak dapat menghindarinya dengan mudah, dan itu akan tertinggal dalam dirinya hingga akhir hayatnya. Untuk itulah Grandsyekh kita memperingatkan muridnya agar tidak mendengar para ulama atau cendikiawan yang menyangkal thariqat dan mursyid, karena bisa saja mereka akan meracuni kalian. Jika seseorang duduk bersama mereka, dia harus siap untuk menanggung beban berat berupa kegelapan dan hidup dengan hati yang terluka selama setahun.
Grandsyekh kita bercerita tentang suatu kisah untuk melukiskan seseorang yang patut kalian dengar. Beliau adalah Ibrahim bin Adham QS yang dikenal sebagai sultan az-zahidiin, raja dari kaum yang zuhud. Beliau adalah seorang raja yang agung dan suatu hari beliau mendengar sebuah suara yang menyeru agar beliau datang ke jalan Tuhan. Beliau meninggalkan segalanya dan memberikannya kepada ratu, keluarga kerajaan, para jendral dan panglimanya. Ketika beliau siap meninggalkan kerajaan, beliau memanggil salah satu budaknya yang merupakan tukang kebun istana. Beliau lalu menyerahkan jubah kerajaan kepada budak itu dan meminta pakaian tukang kebun sebagai gantinya. Budak itu tercengang dengan kejadian ini dan dengan perasaan takut, dia berkata, “Bagaimana mungkin seorang hamba rendahan memakai jubah kebesaran raja, sementara raja yang mulia memakai pakaian tua ini.” Raja menjawab, “Wahai anakku, tidakkah engkau mendengar bahwa tadi malam sultanmu telah menjadi budak dari budak dari budak…? Sekarang aku adalah budak dari 7 budak, yang tertinggi dari mereka menjadi hamba Allah SWT.” Lihatlah betapa cepat beliau sampai pada level terendah, bagaimana beliau menganggap dirinya bukan apa-apa—sama dengan tanah.
Sekarang Grandsyekh berkata, “Wahai Nazim Effendi QS, siapa pun yang ingin mengajar orang lain di masjid dan zawiyah, maka dia harus sangat berhati-hati apalagi di masa sekarang, di masa kita hidup. Pada masa Ibrahim bin Adham QS beliau hanya menghitung 7 tuannya. Sekarang di masa kita, jika seseorang tidak menganggap dirinya lebih rendah dari ribuan orang, jika dia tidak menganggap dirinya sebagai budak dari orang banyak yang dia anggap lebih superior, maka dia tidak akan sanggup untuk mengemban tugasnya dengan efektif. Dia tidak akan mampu membuat mereka percaya kepada Tuhannya, atau kalau mereka sudah percaya, dia tidak akan memperkuat keimanan mereka.
Sebagai contoh di sini, di Damaskus. Jika seorang instruktur tidak dapat melihat dirinya sebagai budak dari setiap orang, itu berarti bahwa dia memiliki suatu egoisme dan egoisme itu akan menyebar melalui ajarannya kepada setiap setiap orang yang berhubungan dengannya. Grandsyekh berkata bahwa jika seseorang yang berbicara kepada orang tidak merendahkan dirinya dan tidak menganggap dirinya sebagai seorang budak di depan pendengarnya yang ribuan, maka orang-orang yang dituju olehnya akan mengencingi dia dan ajarannya. Yang saya maksud adalah bahwa orang akan mendengar nasihat yang baik dari instruktur tadi, tetapi mereka akan melakukan hal yang sangat berlawanan dari apa yang mereka nasihatkan.
Untuk mencegah hal ini bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Sebab setiap orang yang belajar dan belajar dalam banyak hal masih tetap bersifat egois dan ketika orang datang pada mereka dan mendengar mereka, mereka akan pergi dan melakukan sebagaimana apa yang dia lakukan. Begitu banyak syekh besar tidak menyadari perlunya memerangi ego mereka, mereka hanya terus mengumpulkan pengetahuan yang tidak bermanfaat bagi dirinya maupun orang lain. Pengetahuan mereka hanyalah mengenyangkan ego mereka. Mereka tidak mempertimbangkan dan mereka tidak sanggup pula untuk memahami bahwa satu elemen penting telah hilang dari kehidupan beragama mereka. Juga karena mereka tidak mau menerima pelatihan di tangan Grandsyekh, maka mereka menemukan bahwa diri mereka bersama ajaran yang mereka berikan menjadi tidak dihormati oleh orang-orang yang mereka pikir akan mereka tolong. Oleh sebab itu, adalah hal yang sangat penting bagi seseorang yang ingin mengajarkan orang untuk benar-benar melihat dirinya sebagai pelayanan mereka untuk merendahkan dirinya di depan orang yang dia harapkan untuk diajarkan.
No comments:
Post a Comment