03 March 2009

Berkenaan Dengan Berdiri Saat Membaca Selawat dan Salam kepada Nabi Saw. pada Penutupan Maulid

Sebagian orang juga mengkritik berdirinya hadirin pada penutupan maulid sambil membaca selawat kepada Nabi saw.  Sangatlah jelas bahwa tak seorang pun dapat menyatakan keberatan terhadap tindakan ketaatan dan peribadatan yang telah diperintahkan oleh Allah swt secara khusus dengan firman-Nya: “Wahai orang-orang beriman, bacalah selawat dan kirimlah salam kepadanya dengan sebenar-benarnya” (33:56).  Dia juga memuji “mereka yang selalu mengingat Allah swt dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring” (3:191). Karena mengingat Allah swt dan membaca selawat kepada Nabi saw. merupakan tindakan ibadah, maka keberatan terhadap praktik berdiri demi memenuhi salah satu perintah Allah swt dan menghormati Nabi saw. sebagaimana perintah Allah swt, bisalah diabaikan.

Sudah diketahui bahwa siapa saja yang menziarahi (makam) Nabi saw. di Madinah diharuskan untuk berdiri di depannya dengan penuh rasa hormat tatkala membacakan selawat dan salam kepadanya.  Tak ada bedanya membaca salam yang diberikan kepada Nabi saw. di hadapannya di Madinah dan membaca salam yang diberikan dari jarak ribuan mil jauhnya dari beliau.  Ini dikuatkan oleh banyak hadis sahih, di antaranya yang berikut ini:62

Siapa saja yang membaca selawat kepadaku di makamku, maka aku akan mendengarnya, dan siapa saja yang membaca selawat kepadaku dari kejauhan, maka aku akan diberi tahu tentang hal itu.63

Tidaklah seseorang mengucapkan salam kepadaku, kecuali Allah mengembalikan ruhku kepadaku, sehingga aku dapat membalas salamnya itu.64 

Al-Suyûthî mengatakan bahwa kata radda (mengembalikan) bermakna ‘alâ al-dawâm atau selamanya, bukan sementara.65  Dengan kata lain, Allah swt tidak mengembalikan ruh Nabi saw kemudian mengambilnya lagi, kemudian mengembalikannya dan kemudian mengambilnya lagi, tetapi Dia telah mengembalikannya untuk selamanya.  Oleh karena itu, Nabi saw. hidup terus dan tidak sementara waktu saja sebagaimana dikira banyak orang.  Kepada mereka yang berbeda pandangan dengan Imam al-Suyûthî kami katakan, hujah beliau tidak dapat dipatahkan, karena orang-orang muslim di seluruh dunia selalu dalam keadaan salat selama dua puluh empat jam, sedangkan membaca selawat kepada Nabi saw. merupakan bagian dari salat wajib.  Ini berarti bahwa umat muslim membaca selawat dan salam kepada Nabi saw. tanpa henti, dan beliau terus-menerus membalas salam mereka.  Ini menunjukkan bahwa hadis Nabi saw. tentang dikembalikannya ruh beliau mempertimbangkan kontinuitas salat seiring dengan perubahan waktu salat di seluruh dunia.  Dengan begitu, beliau sungguh-sungguh terus hidup, karena Allah swt telah memberi hak kepadanya untuk membalas setiap salam yang ditujukan kepadanya.

Akhirnya, untuk berdiri adalah suatu kepatutan dalam membacakan selawat dan salam, bukan hanya pada peringatan maulid saja, tetapi pada waktu-waktu lain juga, seperti setelah salat, baik secara perorangan atau berjamaah.  Hal tersebut adalah suatu tindakan ibadah sukarela.  Tak seorang pun dapat melarang orang lain yang melakukannya dengan maksud menaati Allah swt.

Ibn Qunfudz al-Qusantinî al-Mâlikî (w. 810) menulis:

Umat ini sudah bersepakat mengenai keharusan mengagungkan dan menjunjung tinggi Nabi saw., keluarganya, dan para sahabatnya.  Sudah menjadi kebiasaan orang-orang saleh masa awal dan para imam masa lalu bahwa setiap kali Nabi saw. disebutkan di depan mereka, mereka diliputi rasa hormat, tawaduk, kesenyapan, dan kekaguman. Ja‘far ibn Muhammad ibn ‘Alî ibn al-Husayn ibn ‘Alî ibn Abî Thâlib (yakni Ja‘far al-Shâdiq) akan menjadi pucat wajahnya setiap kali beliau mendengar Nabi saw. disebut namanya. Imam Mâlik tidak akan membacakan suatu hadis kecuali bila beliau dalam keadaan berwudu. ‘Abd al-Rahmân ibn al-Qâsim ibn Muhammad ibn Abû Bakr al-Shiddîq ra akan memerah wajahnya dan tergagap setiap kali beliau mendengar Nabi saw. disebutkan.  Sedangkan Amîr ibn ‘Abd Allâh ibn al-Zubayr ibn al-‘Awwâm al-Asadî (salah seorang sufi pertama), beliau akan menangis sampai tak tersisa air matanya.  Apabila hadis dibacakan di hadapan mereka, mereka akan merendahkan suara. Mâlik mengatakan, “Penghormatan mereka setelah beliau wafat sama seperti penghormatan mereka sewaktu beliau masih hidup.”66 

Alasan lain mengapa berdiri saat mengucapkan salam kepada Nabi saw. merupakan suatu hal yang dianjurkan, adalah karena beliau sendiri yang memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk berdiri tatkala Sa‘ad ibn Mu‘âdz ra datang menghadap beliau. Beliau berkata, sebagaimana diriwayatkan al-Bukhârî dalam Shahîh-nya, “Qûmû ilâ sayyidikum (Berdirilah untuk menghormati sayid kalian).”67  Sayid yang mana lagi yang lebih baik untuk kita hormati dengan berdiri daripada Nabi saw.?  Imam al-Nawawî membahas panjang lebar dalam al-Tarkhîsh fî al-Ikrâm bi al-Qiyâm bahwa berdiri untuk menghormati ulama bukan saja dibolehkan, tetapi juga dianjurkan.  Judul penuhnya berbunyi, “Kebolehan Menghormati Orang-orang yang Memiliki Keutamaan dan Keunggulan di antara Umat Islam dengan Berdiri:  Dalam Semangat Kesalehan, Takzim, dan Penghargaan, Bukan dalam Semangat Pamer dan Mencari Kehormatan.” Pembahasan berikut berkenaan dengan “berdiri untuk menghormati”, yang diambil dari Tarkhîsh karya al-Nawawî tersebut, juga karyanya Syarh Shahîh Muslim, bagian-bagian dari Fath al-Bârî karya Ibn Hajar yang menindaklanjuti Tarkhîsh-nya al-Nawawî, dan al-Jawâhir wa al-Durar, kitab biografi Ibn Hajar karya al-Sakhâwî.

 

Komentar al-Nawawî tentang Berdiri

* Dari ‘Amr ibn Syu‘ayb, dari ayahnya, dari kakeknya, Nabi saw. bersabda, “Bukanlah dari golongan kita orang yang tidak menunjukkan sayang pada yang lebih muda, dan tidak menunjukkan hormat kepada yang lebih tua.”68

* Dari Maymûn ibn Abî Syabîb, seorang peminta-minta lewat di depan ‘Â’isyah as, kemudian ia memberinya sepotong roti.  Pada waktu lain seseorang yang berpakaian indah dan rapi lewat di depannya, maka ia pun mengundangnya untuk duduk dan makan.  Ia ditanya tentang hal itu, dan ia pun berkata, “Nabi saw. bersabda, ‘Anzil al-nâs manâzilahum (Dudukkanlah orang-orang sesuai dengan kedudukannya).’”69

* Abû Sa‘îd al-Khudrî berkata, “Orang-orang Bani Qurayzhah sangat patuh pada keputusan Sa‘ad ibn Mu‘adz ra, maka Nabi saw. memintanya datang, dan ia kemudian datang dengan mengendarai keledainya.  Tatkala ia sampai di dekat masjid, Rasulullah saw pun berkata kepada kaum Anshar, ‘Berdirilah untuk sayyid (orang terbaik) kalian.’ Kemudian beliau berkata kepadanya, ‘Orang-orang ini sangat patuh pada keputusanmu …’”70

Komentar al-Nawawî:

Dalam hadis ini terdapat bukti perlunya menghormati orang-orang karena  keistimewaannya dengan berdiri untuknya pada saat menyambut kedatangannya menuju kita.  Dengan demikian, mayoritas ulama menggunakannya sebagai bukti dianjurkannya berdiri. Al-Qâdhî ‘Iyâdh mengatakan, “Yang ini bukanlah jenis berdiri yang dilarang.  Yang dilarang hanyalah tatkala seseorang duduk, sedangkan yang lain terus saja berdiri selama ia duduk.” Saya katakan, “Berdiri untuk menghormati orang yang istimewa tatkala ia datang adalah dianjurkan. Banyak hadis telah diriwayatkan untuk mendukung hal ini, sedangkan tak satu pun hadis yang melarangnya secara tegas.” 

* Anas mengatakan bahwa tak seorang pun yang lebih mereka (sahabat—peny.) hormati daripada Rasulullah saw, tetapi mereka tidak akan berdiri bila melihat beliau karena mereka tahu beliau tak menyukainya.71

Komentar al-Nawawî:

Hadis inilah yang paling sering dikutip sebagai bukti untuk menentang sikap berdiri. Ada dua jawaban:

Nabi saw. mengkhawatirkan keterpaksaan mereka dan penerus mereka dalam berlebih-lebihan mengagungkan dirinya, sebab beliau berkata dalam hadis lain, “Janganlah kalian menyanjung-nyanjung diriku sebagaimana orang-orang Nasrani menyanjung-nyanjung Isa putra Maryam.”72  Karena alasan inilah beliau tidak suka mereka berdiri untuknya.  Meskipun demikian, beliau tidak keberatan bila mereka berdiri untuk menghormati satu sama lain, dan bahkan beliau pun berdiri untuk beberapa orang dari mereka.  Mereka pun melakukan hal tersebut untuk yang lain selagi beliau hadir di tengah mereka, dan beliau tidak melarangnya.  Bahkan beliau menyetujuinya dan memerintahkan demikian dalam suatu hadis tentang berdiri untuk menghormati Sa‘ad ibn Mu‘âdz ra… Ini jawaban yang jelas, yang tak seorang pun akan melihat keraguan padanya kecuali orang-orang yang tak mengerti atau keras kepala.

Antara Nabi saw. dan para sahabat ada kesempurnaan cinta dan ketulusan yang tak menuntut tambahan melalui penghormatan dengan berdiri tegak, karena tidak ada tujuan yang dicapai dengan berdiri tersebut, berbeda halnya dengan berdiri tegak yang dilakukan untuk orang lain.  Sahabat karib seseorang yang memiliki kedekatan seperti ini tidak memerlukan berdiri untuk menghormatinya.

 

Keberatan Ibn al-Hajj terhadap Berdiri untuk Menghormat

Jawaban tersebut tidaklah lengkap kecuali bila lebih dulu diakui bahwa para sahabat tidak pernah berdiri untuk siapa pun.  Sehingga, bila mereka bangkit berdiri untuk beliau, itu akan merupakan suatu perlakuan berlebihan. Namun, al-Nawawî menegaskan bahwa mereka melakukan itu kepada selain Nabi saw.  Lantas bagaimana bisa beliau membolehkan mereka melakukan itu kepada selain Nabi saw., yang tidak menjamin tidak terjadinya perlakuan berlebihan, sementara mereka tidak melakukannya kepada beliau?  Karena, bila mereka melakukan hal ini untuk menghormati seseorang, tentulah Nabi saw. lebih patut mendapatkan penghormatan semacam itu, sebagaimana kita tahu dari teks-teks sumber yang menyuruh kita menghormati beliau lebih dari siapa pun. Sepertinya alasan mereka berdiri kepada selain beliau hanyalah untuk suatu keharusan yang disebabkan oleh kedatangannya atau untuk mengucapkan selamat kepadanya, bukan karena alasan yang sedang dipersoalkan (yaitu untuk menghormati).

Keterangan al-Nawawî dapat dibalik, dan dapat dikatakan bahwa sahabat yang cintanya kepada Nabi saw. belum kokoh dan yang belum menyadari ketinggian Nabi saw., dibebaskan untuk tidak berdiri, sebagai kebalikan dari sahabat yang cintanya kepada Nabi saw. sudah mantap dan yang kedudukannya lebih tinggi dalam hubungannya kepada Nabi saw. dan diketahui kualitasnya: ia mestilah berkonsentrasi (untuk menghormati beliau), sebab ia yakin bahwa beliau layak mendapat ketaatan, penghormatan, dan takzim yang lebih daripada yang lain.  Akan tetapi, pernyataan al-Nawawî meniscayakan bahwa siapa saja yang lebih memungkinkan untuk menunjukkan rasa hormat kepada beliau dan lebih dekat kedudukannya dengan beliau, mestilah menunjukkan kepada beliau takzim yang kurang dari takzim oleh orang yang jauh dari beliau, semata karena keakraban dan kedekatan batin yang sempurna.  Kenyataannya tidaklah demikian berdasarkan keterangan yang dapat dipercaya, sebagaimana terjadi dalam kisah kekhilafan Nabi saw., yaitu tatkala Abû Bakr dan ‘Umar hadir di tengah orang-orang, namun keduanya sangat tidak berani berkata kepada beliau, sementara Dzû al-Yadayn (barangkali al-Khirbaq al-Sulamî) berkata kepada beliau meskipun kedudukannya sangat jauh dari Nabi saw. dibandingkan Abû Bakr dan ‘Umar.73


Bantahan al-‘Asqalânî terhadap Ibn al-Hajj

Keberatan Ibn al-Hajj tersebut tidaklah berdasar, karena Imam al-Nawawî tidak pernah mengatakan bahwa berdirinya para sahabat kepada Nabi saw. dipandang sebagai perlakuan berlebihan sehingga Ibn al-Hajj tidak bisa mengatakan, “Jawaban ini tidaklah lengkap kecuali bila lebih dulu diakui bahwa para sahabat tidak pernah berdiri untuk siapa pun.  Sehingga, bila mereka bangkit berdiri untuk beliau, itu akan merupakan suatu perlakuan berlebihan.” Apa yang dikatakan oleh Imam al-Nawawî adalah Nabi saw. khawatir kalau-kalau berdirinya mereka itu menggiring pada suatu perlakuan berlebihan.  Karena itulah mengapa beliau melarang mereka dari tindakan demikian; karena khawatir terjadinya perlakuan berlebihan, agar jangan sampai mereka jatuh pada tindakan yang melampaui batas dan menjadi beban.  Benar, beliau tentu lebih layak untuk diberi penghormatan daripada yang lain, tetapi beliau khawatir bahwa cara yang ditunjukkan mereka kepada beliau dengan bentuk penghormatan ini akan membawa pada perlakuan berlebihan, dan karena itulah beliau melarang mereka melakukannya.

Berkaitan dengan keberatan yang kedua, Ibn al-Hajj telah melabrak kebiasaan masyarakat yang universal dalam persahabatan dan cinta mereka. Sudah diketahui pasti bahwa semakin kuat persahabatan dan cinta antara dua orang, semakin tidak berguna formalitas-formalitas tertentu di antara mereka. Hal ini begitu terang dan tak perlu dijelaskan.  Sebaliknya, apabila persahabatan lemah dan kesalingkenalan terbatas, dalam keadaaan beginilah orang perlu memenangkan cinta dan menarik hati sahabatnya dengan berbagai jenis tindakan yang menunjukkan penghormatan.  Ini karena memperoleh cinta dan suka seseorang didukung oleh riwayat-riwayat berkenaan dengan pemberian penghormatan.  Sedangkan bila cinta telah mencapai tahap yang tak lagi perlu ditingkatkan melalui tindakan-tindakan yang menunjukkan penghormatan, maka tindakan-tindakan ini tak lagi diperlukan.

Sedangkan berkenaan dengan keberatan Ibn al-Hajj bahwa “pernyataan al-Nawawî meniscayakan bahwa siapa saja yang akan menunjukkan rasa hormat kepada beliau dan lebih dekat dengan beliau, mestilah menunjukkan takzim kepada beliau yang kurang daripada takzimnya orang yang jauh dari beliau, saking akrab dan cintanya;” ini peniscayaan yang tidak valid.  Bahwa formalitas-formalitas menjadi tidak diperlukan antarkawan dan orang yang dicinta, tidak berarti bahwa saling memberi takzim dan hormat menjadi tidak berguna.  Ini sangat terang dan tak perlu dijelaskan lagi.  Agaknya, kebalikannya adalah benar: karena yang mencintai adalah orang yang paling menyadari di antara semua orang akan sifat-sifat yang dimiliki oleh orang yang dicintai, tatkala yang dicintai ini dihiasi dengan sifat-sifat yang tinggi yang patut dipuji, dan orang-orang berhimpun untuk memberikan rasa hormat dan takzim kepadanya, yang mencintai adalah yang paling bersemangat dalam penghormatan dan ketakzimannya di antara semuanya, dikarenakan pengetahuannya  yang lebih mengenai sifat-sifat dari yang dicintainya.

Sedangkan kesimpulan Ibn al-Hajj mengenai hadis kekhilafan Nabi saw., tidaklah harus demikian, karena adanya kemungkinan bahwa diamnya Abû Bakr dan ‘Umar barangkali karena alasan lain selain takut, seperti karena mengetahui bahwa beliau tidak suka penanyaan, atau karena mengetahui bahwa setiap beliau berbuat kesalahan pastilah Allah swt akan memberitahukannya, atau karena alasan lain.  Lagi pula, kesimpulan Ibn al-Hajj bertentangan dengan riwayat yang berkenaan dengan sifat-sifat beliau, yaitu bahwa mereka yang jauh dari beliau akan merasa takut kepadanya, sedangkan mereka yang tumbuh dekat beliau, sering bertemu dengannya, dan melihat kerendahhatian dan kesantunan sifatnya, akan segera senang kepadanya dan mencintainya. Inilah beberapa buktinya:

Ibn Mâjah meriwayatkan (2:1101, bagian 29, bab 29) dari Ibn Mas‘ûd bahwa seorang lelaki datang untuk mengatakan sesuatu kepada Nabi saw., dan gemetar ketakutan. Nabi saw. berkata kepadanya: “Tenangkanlah dirimu, aku bukanlah raja, aku hanyalah anak seorang perempuan yang suka makan daging kering.” Al-Tirmidzî meriwayatkan (5: 599, bagian 50, “Manâqib”, bab 8) dari ‘Alî pada akhir tulisannya: “Siapa pun yang melihat beliau dari jauh akan terpesona olehnya, siapa pun yang bergaul dengan beliau dan mengenal dirinya, akan mencintainya.”  Sebabnya adalah adanya sifat-sifat keagungan dan kesucian pada diri Nabi saw., sekalipun ada kerendahhatian yang tiada tara di hadapan semua orang yang melihatnya.

 

Abû Mijlaz berkata: “Mu‘âwiyah keluar untuk menemui Ibn al-Zubayr dan Ibn ‘Âmir.  Sementara Ibn ‘Âmir berdiri, Ibn al-Zubayr tetap duduk di tempatnya. Mu‘âwiyah berkata kepada Ibn ‘Âmir, “Duduklah, karena saya mendengar Nabi saw. berkata, “Siapa saja yang menginginkan orang-orang berdiri untuknya, maka bersiaplah untuk mengambil tempat di neraka.”74 

Komentar al-Nawawî:

Kebanyakan orang yang tidak menyetujui berdiri sangat suka mengutip hadis tadi.  Ini bisa dijawab dengan berbagai cara:

Jawaban yang paling bagus adalah “tidak benar”.  Sebuah jawaban yang membuat jawaban-jawaban lain tak lagi dibutuhkan adalah bahwa tidak ada bukti untuk menentang sikap berdiri dalam hadis ini.  Maknanya yang terang dan gamblang adalah celaan eksplisit dan ancaman keras kepada orang-orang yang menghendaki orang-orang berdiri untuknya.  Tiada larangan, ataupun yang selain larangan, menyangkut berdiri itu sendiri, dan ada kesepakatan tentang hal ini … Sasaran dari celaan tersebut adalah apa yang bersemayam dalam hati orang yang menghendaki orang-orang berdiri untuknya.  Bila tidak ada apa-apa dalam hatinya, maka tidak ada celaan atasnya—entah mereka berdiri atau tidak … Larangan berkisar pada mencintai pujaan, bukan tindakan berdiri itu sendiri.  Oleh karena itu, dalam hadis ini tiada bukti untuk menentang kebolehan berdiri.

Jawaban lain adalah bahwa hadis ini, menurut dua imam ahli hadis, yaitu Abû Bakr ibn ‘Âshim dan Abû Mûsâ al-Ashbahânî, merupakan hadis mudhtharib (kacau, banyak riwayat yang saling berbeda dan tak dapat dipadukan).  Ini memastikan lemahnya hadis ini.  Akan tetapi, jawaban ini masih dapat dipertanyakan, karena Imam al-Tirmidzî dan Abû Dâwud telah mengangkat statusnya menjadi hadis hasan (baik dan dapat diterima), dan mereka telah membicarakannya.  Lagi pula, adanya perbedaan tidak mengakibatkan suatu hadis menjadi mudhtharib sehingga memastikannya menjadi daif.  Wallahu alam.

Pendapat para imam dan tokoh terkemuka menyangkut adanya kebulatan pendapat di kalangan kaum intelektual, seperti Abû Nashr Bisyr ibn al-Hârits al-Hâfî al-Zâhid, Abû Sulaymân Hamd ibn Muhammad ibn Sulaymân al-Khaththâbî, Abû Muhammad al-Husayn ibn Mas‘ûd al-Baghawî, dan Abû Mûsâ Muhammad ibn ‘Umar al-Ashbahânî al-Hâfizh, semoga Allah swt meridai mereka: [setelah mengutip isnad] Ahmad ibn al-Mughlis berkata, “Setelah saya menyebutkan hadis ini, Abû Nashr ibn al-Hârits berkata: ‘Beliau hanya tidak menyukai berdiri tersebut dari sudut pandang kesombongan, sedangkan dari sudut pandang cinta tulus, beliau tidak demikian, karena beliau sendiri berdiri untuk ‘Ikrimah ibn Abû Jahl … dan beliau berkata, “Berdirilah untuk ketua kalian,” dan beliau juga berkata, “Siapa menghendaki orang-orang berdiri untuknya …,” yang menunjukkan bahwa siapa saja menghendaki orang lain berdiri untuknya, maka janganlah berdiri untuknya.’ Adapun menurut al-Baghawî dan al-Khaththâbî sebagaimana kami telah sebutkan dengan isnad kami, mereka kurang lebih mengatakan bahwa hadis tersebut hanyalah berkenaan dengan orang-orang yang menyuruh orang lain dari sudut pandang kebanggaan dan kesombongan. Abû Mûsâ mengatakan: ‘Makna hadis tersebut adalah mereka yang menyuruh orang-orang agar berdiri di sekelilingnya, seperti para pejabat dan keluarga istana yang berdiri mengelilingi raja.’”76

 

Dari Abû Amâmah: Nabi saw. keluar sambil bertelekan pada sebuah tongkat, kami pun berdiri menyambut beliau.  Beliau mengatakan, “Janganlah kalian bangkit berdiri sebagaimana orang-orang asing yang suka saling membesar-besarkan.”75 

Komentar al-Nawawî:

Jawabannya dengan dua cara yang bagus:

Imam Abû Bakr ibn Abî ‘Âshim dan Abû Mûsâ al-Ashbahânî mengatakan bahwa hadis ini adalah hadis daif yang tak dapat dipergunakan sebagai hujah.  Abû Bakr berkata, “Hadis ini tak dapat dipercaya dan para perawinya tak dikenal.” Saya katakan, atas keterangan ini dapat ditambahkan fakta lain bahwa hadis ini adalah mudhtharib.  Dengan salah satu dari dua faktor ini saja cukuplah untuk menilainya daif, apalagi kalau keduanya.

Dalam hadis itu sendiri ada keterangan yang sangat jelas sehubungan dengan maksud yang dibedakan dari yang lain; yaitu, hadis tersebut mengandung celaan kepada mereka yang berdiri dengan maksud saling mengagung-agungkan.  Itulah mengapa beliau mengatakan, “Janganlah kalian bangkit berdiri sebagaimana orang-orang asing yang suka saling mnegagung-agungkan.” Tak ada keraguan lagi mengenai apa yang dicela di sini. Wallahu alam. 

Dari Nâfi‘ Abû Bakrah, Nabi saw. bersabda, “Janganlah seseorang berdiri dari tempat duduknya untuk yang lain.”76 

Komentar al-Nawawî:

Jawaban atas ini sama dengan dua jawaban sebagaimana pada bagian terdahulu … Mungkin masih ada cara ketiga untuk menjawabnya secara beralasan.  Maknanya dapat saja berbunyi, “Janganlah bangkit dari tempat salatmu, dari tempatmu mendengarkan khotbah, dan berzikir, atau majelis ilmu, dan sebagainya,” karena dalam kasus-kasus semacam itu, tidaklah disukai bila orang menyerahkan tempat duduknya kepada orang lain, atau meninggalkannya dan mengambil tempat lain yang lebih jauh dari imam.

Sama halnya dengan semua gerak badan yang serupa dengan itu semua, dan saya kira hal ini telah menjadi kesepakatan ulama, berbeda halnya dengan memberikan makanan atau minuman atau lainnya, yang berkaitan dengan milik perorangan; memberikan hal-hal tersebut merupakan sesuatu yang paling dianjurkan. Hal tersebut merupakan salah satu ciri kebajikan dan sikap para wali dan alim.  Dalam kaitannya dengan merekalah ayat berikut ini diturunkan, “Mereka lebih mendahulukan orang lain daripada dirinya sendiri, meskipun kemiskinan menjadi bagian dari mereka” (59:9).

Perbedaan antara kedua jenis pengorbanan ini adalah bahwa hak dalam kedekatan seseorang adalah milik Allah Taala, sehingga mengalihkannya tidaklah dibolehkan; berbeda dengan makanan dan yang sejenisnya, yang haknya adalah milik pribadi, meskipun dalam beberapa kasus, hal tersebut pada akhirnya merupakan milik Allah swt … 

Al-Nawawî juga mengatakan:

Syekh Abû Muhammad mengatakan kepada kami, Abû Taher al-Khasyawî mengatakan kepada kami, Abû Muhammad al-Akfanî mengatakan kepada kami, Hafiz Abû Bakr al-Khathîb al-Baghdâdî mengatakan kepada kami dengan ijazah bukan menyimak, al-Husayn ibn ‘Alî al-Jawharî mengatakan kepada kami, ‘Amr ibn al-‘Abbâs al-Khazzâz menceritakan kepada kami, Abû Bakr al-Sawlî mengatakan kepada kami, Ishâq ibn Ibrâhîm al-Qazzâz mengatakan kepada kami, Ishâq al-Syâhidî menceritakan kepada kami, “Saya melihat Yahyâ al-Qaththân—semoga Allah swt merahmatinya—melaksanakan salat asar, kemudian duduk menyandarkan punggungnya ke tembok menara masjidnya.  Kemudian ‘Alî ibn al-Madinî, al-Syadzakunî, ‘Amr ibn ‘Alî, Ahmad ibn Hanbal, Yahyâ ibn Ma‘în, dan yang lain berdiri di depannya, dan mengajukan beberapa pertanyaan mengenai hadis sambil berdiri tegak sampai datang waktu untuk salat magrib.  Beliau tidak mengatakan kepada seorang pun di antara mereka, ‘Duduklah,’ juga mereka tidak kelihatan hendak duduk, karena rasa hormat dan takzim.” 

Diriwayatkan bahwa tatkala Abû Hanîfah berkunjung kepada Sufyân setelah kematian saudaranya, Sufyân berdiri, datang menyambutnya, memeluknya, dan menawarkan duduk di tempat duduknya.  Ia mengatakan kepada yang menanyakan tindakannya ini, “Orang ini memiliki kedudukan tinggi dalam ilmu, dan bila aku berdiri bukan karena ilmunya, aku akan berdiri karena usianya, dan bila bukan karena usianya, maka karena kewarakannya, dan bila bukan karena kewarakannya, maka karena kefakihannya.”77

Al-Hâkim meriwayatkan bahwa tatkala al-Dzuhlî datang menjumpai Imam Ahmad, Imam Ahmad berdiri untuknya, maka orang-orang pun terkejut.  Kemudian beliau berkata kepada putranya dan para sahabatnya, “Pergilah kepada Abû ‘Abd Allâh (al-Dzuhlî), dan tuliskanlah apa yang diriwayatkannya.”78

Imam al-Nawawî juga mengatakan: Hafiz Abû Mûsâ al-Ashbahânî (w. 581) membacakan:

Qiyâmî, wa al-‘Azîz, ilayka haqq (Demi Yang Mahaperkasa, berdiriku untukmu [wahai Nabi saw.] adalah kebenaran), wa tark al-haqq mâ lâ yastaqîmu (dan meninggalkan kebenaran itu sesuatu yang tidak lurus), fa hal ahad lahu ‘aql wa lubb wa ma‘rifah yarâka falâ yaqûmu (maka sanggupkah orang yang berakal, berhati, dan berpengetahuan, jika melihatmu, tidak berdiri)?79 

Penulis berpandangan, sebagaimana Ibn Hajar al-‘Asqalânî, al-Nawawî, dan Abû Mûsâ al-Ashbahânî, bahwa tak seorang pun yang memiliki akal dan hati akan keberatan berdiri untuk Nabi saw.  Ini dianggap baik dan dianjurkan tidak hanya semasa Nabi saw., tetapi dianjurkan sampai akhir zaman.  Coba perhatikan, Hafiz Abû Mûsâ yang meninggal tahun 581, lebih lima ratus tahun setelah masa Nabi saw., masih berdiri untuknya, seperti pada masa beliau hadir dan mengatakan “melihatnya”.  Melihat Nabi saw. yang dialami oleh orang mukmin saleh, dalam keadaan tidur ataupun terjaga, dibenarkan oleh syariah, sebagaimana telah disebutkan para ulama.  Di antara mereka adalah al-Haytsamî yang mengatakan:

Dia ditanya, “Apakah mungkin bertemu dengan Nabi saw. selagi terjaga pada masa kita sekarang ini?” Beliau menjawab, “Ya. Itu mungkin. Ini dinyatakan sebagai bagian dari karamat al-awliyâ’ (peristiwa luar biasa pada para wali) oleh al-Ghazâlî, al-Bârizî, al-Tâj al-Subkî, al-Yâfi‘î dari mazhab Syâfii, dan al-Qurthubî serta Ibn Abî Jamrah dari mazhab Maliki. Diriwayatkan bahwa salah seorang wali sedang duduk dalam suatu majelis seorang fakih. Tatkala fakih tersebut meriwayatkan suatu hadis, wali itu pun berkata, ‘Hadis ini palsu.’ Fakih itu pun bertanya, ‘Bagaimana Anda tahu itu?’ Wali tersebut menjawab, ‘Nabi saw. berdiri persis di sampingmu, dan beliau mengatakan, “Aku tidak pernah mengatakannya.”’ Tatkala ia mengatakan hal ini, penglihatan fakih itu pun terbuka dan ia dapat melihat Nabi saw.”80 

Kesaksian sejenis ini merupakan suatu bukti bahwa Nabi saw. mendengar dan melihat kita, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis yang menerangkan bahwa beliau melihat tindakan kita, mendengar salam dan selawat kita, dan menjadi perantara atas nama kita.81  Singkatnya, sebagaimana halnya berdiri itu ada manfaatnya sebagai tanda hormat kepada orang lain dalam agama, dan Nabi saw. itu tetap hidup dan mendengar, serta beliau sendiri pun menyuruh para sahabatnya berdiri untuk sayyid mereka, maka dapat dipastikan bahwa berdiri untuk Nabi saw. itu suatu perbuatan yang diperbolehkan dan terpuji.

Yang berikut ini merupakan bukti kuat lebih lanjut bahwa Nabi saw. itu terus hidup di dalam kuburnya.

Allah telah mencegah bumi melumat tubuh para nabi.82

Versi lain dalam riwayat Ibn Mâjah ditambahkan, “Dan Nabiullah saw. tetap hidup dan mendapat rezeki terus (fa nabî Allâh hayy yurzaqu).”83

Para nabi itu terus hidup dalam kuburnya, bersalat kepada Tuhannya.84

Imam al-Suyûthî menambahkan, “Hidupnya Nabi saw. di dalam kuburnya, demikian juga para nabi yang lain, diketahui oleh kita sebagai pengetahuan yang pasti (qath‘î).”

(Pada malam saya diberi kebahagiaan untuk menemui Tuhanku), saya melihat Musa as berdiri salat dalam kuburnya.85 

Imam al-Nawawî mengatakan dalam penjelasannya mengenai hadis ini, “Pekerjaan di alam akhirat adalah semata berzikir dan berdoa kepada Allah swt.”86

Tidaklah seseorang mengucapkan salam kepadaku, kecuali Allah swt akan mengembalikan ruhku kepadaku, sehingga saya dapat membalas salamnya.87 

Hadis ini dikemukakan oleh ulama sebagai hujah yang sah atas keabsahan dan kemungkinan berkunjung dan membaca salam kepada Nabi saw., meskipun hadis tersebut tidak menyebutkan perlunya mengunjungi Nabi saw. secara fisik di Madinah.

Mengenai kata “radda”, al-Suyûthî dan al-Haytsamî mengatakan bahwa ia bermakna ‘alâ al-dawâm, alias seterusnya, dan bukan sementara waktu.88 Dengan kata lain, Allah swt tidak mengembalikan ruh dan mengambil lagi, kemudian mengembalikan dan mengambil lagi, tetapi Dia mengembalikannya kepada Nabi saw. untuk seterusnya, dengan demikian Nabi saw. hidup untuk seterusnya.

Al-Sakhâwî, seorang murid Ibn Hajar al-‘Asqalânî, mengatakan, “Kita (muslim dari aliran-aliran utama) percaya dan yakin bahwa beliau terus hidup dan mendapat rezeki.”89 Ibn al-Qayyim berkata:

Merupakan suatu pengetahuan wajib untuk mengetahui bahwa tubuh beliau di dalam bumi tetap lembut dan lembab (seperti sewaktu hidup).  Tatkala para sahabat bertanya kepada beliau, “Bagaimanakah salam kami disampaikan kepadamu setelah engkau menjadi debu,” beliau menjawab, “Allah swt mencegah bumi melumat daging para nabi.”  Apabila tubuh beliau tidak di dalam kuburnya, pastilah beliau tidak akan memberikan jawaban ini. 90 

Ibn Hajar al-Haytsamî menulis:

Bukti-bukti dan nas-nas yang diriwayatkan telah dinyatakan sebagai sahih pada tingkat paling tinggi bahwa Nabi saw. terus hidup dan peduli … bahwa beliau berpuasa dan berhaji setiap tahun, dan bahwa beliau menyucikan dirinya dengan air yang mengucur kepadanya.91 

“Siapa saja yang membacakan selawat kepadaku di kuburku, aku akan mendengarnya, dan siapa saja yang membacakan selawat kepadaku dari jauh, aku akan diberi tahu tentangnya.”92

Siapa saja mengunjungi kuburanku, syafaatku akan menjadi jaminan untuknya.93 

Ini merupakan salah satu nas sebagai hujah yang dikemukakan para ulama untuk mendukung keharusan dan anjuran untuk berziarah ke makam Nabi saw. dan bertawasul dengannya.94 Al-Sakhâwî mengatakan:

Penekanan dan dorongan untuk berziarah ke kuburannya yang mulia disebutkan dalam banyak hadis, dan untuk menunjukkan hal ini akan cukuplah bila ada hadis yang dengannya Nabiullah saw. yang jujur dan dimuliakan ini menjanjikan bahwa syafaatnya, di antara hal-hal lain, menjadi jaminan untuk siapa pun yang berziarah kepadanya. Para imam telah bersepakat bulat sejak saat beliau wafat sampai sekarang bahwa ini salah satu kegiatan terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.95

 

Apakah Berdiri selagi Berselawat kepada Nabi saw. Menunjukkan bahwa Beliau Hadir?

Sebagian orang yang melarang berdiri untuk Nabi saw. melakukan demikian karena mereka mengira orang-orang yang berdiri tersebut berpikir bahwa Nabi saw. benar-benar hadir pada saat tersebut.  Meskipun begitu, ini bukanlah alasan mengapa orang-orang berdiri, dan tidak seorang pun mengklaimnya demikian.  Akan tetapi, mereka yang berdiri itu menyatakan kebahagiaan, cinta, rasa hormat, dan pengabdiannya saat menyebut nama Nabi saw. dalam majelis-agung orang-orang yang mengingatnya.  Mereka berdiri untuk memberi perhatian dengan penuh kekaguman pada cahaya yang turun kepada makhluk melalui seseorang yang kemasyhuran namanya telah diangkat tinggi oleh Allah swt.  Mereka berdiri sebagai tanda syukur atas rahmat besar yang telah dilimpahkan untuk seluruh makhluk melalui seorang nabi bernama Muhammad saw.

Lebih jauh, tidaklah boleh mengingkari kebebasan ruh di alam barzakh untuk bepergian ke mana saja yang disukainya dengan seizin Allah swt.  Berdasarkan riwayat Ibn al-Qayyim, Salmân al-Fârisî mengatakan, “Ruh orang-orang beriman itu ada di alam barzakh, dari sana mereka pergi ke mana saja yang mereka mau,” dan Imam Malik mengatakan, “Saya pernah mendengar bahwa ruh itu dibiarkan bebas dan boleh pergi ke mana saja ia mau.”96

Berdiri atau menari sebagai ungkapan gembira atas Nabi saw., atau apa saja yang berkaitan dengan beliau, atau kelahiran beliau, didukung oleh berbagai hujah yang jelas dalam sunah, termasuk di antaranya:

Orang-orang Habsyi menyajikan pertunjukan tari dengan penuh kegembiraan tatkala mereka datang ke Madinah.  Ini diriwayatkan oleh Abû Dâwud dengan sanad yang baik.

Mereka memainkannya kembali di Masjid Nabi saw pada hari Idul Fitri. Selagi mereka menari, Nabi saw dan istrinya menonton, dan Nabi saw menyemangati mereka dengan kata-kata, “Dûnakum yâ banî Arfadah (Loncatlah, wahai para putra Arfadah),” yang menunjukan bahwa apa yang mereka lakukan itu tidak nista dan dibolehkan.  Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim dari ‘Â’isyah pada bagian “Shalât al-‘Îdayn” dalam Shahîh-nya.

Mereka juga menabuh genderang, bernyanyi, dan bermain di depan beliau pada hari ‘Îd.  Ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibn Mâjah dari Qays ibn Sa‘ad ibn ‘Ubâdah.

Semuanya itu bukanlah untuk alasan lain selain bergembira karena berada di tengah-tengah kehadiran Nabi saw., sebagaimana dikuatkan oleh tindakan kaum perempuan dari Bani Najjar tatkala Nabi saw. datang ke Madinah:

Anas meriwayatkan bahwa tatkala Nabi saw. datang pertama kali ke Madinah, kaum Anshar berhamburan keluar, baik laki-laki ataupun perempuan, dan mereka semua mengatakan, “Bersama kami, wahai Rasulullah saw!” [maksudnya, marilah tinggal bersama kami]. Nabi saw. berkata, “Biarlah unta ini yang memilih, karena ia memiliki urusannya sendiri.” Unta itu pun duduk di pintu Abû Ayyûb.  Anas kemudian melanjutkan bahwa (setelah beliau masuk) para perempuan Banu Najjar keluar sambil menabuh genderang dan bernyanyi:

Nahnu jawâr min banî al-najjâr

Yâ habbadza Muhammad min jâr

(Kami perempuan-perempuan dari Bani Najjar

Betapa senangnya bila Muhammad saw menjadi tetangga).

Nabi saw. keluar dan berkata, “Apakah kalian mencintaiku (atuhibbûnî)?”

Mereka menjawab:

Ay wa Allâhi yâ Rasûl Allâh

(Ya, demi Allah swt, ya Rasulullah saw)

Sampai sini beliau berkata:

Wa anâ uhibbukum

Wa anâ uhibbukum

Wa anâ uhibbukum

(Dan aku mencintaimu). 

Dalam versi lain beliau mengatakan: Allâh ya‘lamu anna qalbî yuhibbukunna, atau Allâh ya‘lamu annî lauhibbukunna, (Allah swt mengetahui bahwa hatiku mencintai kalian, atau Allah swt mengetahui bahwa sungguh aku mencintai kalian).98

Beberapa sahabat perempuan mendatangi Nabi saw. setelah beliau pulang dari suatu ekspedisi dan mengatakan bahwa mereka telah bernazar untuk menabuh gendang di depan beliau apabila beliau pulang dengan selamat dan sehat, dan Nabi saw pun mengizinkan mereka.99

‘Alî ra berkata, “Saya mengunjungi Nabi saw. bersama Ja‘far ra (ibn Abî Thâlib) dan Zayd ra (ibn Hâritsah).  Nabi saw. berkata kepada Zayd ra, ‘Engkau orang merdekaku (anta maulâyâ),’ karena itu Zayd ra berlompatan kegirangan dengan sebelah kaki di sekeliling Nabi saw.  Lalu Nabi saw berkata kepada Ja‘far ra, ‘Engkau mirip aku dalam penciptaan dan tingkah laku (anta ashbahta khalqî wa khuluqî),’ karena itu Ja‘far ra berlompatan kegirangan di belakang Zayd ra.  Nabi saw. kemudian berkata kepadaku: ‘Engkau bagian dariku dan aku bagian darimu (anta minnî wa ana minka),’ karena itu aku pun girang berlompatan di belakang Ja‘far ra.”100

Tidak ada keraguan lagi bahwa hal-hal sejenis bernyanyi, menari, membaca syair, menabuh gendang adalah untuk menyatakan kegembiraan karena berada bersama Nabi saw.; beliau tidak mencelanya ataupun mengerutkan dahi karena pertunjukan semacam itu.  Semuanya itu pertunjukan biasa untuk menunjukkan kebahagiaan dan bentuk kesenangan yang dibolehkan.  Sama halnya dengan berdiri dalam acara peringatan kelahiran Nabi saw., mereka biasanya melakukan tindakan yang menunjukkan cinta dan kegembiraan dan menggambarkan kebahagiaan makhluk.  Tak satu pun dari jenis ini yang merupakan peribadatan.  Karena itulah mengapa seorang terpelajar seperti al-Barzanjî mengatakan dalam syair maulidnya yang terkenal:

Wa qad sanna ahl al-‘ilm wa al-fadhl wa al-tuqâ

Qiyâman ‘alâ al-aqdâm ma‘a husn im‘an

Bi tasykhîsh dzât al-mushtafâ wa huwâ hâdhir

Bi ayy maqâm fîhi yudzkaru bal dânî

(Sudah menjadi kebiasaan orang-orang berilmu, berkedudukan, dan bertakwa

Berdiri di atas kaki dengan sikap yang sebaik-baiknya

Bertindak seolah-olah Nabi saw. benar-benar hadir

Setiap kali mereka menyebut beliau, seakan melihat beliau mendekat). 

Penyebutan oleh al-Barzanjî mengenai tindakan seolah-olah Nabi saw. hadir dan penglihatan atas beliau, memberi kesan penghadiran sebentuk dan sekualitas kemuliaan beliau ke dalam hati sehingga meningkatkan dan menyempurnakan gerakan hati dan tubuh dalam memberi penghormatan dan mengungkapkan rasa cinta kepada beliau.

 

Penggunaan Ungkapan “al-Salâm ‘alayka yâ Rasûl Allâh

Membacakan salam kepada Nabi saw. dengan menggunakan ungkapan-ungkapan: yâ Rasûl Allâh (wahai Utusan Allah), Habîb Allâh (wahai Kekasih Allah), yâ Nabî Allâh (wahai Nabi Allah), yâ Shâfî Allâh (wahai Teman Pilihan Allah), yâ Khalîl Allâh (wahai Teman Dekat Allah), yâ Nâjî Allâh (wahai Teman Kepercayaan Allah), itu dibolehkan, baik sekali, terpuji, dan berpahala besar.

Ungkapan-ungkapan ini dan yang semacamnya dapat digunakan pada setiap waktu dan setiap tempat, tetapi lebih khusus lagi dalam majelis zikir, karena ungkapan-ungkapan semacam ini dapat meningkatkan rasa cinta kepada Nabi saw. dalam hati yang tak terkirakan besarnya.  Muslim diharuskan mencintai beliau melebihi cinta kepada anak, orang tua, dan bahkan diri sendiri. Para ahli manasik (tatacara haji), menganjurkan penggunaan ungkapan-ungkapan ini, lebih-lebih tatkala sedang menziarahi Nabi saw. di Madinah.  Ada keterangan bahwa ‘Abd Allâh ibn ‘Umar mengucapkan, “Al-salâm ‘alayka yâ Rasûl Allâh,” setiap berkunjung kepada Nabi saw., dan ucapan serupa saat berkunjung kepada Abû Bakr ra.  Mereka yang merasa keberatan atas penggunaan kata “yâ” yang digandengkan dengan Nabi saw. berarti mereka menyakiti diri sendiri dan orang lain dengan menganggapnya sebagai menyalahi sunah dan perbuatan bidah.  Ini karena beberapa alasan berikut:

Rupanya mereka telah mengabaikan fakta bahwa kaum muslim diharuskan membaca tasyahud dalam salat karena salat tidak sah tanpanya.  Paling sedikit sembilan kali sehari, kaum muslim dalam tasyahudnya mengatakan: “Al-salâm ‘alayka ayyuhâ al-Nabî wa rahmat Allâh wa barakâtuhu.  Ungkapan ayyuhâ al-Nabî sama persis dengan yâ Nabî.

Allah swt memerintahkan muslimin agar tidak memanggil Nabi saw. dengan cara yang sama seperti yang dilakukan di antara mereka: Lâ taj‘alû du‘â al-Rasûl baynakum ka du‘â’ ba‘dhikum ba‘dhan (Janganlah kamu jadikan panggilan kepada Rasul di antara kamu, seperti panggilan sebagian kamu kepada yang lain) [24:63].

Ini bukti bahwa Allah tidak melarang orang-orang memanggil Nabi saw., karena kalau hal tersebut merupakan larangan mutlak, larangan tersebut tidak perlu diperinci lagi.  Allah swt sendiri menunjukkan kepada kita etika memanggil kepada Nabi saw. dengan memanggil beliau, “Yâ ayyuhâ al-Nabî,” atau “Wahai Nabi,” dan dengan menyebutnya sebagai “Sang Utusan” dalam Alquran, sementara Dia memanggil nabi-nabi lain dengan namanya, yâ Ibrâhîm, yâ Yah, yâ Mûsâ, yâ ‘Îsâ, dan seterusnya. Para ulama menjelaskan bahwa dengan berbuat demikian Allah swt menetapkan suatu perbedaan penghargaan antara Nabi Penutup saw dan nabi-nabi yang mendahuluinya—semoga selawat dan salam dari Allah swt diberikan kepada mereka semua.101 Mereka pun mengatakan bahwa itulah sebabnya lebih disukai menyebut yâ Rasûl Allâh daripada yâ Muhammad saw.

Seperti telah disebutkan dalam jilid tentang tawasul, Nabi saw. mengajari seorang tunanetra cara memohon yang di dalamnya ia harus mengatakan, “Yâ Muhammad saw.” Riwayat ini begitu dikenal, dan merupakan hadis sahih yang tak dapat ditolak.  Tawasul tersebut sebagai berikut:

Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dan meminta tolong kepada-Mu dengan perantaraan Nabi-Mu Muhammad saw, Nabi rahmat; wahai Muhammad saw, aku minta tolong denganmu kepada Tuhanku sehubungan dengan kebutuhanku ini sehingga Dia memenuhi permohonanku ini. Ya Allah swt, perkenankanlah beliau menjadi wasilah kepada-Mu dariku!102 

Kata-kata “wahai Muhammad saw” tidak terdapat dalam versi riwayat al-Tirmidzî.103  Secara gramatikal itu merupakan penghilangan yang salah, karena tanpa panggilan “yâ Muhammad saw,” maka pihak tertuju menjadi “yâ Allâh swt.”  Tetapi, ini tak masalah karena pada bagian selanjutnya ia mengatakan, “aku minta tolong denganmu kepada Tuhanku,” yang dengan jelas tidak mungkin bermakna: “Ya Allah swt, aku minta tolong denganmu kepada Tuhanku.” 

Perusakan Pintu Gerbang Makam Nabi saw. (al-Muwâjahah al-Syarîfah) oleh Pengikut Wahabi.

Kaum muslim mesti mencatat tindakan keji yang berkaitan dengan masalah “yâ Muhammad saw” ini, karena hal ini tak pelak adalah salah satu sikap peremehan terbesar terhadap Nabi saw. pada zaman kita.  Bila kita melihat sebuah gambar tua pintu gerbang emas di pintu masuk ke makam Nabi saw., kita akan temukan di bagian atas setiap pintu, secara berjalinan, suatu seruan dalam tulisan Arab:

  ALLÂH SWT

  MUHAMMAD SAW

Bila kita melihat pada bagian atas setiap pintu sekarang, kita akan mendapatkan bahwa huruf Arab yâ’ di bagian awal kata pada ungkapan “yâ Muhammad saw” telah hilang, tetapi huruf alif dan dua titik bawah huruf yâ’ disisakan di tempatnya.  Sekarang kita akan membacanya:

  ALLÂH SWT

A  MUHAMMAD SAW

Sebuah gambar dari gerbang lama, sebelum dirusak oleh pengikut Wahabi, pernah dipublikasikan di sampul depan Islamic Beliefs and Doctrine According to Ahl al-Sunna: A Repudiation of “Salafi” Innovations.  Gambar tersebut merupakan gambar berwarna yang sangat terang dan berkualitas tinggi, sehingga diharapkan dapat terlihat dan dipahami oleh seluruh muslim.

Panggilan yang disebutkan di atas, yang menggunakan kata panggilan di depan nama Nabi saw tersebut digunakan juga setelah Nabi saw. wafat, sebagaimana dapat dibuktikan dengan hadis sahih berikut ini:

Seseorang mendatangi ‘Utsmân ibn ‘Affân ra untuk suatu keperluan, tetapi ‘Utsmân ra tidak mau memerhatikan atau memeriksa apa keperluannya, karena itu ia mengadukan keadaannya itu kepada ‘Utsmân ibn Hunayf ra yang mengatakan kepadanya, “Pergilah dan ambillah air wudu, terus pergilah ke masjid dan salatlah dua rakaat, kemudian bacalah doa ini,” dan ia pun menyebutkan doa tawasul dari orang tunanetra tadi, “lalu pergilah (kepada ‘Utsmân ra lagi).” 

Orang itu pun pergi, mengerjakan sebagaimana yang dikatakan kepadanya, kemudian mendatangi pintu ‘Utsmân ra, dan penjaga pintu pun segera datang dan menuntunnya serta membawanya kepada ‘Utsmân ra.  ‘Utsmân ra pun mendudukkannya bersamanya di karpet yang tinggi, dan berkata, “Katakan apa keperluanmu itu.” Setelah itu, orang itu pun keluar dan menemui ‘Utsmân ibn Hunayf ra lagi, dan berkata: “Semoga Allah swt memberimu pahala!  Sebelumnya ia tidak mau memeriksa keperluanku dan tidak sedikit pun memberi perhatian kepadaku, sampai engkau membicarakannya kepadanya.”  Ia menjawab, “Aku tidak berbicara kepadanya, tetapi aku melihat Nabi saw. ketika seorang tunanetra mendatanginya mengadukan kelemahan penglihatan yang dimilikinya,” dan ia menerangkan isi cerita di muka.

Akhirnya, “yâ Muhammad saw adalah perkataan Nabi Isa a.s. kepada Nabi saw. setelah Nabi Isa as turun lagi ke bumi, sebagaimana dalam sebuah hadis yang dapat dipercaya dari Abû Hurayrah ra:

Aku mendengar Nabi saw mengatakan, “Demi Zat Yang menguasai ruh Abû al-Qâsim saw, Isa putra Maryam a.s. akan turun sebagai hakim dan pengatur yang adil.  Ia akan menghancurkan salib, membunuh babi-babi, melenyapkan perselisihan dan dendam kesumat, uang pun akan ditawarkan kepadanya tetapi ia tak akan menerimanya.  Setelah itu, ia pun akan berdiri di samping kuburanku dan mengatakan, ‘Ya Muhammad saw,’ dan aku pun akan menjawabnya.”105 

Seseorang tidaklah diharuskan menyampaikan salam kepada Nabi saw. dengan berdiri di pinggir makam Nabi saw. karena beliau juga mengatakan:

Siapa saja yang berselawat kepadaku di kuburanku, aku akan mendengarnya, dan siapa saja berselawat kepadaku dari kejauhan, aku akan diberi tahu tentang hal itu.106 

Keterangan berikut dari Ibn Abî Fudhayk, salah seorang ulama Madinah terdahulu dan salah seorang syekh dari al-Syâfi‘î, berlaku tidak hanya untuk para peziarah ke makam Nabi saw di Madinah saja, tetapi untuk setiap orang yang berselawat kepada Nabi saw. dengan kata-kata yâ Muhammad saw dari kejauhan seolah-olah ia sedang berdiri di hadapan beliau.

Aku mendengar salah seorang sumber terpercaya yang kutemui mengatakan, “Telah sampai kepada kita bahwa siapa saja yang berdiri di makam Nabi saw. dan membaca, ‘Sesungguhnya Allah dan para malaikatnya berselawat kepada Nabi saw …’ (33:56) kemudian ia mengucapkan, ‘Semoga selawat disampaikan kepadamu, wahai Muhammad saw (shallâ Allâh ‘alayka yâ Muhammad)’ sebanyak tujuh puluh kali, malaikat akan mendoakannya dengan mengatakan, ‘Semoga Allah mengirim selawat atasmu, wahai fulan; tak satu pun kebutuhanmu yang dibiarkan tidak terpenuhi.’”107 

Al-Bukhârî, al-Nawawî, dan al-Syawkânî menyampaikan riwayat dari Ibn ‘Umar dan Ibn ‘Abbâs yang di dalamnya disebutkan bahwa mereka akan berteriak yâ Muhammad saw setiap kali mereka mengalami kejang-kejang di kaki.108  Terlepas dari tingkat kesahihan dari riwayat-riwayat ini, namun cukuplah penting bahwa al-Bukhârî, al-Nawawî, dan al-Syawkânî tidak pernah melontarkan sejenis pernyataan yang mengganggu seperti menyatakan bahwa meneriakkan “yâ Muhammad saw dapat mengakibatkan syirik.109

Kesimpulannya, dinasihatkan kepada muslimin, apabila dituduh salah karena mengatakan “yâ Rasûl Allâh saw” agar tetap istikamah dengan dasar pengetahuan bahwa tindakan ini sangat berlandaskan syariah dan bahwa yang menuduhlah yang salah.

 

Catatan

62.       Beberapa hadis ini disebutkan dalam bagian ziarah.

63.       Abû al-Syaykh menyebutkannya dalam Kitâb al-Shalâh ‘alâ al-Nabî (Jalâ’ al-Afhâm, h. 22). dan Ibn Hajar mengatakan dalam Fath al-Bârî (6:379), “Abû al-Syaykh menyebutkannya dengan sanad yang baik (jayyid).” Al-Bayhaqî menyebutkannya dalam Hayât al-Anbiyâ’ dan Syu‘ab al-Îmân (2:218, #1583) dengan lafal ublightuhu yang menggantikan kata bullightuhu di bagian akhirnya.

64.       Abû Hurayrah dalam Abû Dâwud (“al-Manâsik, #2039) dengan sanad yang sahih; Ibn ‘Asâkir, Mukhtashar Târîkh Dimasyq, 2:407; Ahmad, Musnad, 2:527; Abû Nu‘aym, Akhbâr Ashbahân, 2:353; Ibn al-Najjâr, Akhbâr al-Madînah, h. 145; al-Bayhaqî, Syu‘ab al-Îmân, #4161; al-Haytsamî, Majmâ‘ al-Zawâ’id, 10:162; Ibn Katsîr, Tafsîr, 6:464; al-Mundzirî, al-Targhîb wa al-Tarhîb, 2: 499; Talkhîsh al-Habîr, 2:267.

65.       Al-Suyûthî, Anbâ’ al-Adzkiyâ’ bi Hayât al-Anbiyâ’.

66.       Abû al-‘Abbâs Ahmad ibn al-Khathîb, dikenal sebagai Ibn Qunfudz al-Qusantinî al-Mâlikî, Wasîlat al-Islâm bi al-Nabî ‘alayh al-Shalâh wa al-Salâm (Beirut: Dâr al-Gharb al-Islâmî, 1404/1984), h. 145-146.

67.        Hadis ini juga diriwayatkan dengan lafal, “Qûmû li sayyidikum,” yang artinya sama saja. Lihat al-Thahawî, Musykil al-Âtsâr (2:38), Ibn Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah (4:122), dan al-Zâbidi, Ithâf al-Sâdat al-Muttaqîn (7:142).

68.       Al-Tirmidzî (“al-Birr wa al-Shilah, 4:322, #28) menilainya hasan sahih. Ahmad (2:185) meriwayatkannya tetapi bagian keduanya adalah, “dan mengabaikan hak orang yang lebih tua.” Al-Nawawî berkata, “Kami meriwayatkannya dari al-Bukhârî yang mengatakan, ‘Saya melihat Ahmad ibn Hanbal dan ‘Alî al-Madanî dan Ishâq ibn Rahawayh menyebutkan hadis ‘Amr ibn Syu‘ayb, dari ayahnya, dari kakeknya, sebagai hujah–dan siapa saja mereka yang datang setelah mereka!’” Versi lain dari Ibn ‘Abbâs berbunyi, “… dan tidak memperlakukan yang lebih tua dari kita dengan penghormatan …” diriwayatkan al-Tirmidzî (4:322, #28), tetapi dengan sanad lemah.

69.       Abû Dâwud meriwayatkannya dengan sanad yang munqathi‘ (terputus). Muslim menyebutkannya tanpa sanad dalam pengantarnya untuk Shahîh. Al-Sakhâwî mengatakan dalam pengantarnya (h. 5) untuk al-Jawâhir wa al-Durar, biografinya tentang gurunya Ibn Hajar al-‘Asqalânî, “Hadis ini hasan … al-Nawawî melaporkan pendapat Ibn al-Shalâh bahwa hadis tersebut tidak bisa dipastikan sebagai hadis sahih (meskipun memenuhi kriteria Muslim), tetapi al-Hâkim memastikannya sebagai hadis sahih pada bagian yang mengupas jenis ke-16 riwayat yang sahih dari kitabnya, Ma‘rifat ‘Ulûm al-Hadîts, di sini ia pun mengatakan, ‘Ibn Khuzaymah menyatakannya sahih, al-Bazzâr mengutipnya dalam Musnad, demikian juga Abû Dâwud dalam Sunan, Abû Nu‘aym dalam Hilyat.’”

70.       Muslim meriwayatkannya dalam Shahîh (bagian 32, al-Jihâd, bab 22, #1728)

71.        Al-Tirmidzî (al-Adab”, 5:90, #44) mengatakan hadis ini hasan sahih.

72.        Al-Bukhârî, 6:478, bagian 60, al-Anbiyâ’”, #48; dan Ahmad, 1:23, 24.

73.        Suatu keterangan yang didasarkan pada suatu hadis dalam al-Bukhârî (Edisi bahasa Inggris 1:278-279) dan Muslim di mana Nabi saw. melakukan salat asar dan setelah dua rakaat lalu memberi salam; sahabat ini berkata, “Wahai Rasulullah, apakah salat Anda diringkas (qashar) ataukah Anda lupa?” Nabi saw. menjawab bahwa ia tak meringkasnya, maka beliau pun mengerjakan dua rakaat sisanya.

74.        Versi al-Tirmidzî menyebutkan Ibn al-Zubayr dan Shafwân, dan keduanya berdiri. Abû Dâwud meriwayatkannya (al-Adab, 4:385), juga al-Tirmidzî (al-Adab, 5:90, #44) yang menilainya hasan, dan Ahmad (4:94, 100).

75.        Abû Dâwud meriwayatkannya (al-Adab, 4:358). Versi Ibn Mâjah (al-Du‘â’”, #34, 2:1261), “Janganlah melakukan sesuatu seperti yang dilakukan oleh orang-orang Persia kepada para pembesar mereka.”

76.        Abû Mûsâ al-Ashbahânî meriwayatkannya dengan sanadnya sendiri. Hafiz Abû al- Qâsim ibn ‘Asâkir mengatakan dalam al-Athrâf bahwa Abû Dâwud meriwayatkan dalam bagian al-Adab (4:258). Dalam sanadnya terdapat Abû ‘Abd Allâh Mawlâ ‘Alî Abî Burdah yang tak dikenal. Lihat al-Taqrîb, #8215.

77.        Diriwayatkan oleh al-Suyûthî dalam Tabyîdh al-Shahîfah, h. 32; dan al-Thahanawî dalam Injâ’ al-Wathan, 1:19-22.

78.        Al-Hâkim, Ma‘rifat ‘Ulûm al-Hadîts, h. 104.

79.        Lihat sumber-sumber berikut: al-Nawawî, al-Tarkhîsh fî al-Ikrâm bi al-Qiyâm li Dzawî al-Fadhl wa al-Maziyyah min Ahl al-Islâm ‘alâ Jihat al-Birr wa al-Tawqîr wa al-Ihtirâm lâ ‘alâ Jihat al-Riyâ’ wa al-I‘zhâm (Kebolehan menghormati, dengan berdiri, orang-orang yang memiliki keutamaan dan keistimewaan di antara umat Islam atas dasar semangat kebajikan, ketakziman, dan rasa hormat, bukan atas dasar semangat ria dan membesar-besarkan), editor Kilânî Muhammad Khalîfah (Beirut: Dar al-Basyâ’ir al-Islâmiyyah, 1409/1988); al-Nawawî, Syarh Shahîh Muslim; Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî Syarh Shahîh al-Bukhârî (Kemenangan Maha Pencipta: penjelasan atas kumpulan hadis-hadis sahih al-Bukhârî); dan Syams al-Dîn al-Sakhâwî, al-Jawâhir wa al-Durar fî Tarjamat Syaykh al-Islâm Ibn Hajar.

80.       Ibn Hajar al-Haytsamî, Fatâwâ Hadîtsiyyah (Kairo: Halabi, 1390/1970), h. 297.

81.        Tawasul Nabi dibahas pada bagian ziarah.

82.       Hadis sahih yang diriwayatkan, dari Aws ibn Aws al-Tsaqâfî, oleh Ahmad dalam Musnad, Ibn Abî Syaybah dalam Mushannaf, Abû Dâwud dalam Sunan, al-Nasâ’î dalam Sunan, Ibn Mâjah dalam Sunan, al-Dârimî dalam Musnad, Ibn Khuzaymah dalam Shahîh, Ibn Hibban dalam Shahîh, al-Hâkim dalam al-Mustadrak, al-Thabrânî dalam Kabîr, al-Bayhaqî dalam Hayât al-Anbiyâ’, al-Suyûthî dalam Anbâ’ al-Adzkiyâ’, al-Dzahabî yang menguatkan derajat yang ditetapkan oleh al-Hâkim, dan al-Nawawî dalam al-Adzkâr.

83.       Al-Bayhaqî menyebutkannya juga dalam Sunan al-Kubrâ.

84.       Hadis sahih yang diriwayatkan, dari Anas ibn Mâlik, oleh al-Bazzâr dalam Musnad, Abû Ya‘lâ dalam Musnad, Ibn ‘Adî dalam al-Kâmil fî al-Dhu‘afâ’, Tammâm al-Râzî dalam al-Fawâ’id, al-Bayhaqî dalam Hayât al-Anbiyâ’ fî Qubûrihim, Abû Nu‘aym dalam Akhbâr Ashbahân, Ibn ‘Asâkir dalam Târîkh Dimasyq, al-Haytsamî dalam Majma‘ al-Zawâ’id (8:221), al-Suyûthî dalam Anbâ’ al-Adzkiyâ’ bi Hayât al-Anbiyâ’ (#5), dan al-Albânî dalam Silsilat al-Ahâdits al-Shahîhah (# 621).

85.       Hadis sahih yang diriwayatkan, dari Anas dan yang lain, oleh Muslim, al-Nasâ’î, al-Bayhaqî dalam Dalâ’il al-Nubuwwah dan Hayât al-Anbiyâ’, dan yang lain. Sebagian menyebutkan permulaannya (dalam tanda kurung), sebagian lain tidak menyebutkannya.

86.       Syarh Shahîh Muslim, 1/73/267.

87.        Abû Hurayrah dalam kitab Abû Dawud (Manâsik, #2039) dengan sanad yang sahih; Ibn ‘Asâkir, Mukhtashar Târîkh Dimasyq, 2:407; Ahmad, Musnad, 2:527; Abû Nu‘aym, Akhbâr Ashbahân, 2:353; Ibn al-Najjâr, Akhbâr al-Madînah, h. 145; al-Bayhaqî, Syu‘ab al-Îmân, #4161; al-Haytsamî, Majma‘al-Zawâ’id, 10:162; Ibn Katsîr, Tafsîr, 6:464; al-Mundzirî, al-Targhîb wa al-Tarhîb, 2:499; Talkhîsh al-Habîr, 2:267.

88.       Al-Suyûthî, Anbâ’ al-Adzkiyâ’ bi Hayât al-Anbiyâ’; dan al-Haytsamî, al-Jawhar al-Munazhzham.

89.       Al-Sakhâwî, al-Qawl al-Badî‘, h. 161.

90.       Ibn al-Qayyim, Kitâb al-Rûh, h. 58.

91.        Ibn Hajar al-Haytsami, al-Jawhar al-Munazhzham. Di akhir kutipan.

92.       Abû al-Syaykh menyebutkannya dalam Kitâb al-Shalâh ‘alâ al-Nabî (Jalâ’ al-Afhâm, h. 22), dan Ibn Hajar mengatakan dalam Fath al-Bârî (6:379), “Abû al-Syaykh menyebutkannya dengan sanad yang baik (jayyid).” Al-Bayhaqî menyebutkannya dalam Hayât al-Anbiyâ’ dan Syu‘ab al-Îmân (2:218 #1583) dengan lafal ublightuhu di bagian akhirnya.

93.       Hadis hasan. Diriwayatkan oleh al-Dâruquthnî, al-Dulabî, al-Bayhaqî, Khâthib al-Baghdâdî, al-‘Uqaylî, Ibn ‘Adî, al-Thabrânî, dan Ibn Khuzaymah dalam Shahîh- nya. Semuanya melalui sanad yang berbeda-beda dari Mûsâ ibn Hilâl al-‘Abdî dari ‘Ubayd Allâh ibn ‘Umar, keduanya dari Nâfi‘, dari Ibn ‘Umar. Al-Dzahabî menyatakan bahwa sanad ini hasan dalam Mîzân al-I‘tidâl, j. 4, h. 226, dan ia berkata, “Huwa shâlih al-hadîts,” yang berarti, “Dia—Mûsâ ibn Hilâl—orang yang baik dalam periwayatannya.” Ini jugalah pandangan dari Imam Ahmad sebagaimana diceritakan oleh al-Syawkânî, Nayl al-Awthâr, 5:95. Imam al-Sakhâwî menegaskan derajat yang ditetapkan oleh al-Dzahabî dalam Maqâshid al-Hasanah, dan al-Lucknawî juga menyatakannya hasan dalam syarahnya atas kitab al-Jurjânî, Zhafr al-Amânî, h. 422 (edisi ketiga), sedangkan al-Subkî menyatakannya sahih sebagaimana disebutkan oleh al-Samhûdî dalam Sâdat al-Dârayn, 1:77, dan al-Syawkânî mengatakan, “Ibn al-Sakan, ‘Abd al-Haqq (ibn al-Kharrat al-Isybilî), dan Tâqi al-Dîn al-Subkî telah menyatakan bahwa hadis ini sahih.” Ibn ‘Adî berkata dalam al-Kâmil fî al-Dhu‘afâ’ (6:2350), “Ia (Mûsâ ibn Hilâl) yang paling mungkin untuk diterima, sedangkan orang lain yang menyebutnya tidak “dikenal” (seperti Abû Hâtim al-Râzî dan al-‘Uqaylî) adalah tidak benar … Dia salah seorang guru Imam Ahmad dan kebanyakan mereka orang-orang terpercaya.” Bahkan al-Albânî yang seorang pengikut “Salafi” menyatakannya sebagai tsâbit al-riwâyah (orang yang kuat periwayatannya) dalam kitabnya ‘Irwah (4:338). Tentang ‘Ubayd Allâh ibn ‘Umar al-Umarî, al-Dzahabî menyebutnya sebagai shadûq hasan al-hadits (dapat dipercaya dalam meriwayatkan hadis-hadis hasan) dalam al-Mughnî, 1:348; al-Sakhâwî menyebutnya shâlih al-hadîts (yang periwayatannya bagus) dalam al-Tuhfah al-Lathîfah, 3:366; Ibn Ma‘în mengatakan kepada al-Dârimî tentangnya sebagai shâlih tsiqah (bagus dan dipercaya) dalam al-Kâmil, 4:1459).

94.       Seperti disebutkan dalam buku ini yang diambil dari bab-bab mengenai ziarah ke makam Nabi dalam kitab al-Nawawî, al-Adzkâr dan al-Îdhâh, dan dalam kitab al-Qâdhî ‘Iyâdh, al-Syifâ’.

95.       Al-Sakhâwî, al-Qawl al-Badî‘, h. 160.

96.       Imam Mâlik, Kitâb al-Rûh, h. 144.

97.        Abû Dâwud, Sunan, bagian “al-Adab”, diriwayatkan dari Anas.

98.       Diriwayatkan oleh al-Bayhaqî dengan dua sanad, Dalâ’il al-Nubuwwah (2:508); Ibn Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah (3:199-200); dan al-Suyûthî, al-Khashâ’is al-Kubrâ (1:190). Syekh Muhammad ibn ‘Alawî al-Mâlikî, dalam al-Bayân wa al-Ta‘rîf fî Dzikr al-Mawlid al-Syarîf (h. 243-25), mengatakan bahwa al-Hâkim mendokumentasikannya, Abû Sa‘ad al-Naysabûrî menyebutkannya dalam Syaraf al-Musthafâ, dan Ibn Mâjah meriwayatkannya dalam Sunan-nya, bagian al-Nikâh (#1889).

99.       Diriwayatkan oleh al-Tirmidzî dari Buraydah, dan ia menilainya hasan shahîh gharîb; juga oleh Abû Dâwud dan al-Bukhârî.

100.  Imam Ahmad meriwayatkannya dalam Musnad-nya (1:108), dan Ahmad Muhammad Syâkir menyatakannya sahih dalam Riyadh-nya, edisi 1949. Diriwayatkan juga oleh al-‘Uqaylî, Abû Nu‘aym dari Jâbir, dan Ibn Sa‘ad dalam Thabaqât-nya dengan sanad yang sahih sampai kepada Muhammad al-Bâqir.

101.   Lihat al-Qâdhî ‘Iyâdh, al-Syifâ’; al-Bayhaqî, Syu‘ab al-Îmân; Ibn al-Jawzî, al-Wafâ’; al-Qasthallânî, al-Mawâhib al-Laduniyyah; al-Suyûthî, al-Khashâ’is al-Kubrâ; dan lain-lainnya, dalam bab-bab yang berkenaan dengan pemberian karunia Allah kepada nabi-nabi terdahulu dan pengutamaan-Nya kepada Nabi-Nya ini.

102.   Diriwayatkan oleh Ahmad (4:138, #17246); al-Tirmidzî (Da‘awât, bab 119); Ibn Mâjah (Iqâmat al-Shalâh wa al-Sunnah, bab Shalât al-Hâjah); al-Nasâ’î (‘Amal al-Yawm wa al-Laylah, h. 417-418); al-Hâkim (1:313); dan secara ketat dinyatakan sahih oleh hampir 15 ahli hadis termasuk Ibn Hajar, al-Dzahabî, al-Syawkânî, dan Ibn Taymiyyah.

103.   Bandingkan dengan al-Tirmidzî, ‘Âridhat al-Ahwâdzî (13:81) dengan syarahnya oleh Hafiz Abû Bakr ibn al-‘Arabî.

104.   Dinyatakan sahih oleh al-Bayhaqî, Abû Nu‘aym dalam al-Ma‘rifah, al-Mundzirî (al-Targhîb, 1:473-474), al-Haytsamî, dan al-Thabrânî dalam al-Kabîr (9:17-18) dan al-Shaghîr (1:184/201-202) yang bersumber dari keponakan laki-laki ‘Utsmân ibn Hunayf, yaitu Abû Imâmah ibn Sahl ibn Hunayf.

105.   Abû Ya‘lâ meriwayatkannya dengan sanad yang sahih dalam Musnad-nya (Dâr al-Ma’mûn, edisi 1407/1987), 11:462. Ibn Hajar al-‘Asqalânî menyebutkannya dalam al-Mathâlib al-‘Âliyah (Kuwait, 1393/1973), 4:23, dalam bab tentang hidup Nabi saw. dalam kuburnya, dan #4574. Al-Haytsamî mengatakan dalam Majmâ‘ al-Zawâ’id (8:5), bab turunnya Nabi Isa ibn Maryam, “Periwayatnya adalah para periwayat hadis sahih.”

106.   Abû al-Syaykh menyebutkannya dalam Kitâb al-Shalâh ‘alâ al-Nabî (Jalâ’ al-Afhâm, h. 22), dan Ibn Hajar mengatakan dalam Fath al-Bârî (6:379), “Abû al-Syaykh menyebutkannya dengan sanad yang baik (jayyid).” Al-Bayhaqî menyebutkannya dalam Hayât al-Anbiyâ’ dan Syu‘ab al-Îmân (2:218 #1583) dengan lafal ublightuhu di bagian akhirnya.

107.   Ibn Jamâ‘ah, Hidâyat al-Sâlik, 3:1382-1383; Ibn al-Jawzî, Mutsîr al-Gharâm, h. 487; al-Qâdhî ‘Iyadh, al-Syifâ’; dan al-Bayhaqî, Syu‘ab al-Îmân (# 4169).

108.   Al-Bukhârî, al-Adab al-Mufrad; al-Nawawî, al-Adzkâr; dan al-Syawkânî, Tuhfat al-Dzâkirîn, bab tentang apa yang dikatakan bila terasa kejang di kaki.

109.   Lihat al-Nawawî, al-Adzkâr, edisi Riyadh, 1970, h. 27; edisi Thaif, 1988, h. 383; edisi Mekah, 1992, h. 370. Lihat pula al-Bukhârî, al-Adab al-Mufrad, edisi ‘Abd al-Bâqî, Beirut, 1990, h. 286; edisi al-Albânî dengan judul Dha‘îf al-Adab al-Mufrad, 1994, h. 87. Yang terakhir ini mengajukan sebagai referensi kitab Takhrîj al-Kalim al-Thayyib (235), Beirut: ‘Âlam al-Kitâb, tanpa tahun, h. 324, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun, h. 142. Juga lihat al-Syawkânî, Tuhfat al-Dzâkirîn, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1970, h. 206-207.

 

Sumber:

Maulid dan Ziarah ke Makam Nabi SAW (Syekh Hisyam Kabbani QS)

Seri Akidah Ahlussunah, penerbit Serambi

Terjemahan dari:

The Prophet: Commemorations, Visitation and His Knowledge of the Unseen (Mawlid, ziyara, Ilm al-Ghayb), oleh Syekh Muhammad Hisyam Kabbani qs (KAZI Publications, 1998)

 

No comments: