02 March 2009

Peringatan Hari Kelahiran Nabi dalam Pemahaman Ulama “Salafi” dan Ulama Lain

Oleh Syekh Hisyam Kabbani QS


Pandangan Ibn Taymiyyah tentang Maulid dan Penyimpangan Kaum Salafi dari Pandangannya 

Kutipan berikut merupakan pandangan Ibn Taymiyyah tentang maulid sebagaimana diuraikan dalam kitabnya, al-Fatâwâ:26 

Demikian halnya apa yang diada-adakan oleh sebagian orang dengan menganalogikan pada orang-orang Nasrani yang merayakan kelahiran Isa, atau karena rasa cinta kepada Nabi saw dan untuk memujanya, Allah swt akan memberi mereka pahala atas cinta dan usahanya ini, bukan atas kenyataan bahwa itu suatu bidah … Merayakan dan menghormati kelahiran Nabi saw dan menjadikannya sebagai saat-saat yang dihormati, sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang, adalah baik, dan padanya ada pahala yang besar, karena niat baik mereka dalam menghormati Nabi saw. 

Karena kesetiaan mereka kepada Ibn Taymiyyah, tampaknya kaum Salafi tidak dapat memaafkannya atas ucapannya ini.  Seorang editor majalah kaum Salafi, Iqtidhâ’, Muhammad al-Fiqqî, menulis dua halaman catatan kaki untuk teks tersebut.  Di dalamnya ia berteriak keras, “Kayfa yakûnu lahum tsawâb ‘alâ hâdza? … Ayyu ijtihâd fî hâdzâ??  (Bagaimana mungkin mereka dapat memperoleh pahala untuk hal tersebut? … Ijtihad macam apa ini??)”  Para ulama Salafi kontemporer bisa dikatakan berlebihan dan menyimpang menyangkut peringatan maulid ini.  Mereka mengganti sikap Ibn Taymiyyah tersebut dengan ketetapan hukum mereka sendiri, padahal sikap Ibn Taymiyyah tersebut mestinya cukup buat mereka.  Pengarang Salafi yang lain, Manshûr Salmân, juga bersikap demikian dalam menerangkan al-Bâ‘its ‘alâ Inkâr al-Bida‘ karya Abû Syâmah, karena Abû Syâmah bukannya mengkritisi peringatan maulid, tetapi justru menyatakan, “Sungguh itu suatu bidah yang patut dipuji dan diberkati.”

Dalam teks yang disebutkan di atas, Ibn Taymiyyah juga menyebutkan suatu fatwa oleh Ahmad ibn Hanbal, imamnya mazhab fikih Ibn Taymiyyah, tatkala orang-orang bercerita kepada Imam Ahmad mengenai seorang pangeran yang membelanjakan 1000 dinar untuk membuat hiasan Alquran, beliau mengatakan: “Itulah tempat terbaik baginya untuk menggunakan emas.”

Apakah Ibn Taymiyyah sedang mempromosikan bidah tatkala beliau membolehkan peringatan maulid “sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang”?  Tidak. Beliau tidak hanya membolehkannya, tetapi beliau menyebutkan pula bahwa peringatan maulid yang mereka lakukan itu “baik dan padanya ada pahala”.  Apakah Imam Ahmad sedang melakukan suatu bidah tatkala beliau membolehkan menghiasi Alquran dengan emas?  Jawaban atas kedua pertanyaan tersebut adalah tidak.

Pembolehan peringatan hari kelahiran Nabi saw. oleh Ibn Taymiyyah ini, yang oleh para pendukungnya telah diartikan secara keliru sebagai suatu kritik atas peringatan maulid, telah disebut-sebut oleh para ulama Suni seperti Sa‘îd Hawwâ, Muhammad ibn ‘Alawî al-Mâlikî, ‘Abd al-Karîm Jawwâd, al-Sayyid Hâsyim al-Rifâ‘î, dan dua syekh dari golongan Qarawiyyin, yaitu ‘Abd al-Hayy al-Amrûnî dan ‘Abd al-Karîm Murâd.27

 

Pendapat Ibn Taymiyyah tentang Halaqah Zikir

Berikut adalah pandangan Ibn Taymiyyah mengenai pertemuan-pertemuan untuk berzikir bersama:

Ibn Taymiyyah pernah ditanya mengenai orang-orang yang berkumpul di dalam masjid untuk berzikir dan membaca Alquran, berdoa kepada Allah, membiarkan kepalanya terbuka tanpa turban dan menangis, padahal niatnya bukanlah untuk ria, juga bukan untuk pamer, tetapi berusaha mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah swt semata: apakah itu dibolehkan atau tidak?  Beliau menjawab: “Segala puji bagi Allah swt, adalah baik dan dianjurkan oleh syariah, untuk berkumpul bersama membaca Alquran, membaca zikir, dan berdoa.”28

 

Ibn Katsîr Memuji Malam Maulid

Imam Ibn Hajar al-‘Asqalânî menyebutkan bahwa Ibn Katsîr, seorang ahli hadis pengikut Ibn Taymiyyah, “pada hari–hari terakhir hidupnya menulis sebuah kitab berjudul Mawlid Rasûl Allâh yang tersebar luas.29 Kitab tersebut menyebutkan kebolehan dan anjuran memperingati maulid Nabi saw.”30

Dalam kitab Ibn Katsîr tersebut, ia mengatakan, “Malam kelahiran Nabi saw. adalah malam yang agung, mulia, diberkati, dan suci, suatu malam yang membahagiakan bagi orang-orang beriman, bersih, bersinar cemerlang, dan tak ternilai harganya.”31

 

Fatwa al-‘Asqalânî dan al-Suyûthî tentang Kebolehan Memperingati Maulid Nabi saw.

Jalâl al-Dîn al-Suyûthî berkata:

Syekh-Islam, seorang tokoh hadis pada masanya, Ahmad ibn Hajar (al-‘Asqalânî) pernah ditanya mengenai kebiasaan memperingati kelahiran Nabi saw.  Beliau memberikan jawaban sebagai berikut:

Sehubungan dengan asal muasal dari kebiasaan memperingati kelahiran Nabi saw, itu merupakan suatu bidah yang kita tidak menerimanya dari para saleh di antara kaum muslim terdahulu pada masa tiga abad pertama Hijriah. Meskipun demikian, praktik tersebut melibatkan bentuk-bentuk yang terpuji dan bentuk-bentuk yang tak terpuji.  Apabila dalam praktik peringatan tersebut, orang-orang hanya melakukan hal-hal terpuji saja, dan tidak melakukan yang sebaliknya, maka itu bidah yang baik, tetapi bila tidak demikian, maka tidak.

Dalil dasar dari nas yang bisa dipercaya untuk merujuk keabsahannya telah saya temukan, yaitu suatu hadis sahih yang dimuat dalam kumpulan Shahîh al-Bukhârî dan Shahîh Muslim, bahwa Nabi saw. datang ke Madinah dan menemukan orang-orang Yahudi berpuasa pada tanggal sepuluh Muharam (Asyura), maka beliau bertanya kepada mereka tentang hari itu dan mereka menjawab: “Hari ini adalah hari Allah swt menenggelamkan Firaun dan menyelamatkan Musa a.s., maka kami pun berpuasa untuk menyatakan syukur kepada Allah Taala.”  Dalil ini menunjukkan keabsahan berterima kasih kepada Allah swt atas karunia-Nya yang diberikan pada suatu hari tertentu, baik dalam bentuk pemberian nikmat dan penghindaran dari bencana.  Kita mengulang rasa syukur kita dalam peringatan hari tersebut setiap tahun, dengan menyatakan syukur kepada Allah swt dalam berbagai bentuk peribadatan seperti sujud syukur, puasa, memberi sedekah atau membaca Alquran … Lantas, karunia apa lagi yang lebih besar daripada kelahiran Nabi saw., Nabi pembawa rahmat, pada hari ini?  Melihat kenyataan demikian, kita seharusnya memastikan untuk memperingatinya pada hari yang sama, sehingga sesuai dengan cerita tentang Musa a.s. dan tanggal sepuluh Muharam di atas.  Akan tetapi, orang yang tidak melihat persoalan ini penting, merayakannya pada hari apa saja dalam bulan itu, bahkan sebagian meluaskannya lagi pada hari apa saja sepanjang tahun,  pengecualian apa pun dapat diambil dalam pandangan semacam ini.”32

 

Pandangan Ulama Lain tentang Maulid

Dalam pandangan mufti Mekah, Ahmad ibn Zaynî Dahlân, “Memperingati hari kelahiran Nabi saw. dan mengingat Nabi saw. itu dibolehkan oleh ulama muslim.”33

Imam al-Subkî mengatakan, “Pada saat kita merayakan hari kelahiran Nabi saw, rasa persaudaraan yang kuat merasuk ke hati kita, dan kita merasakan sesuatu yang khas.”

Imam al-Syawkânî mengatakan, “Dibolehkan merayakan hari kelahiran Nabi saw.”34  Beliau pun mengatakan bahwa Mulah ‘Alî al-Qârî memiliki pandangan yang sama dalam kitabnya, al-Mawrid al-Râwî fî al-Mawlid al-Nabawî, yang ditulis secara khusus untuk mendukung perayaan hari kelahiran Nabi saw.

Imam Abû Syamah, guru Imam al-Nawawî, berkata:

Bidah yang paling baik pada masa kita sekarang ini adalah peringatan hari kelahiran Nabi saw.  Pada hari tersebut orang-orang memberikan banyak sumbangan, melakukan banyak ibadah, menunjukkan rasa cinta yang besar kepada Nabi saw., dan menyatakan banyak syukur kepada Allah Swt. karena telah mengutus Rasul-Nya kepada mereka, untuk menjaga mereka agar mengikuti sunah dan syariah Islam.35 

Imam al-Syakhawî mengatakan, “Peringatan hari kelahiran Nabi saw. dimulai pada tiga abad setelah Nabi saw. wafat.  Seluruh muslimin merayakannya dan seluruh ulama membolehkannya, dengan cara beribadah kepada Allah swt, bersedekah, dan membaca riwayat hidup Nabi saw.”

Hafiz Ibn Hajar al-Haytsamî mengatakan, “Sebagaimana orang-orang Yahudi merayakan Hari Asyura dengan berpuasa untuk bersyukur kepada Allah swt, kita pun mesti merayakan maulid.”  Beliau pun mengutip hadis yang telah disebutkan di depan, “Tatkala Nabi saw. tiba di Madinah …”  Ibn Hajar kemudian melanjutkan:

(Selayaknya) orang bersyukur kepada Allah swt atas rahmat yang telah Dia berikan pada suatu hari tertentu, baik berupa kebaikan yang besar ataupun keterhindaran dari bencana.  Hari tersebut dirayakan setiap tahun setelah peristiwa itu.  Ungkapan syukur terlahir dalam berbagai bentuk peribadatan seperti sujud syukur, puasa, sedekah, dan membaca Alquran.  Lantas, kebaikan apa lagi yang lebih besar dari kedatangan Nabi saw., seorang Nabi penebar rahmat, pada hari maulid

Ibn al-Jawzî (w. 579) menulis sebuah buku kecil yang berisi syair dan riwayat hidup Nabi saw untuk dibacakan dalam perayaan maulid.  Buku itu berjudul Mawlid al-‘Arûs,36 dan beliau membuka dengan kata-kata, Al-hamd li Allâh al-ladzî abraza min ghurrat ‘arûs al-hadhrah shubhan mustanîrah (Segala puji bagi Allah swt yang telah mengeluarkan dari pancaran cahaya hadirat-Nya pagi hari yang semburat dengan sinar cemerlang).”

 

Dianjurkan untuk Memperingati Maulid

Imam al-Suyûthî mengatakan:

 Alasan berkumpul untuk salat tarawih adalah sunah dan merupakan suatu cara mendekatkan diri kepada Allah … demikian juga kami katakan bahwa alasan berkumpul untuk memperingati maulid adalah dianjurkan (mandûb)dan merupakan tindakan medekatkan diri kepada Allah … dan niat merayakan kelahiran Nabi saw adalah baik (mustahsanah) tanpa keraguan lagi.37 

Imam al-Suyûthî melanjutkan:

Tentang kebolehan maulid, saya ambil dasar hukumnya dari sumber sunah yang lain (di samping hadis tentang Asyura yang dijadikan dasar oleh Ibn Hajar), yaitu hadis yang ditemukan dalam karya al-Bayhaqî, yang diriwayatkan oleh Anas, “Nabi saw. menyembelih aqiqah untuk dirinya sendiri setelah beliau menerima kenabian,” meskipun telah disebutkan bahwa kakeknya, yaitu ‘Abd al-Muthâlib telah melakukannya pada hari ketujuh setelah kelahirannya, padahal aqiqah tidak dapat diulangi.38 Oleh karena itu, alasan bagi tindakan Nabi saw tersebut adalah untuk menyatakan syukur kepada Allah karena telah mengutusnya sebagai rahmat seluruh alam, dan menyatakan penghargaannya kepada umatnya, sebagaimana halnya beliau suka melakukan salat untuk dirinya sendiri.  Oleh karena itu, juga dianjurkan kepada kita untuk menyatakan rasa syukur kita atas kelahirannya dengan berkumpul bersama saudara-saudara kita, memberi makan orang-orang, dan perbuatan baik lain, serta bergembira.39 

Hadis ini menguatkan hadis di muka tentang bagaimana Nabi saw. menaruh perhatian khusus terhadap hari Senin sebagai hari kelahiran dan kenabiannya.

 

Penegasan Para Penulis “Salafi” Kontemporer perihal Larangan Maulid

Klaim bahwa memperingati maulid itu suatu bidah bukan saja langkah mengada-ada yang menyimpang dari apa yang telah dikatakan mayoritas ulama tempo dulu mengenai hal tersebut.  Pertama-tama, dan terutama, klaim tersebut mengandung cacat, baik dari sisi logika maupun penalarannya, karena ulama telah menetapkan bahwa bidah ada yang baik, ada yang buruk, dan ada yang biasa saja.  Karena itu, tidaklah boleh melarang sesuatu semata atas dasar anggapan bahwa itu suatu bidah (kreasi baru) sebelum terlebih dulu menentukan termasuk bidah apakah hal itu.

Ada bid‘ah hasanah (bidah yang baik), menurut mayoritas ulama yang telah menulis tentang bidah, meskipun beberapa ulama, seperti Ibn al-Jawzî dan Ibn Taymiyyah, beranggapan bahwa semua bidah pastilah bidah sesat (bid‘ah dhalâlah). Kedudukan mereka dalam masalah ini adalah suatu kelainan (syâdzdz) dan menyimpang dari norma, sebagaimana bukti-bukti berikut menunjukkan:

1.                  Harmalah ibn Yahyâ berkata: “Saya mendengar al-Syâfi‘î berkata: ‘Al-bid‘ah bid‘atâni bid‘ah mahmûdah wa bid‘ah madzmûmah, fa mâ wâfaqa al-sunnah fa huwa mahmûd, wa mâ khâlaf al-sunnah fa huwa madzmûm (Bidah itu dua jenis: bidah terpuji dan bidah tercela.  Apa yang sesuai dengan sunah adalah terpuji, dan yang bertentangan dengan sunah adalah tercela.’”40

2.                  Hafiz al-‘Izz ibn ‘Abd al-Salâm berkata: Ada lima tipe bidah: yang dilarang (haram), yang tak disukai (makruh), yang dibolehkan (mubah), yang terpuji (mandûb), dan yang harus (wajib).41

3.                  Ulama lain yang mengakui kemungkinan adanya yang disebut bidah yang baik (bid‘ah hasanah) adalah:

Abû Syamah, yang membagi bidah ke dalam bid‘ah mustahsanah/hasanah (bidah yang dianggap baik) dan bid‘ah mustaqbahah (bidah yang dianggap buruk), yang terbagi ke dalam muharram (dilarang) dan makruh (tak disukai), pada sisi lainnya.42

Al-Turkumanî al-Hanafî, yang membagi bidah menjadi bid‘ah mustahsanah (dianggap baik), yaitu bidah yang mubâhah yutsâbu ‘alayhâ (bidah yang dibolehkan dan mendapatkan pahala), dan bid‘ah mustaqbahah (dianggap buruk), seperti yang makruh dan yang haram.43

Ibn al-Hajj al-Abdarî al-Mâlikî, yang mengikuti pembagian menurut Ibn ‘Abd al-Salâm.44

Al-Tahanawî al-Hanafî, yang juga mengikuti pembagian menurut Ibn ‘Abd al-Salâm.45

Hafiz Ibn Hajar al-‘Asqalânî, dalam mengomentari perkataan ‘Umar r.a. tentang salat tarawih, “Ni‘mati al-bid‘ah hâdzihi (Sebagus-bagusnya bidah yakni),” mengatakan:46

Akar makna bidah adalah apa yang dihasilkan tanpa contoh lebih dahulu.  Kata tersebut diterapkan dalam hukum sebagai lawan dari kata sunah, dan karena itu patut dicela.  Secara tegas, bila bidah itu merupakan bagian dari apa yang dapat dikelompokkan sebagai yang dapat diterima oleh syariat, maka ini termasuk ke dalam bidah yang baik (hasanah), sedangkan bila bidah itu merupakan bagian dari apa yang dapat dikelompokkan sebagai yang dicela oleh syarak, maka ini termasuk ke dalam bidah yang patut dicela (mustaqbahah), bila tidak demikian, maka termasuk kategori yang diperbolehkan (mubah). Bidah tersebut dapat dibagi ke dalam lima kategori yang sudah dikenal.47 

 

Pertanyaan-pertanyaan mengenai Maulid 

T. Orang-orang tertentu masih menyatakan keberatannya dengan mengatakan, “Bagaimana dengan hadis, ‘Kull bid‘ah dhalâlah (Setiap bidah itu sesat)?’ Bukankah kata kull (setiap) itu mencakup semua bidah?”

J. Keberatan tersebut bermula dari kesalahtafsiran mengenai kata kull (setiap) yang diberi makna dengan “meliputi semua tanpa pengecualian”, padahal dalam bahasa Arab, kata tersebut dapat bermakna “hampir semua” atau “kebanyakan”.  Demikianlah bagaimana al-Syâfi‘î memahaminya.  Kalau tidak demikian, beliau pasti tidak akan pernah membolehkan bidah apa pun dapat dianggap baik.  Selain itu, beliau dianggap sebagai hujah atau “bukti”, yaitu sumber akurat tak tertandingi untuk persoalan-persoalan yang berkaitan dengan bahasa Arab.  Imam al-Bayhaqî meriwayatkan:

Al-Hasan ibn Habîb meriwayatkan dari Mahmûd al-Mishrî—ia seorang yang dianugerahi kefasihan berbicara—bahwa Mahmûd berkata: “Saya bertemu al-Syâfi‘î sewaktu beliau masih kecil, dan saya mendengar Ibn Hisyâm—saya tidak pernah kehilangan perhatian atas orang yang mengajarkan kebijakan kepada saya seperti Ibn Hisyâm—berkata, ‘Saya adalah teman diskusi al-Syâfi‘î dalam waktu yang lama, dan saya senantiasa mendengar beliau mengatakan suatu kata hanya bila kata tersebut telah dipertimbangkannya masak-masak, (sehingga) seorang pun tak akan menemukan dalam seluruh bahasa Arab suatu kata yang lebih baik dari kata yang beliau gunakan.’” Mahmûd juga mengatakan, “Saya juga mendengar Ibn Hisyâm mengatakan, ‘Kata-kata al-Syâfi‘î, dalam kaitannya dengan bahasa, merupakan suatu hujah pada dirinya sendiri.’”

Diriwayatkan juga dari al-Hasan ibn Muhammad al-Za‘farânî: “Sekelompok orang yang berbahasa Arab murni sering kali ikut hadir dalam pertemuan-pertemuan al-Syâfi‘î dengan kami, dan mereka duduk-duduk di sudut.  Suatu hari saya bertanya kepada pemimpin mereka, ‘Kalian tidak tertarik dengan ilmu, tetapi mengapa kalian terus hadir di sini bersama kami?’  Mereka berkata, ‘Kami hanya ingin mendengar al-Syâfi‘î berbahasa.’” 

Suatu bentuk gaya bahasa yang menunjukkan sebagian dengan menggunakan keseluruhan (Inggris: synecdoche), dalam bahasa Arab diistilahkan dengan ‘abbara ‘an katsrah bi al-kulliyyah.  Bentuk ini dilukiskan dengan penggunaan kata kull (setiap, semua) dalam Alquran surah 46:25 untuk sesuatu hal yang sebagian, dan tidak umum, yaitu:

Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya.  Dan pagi pun menemukan mereka, tidak ada yang terlihat lagi selain tempat tinggal mereka saja

Dengan begitu, tempat tinggal mereka tidak dihancurkan, meskipun “semua” sesuatu telah dihancurkan.  Kata “semua” di sini menunjuk secara khusus pada kehidupan orang-orang kafir dari bangsa ‘Âd dan harta bendanya, tetapi tidak termasuk tempat tinggalnya.  Hal yang sama digunakan dalam surah al-Naml (27:23) berkenaan dengan perkataan dari burung Hudhud bahwa Bilqis telah diberi kelimpahan dalam “segala hal”, meskipun ia tidak diberi kekuasaan atas Sulaiman a.s., tidak pula bagian kerajaannya.  Demikian juga, tatkala Allah swt berfirman, “Setiap diri (kull nafs) merasakan kematian” (3:185), dapat dipahami, meskipun tidak disebutkan, bahwa Allah swt tidaklah termasuk ke dalamnya.

Kesimpulannya, posisi mayoritas ulama sungguh jelas. “Mengada-adakan” (ahdatsa) suatu “kebiasaan baru” (bidah) dapat merujuk kepada sesuatu yang baru dalam konteks kebahasaan (lafzhan), seperti masjid-masjid bertembok, ilmu-ilmu keislaman, menulis buku-buku agama, dan sebagainya, atau kepada sesuatu yang baru dalam konteks hukum (syar‘an), seperti salat fardu keenam.  Karena bidah itu biasanya diterapkan pada hal-hal baru dalam agama dalam konteks syariah, maka “hal baru” jenis pertama tidak dapat dikelompokkan sebagai bidah, dan karenanya tidak dilarang.

Ibn Hisyâm dan yang lainnya meriwayatkan bahwa ‘Âshim berkata:

Mereka menggiring Khubayb untuk disalib sampai al-Tamim.  Kemudian ia minta kepada mereka agar diberi waktu untuk melakukan salat dua rakaat. Mereka pun setuju.  Ia kemudian melakukan salat dua rakaat dengan sempurna dan kemudian balik ke orang-orang, dan berkata, “Kalau bukan karena khawatir kalian akan mengira saya hanya ingin mengulur-ulur waktu karena takut kematian, pasti saya akan memperpanjang salat saya.”  Khubayb ibn ‘Adî adalah orang pertama yang mempelopori kebiasaan melakukan salat dua rakaat menjelang kematian.  Kemudian mereka menaikkannya ke kayu salib, dan tatkala mereka telah mengikatnya, ia pun berkata, “Ya Allah swt, kami telah menyampaikan risalah Rasul-Mu, maka katakanlah besok kepadanya apa yang telah mereka lakukan kepada kami.”  Kemudian ia berkata lagi, “Ya Allah swt, hisablah mereka sebagai kelompok, dan bunuhlah mereka satu demi satu, jangan engkau biarkan mereka lolos.”  Setelah itu mereka membunuhnya, semoga Allah swt merahmatinya.”49

Yang di atas merupakan keputusan hukum ulama-ulama besar dalam mendefinisikan bidah.  Siapa pun yang mengingkari kesepakatan ini, mungkin ia tidak tahu atau mengada-ada definisi baru yang bukan dari mayoritas ulama, tetapi dari ulahnya sendiri.

 

T.                            Karena tujuan maulid adalah mengungkapkan rasa cinta dan ketaatan kepada Nabi saw., mengapakah generasi muslim pertama tidak merayakannya? Tak diragukan lagi, cinta dan ketaatan kepada Nabi saw. tidaklah pernah hilang dari diri mereka pada masa-masa itu.

J.  Jawabannya ada pada pertanyaan itu sendiri.  Apabila orang-orang sekarang dapat mempraktikkan cinta dan ketaatan kepada Nabi saw. sebagaimana yang dilakukan para pendahulu (salaf) itu, maka mereka tak perlu merayakan maulid untuk mengingatkan mereka.

Hal yang sama dapat diterapkan dalam masalah pengetahuan dan keimanan. Pada generasi pertama, pengetahuan dan keimanan masih murni dan aman dari ancaman terlupakan dan bidah-bidah.  Tatkala bencana ini terjadi, fukaha tampil ke depan dan berjuang melindungi umat dari kesalahan.  Para sahabat sendiri tidak memerlukan mazhab-mazhab fikih yang formal.

Hal yang sama berlaku juga dalam urusan moral.  Zuhud atau tidak mencintai dunia merupakan sifat dari para sahabat dan tabiat dasar Nabi saw.  Tatkala ini menjadi sesuatu yang jarang terjadi, maka para imam penyucian diri (tazkiyat al-nafs/tasawuf) menghimpun konsep zuhud ini, dan mendorong masyarakat agar kembali pada akhlak sempurna dan kesederhanaan masa-masa awal Islam.  Semua ini, baik ilmu fikih, ilmu tasawuf, atau maulid, tidak ada secara formal pada abad-abad pertama, karena tidak ada keperluan untuk itu.  Rasa cinta dan kemauan mencontoh Nabi saw. sudah pasti jauh sangat besar pada mereka.

Berhati-hatilah mereka yang mengatakan bahwa maulid itu salah semata karena itu tidak ada pada masa tiga abad pertama Islam.  Mencap sesuatu sebagai keluar dari dan melawan sunah semata karena hal itu tidak ada pada masa tiga abad pertama Islam menunjukkan suatu pemahaman yang keliru terhadap konsep “mengikuti sunah”. Sebagai misal, tidaklah boleh menetapkan bahwa Nabi saw. tidak pernah merayakan hari kelahirannya, karena itu tercatat jelas dalam hadis sahih bahwa beliau memperingati hari kelahirannya dengan berpuasa pada hari Senin.

 

T.                            Tidak ada sesuatu yang namanya maulid sebelum Dinasti Fatimiah di Mesir memulainya.  Bukankah mereka itu dianggap menyimpang oleh aliran Suni?

J. Fatimiah berkuasa di Mesir dari tahun 360 sampai tahun 560 H.  Meskipun begitu, adanya praktik merayakan maulid terjadi lebih dulu sebelum mereka memerintah.  Sebagai misal, sejarawan Mekah, yaitu al-Azraqî (abad ketiga) menyinggung maulid saat membahas rumah tempat lahirnya Nabi saw.  Ia mengatakan bahwa salat di rumah tersebut dinyatakan oleh para ulama sebagai mustahabb (disukai) untuk mencari barakah (tabarruk).50  Demikian juga, ahli tafsir al-Naqqâsy (266-351) mengatakan bahwa tempat lahir Nabi saw. (mawlid al-Nabî) merupakan suatu tempat di mana doa pada hari Senin dapat dikabulkan.51  Ibn Jubayr (540-640) menyebutkan maulid sebagai suatu peringatan umum yang bertempat di Mekah di rumah Nabi saw. “pada setiap hari Senin bulan Rabiul Awal.”52  Pada abad ketujuh, sejarawan Abû al-‘Abbâs al-Azafî dan putranya Abû al-Qâsim al-Azafî mengatakan, “Pada hari maulid di Mekah, tidak ada kegiatan yang dilakukan, Kabah dibuka dan dikunjungi,” dan seterusnya.53

Lagi pula, fakta bahwa Fatimiah memiliki komitmen terhadap suatu tindakan tertentu tidaklah lantas menjadikan tindakan tersebut tidak baik.  Sehubungan dengan maulid khususnya, mari merujuk seorang qadi Aleksandria dari mazhab Maliki di bawah Dinasti Fatimiah, yaitu Abû Bakr Muhammad ibn al-Walîd al-Turtusyî (w. 520). Beliau menulis suatu kitab yang meliput bidah-bidah pada masanya di bawah Dinasti Fatimiah, berjudul Kitâb al-Hawâdits wa al-Bida‘.54 Kitab al-Turtusyî ini merupakan salah satu risalah lengkap paling awal mengenai bidah-bidah dalam agama. Kitab tersebut memiliki pengaruh yang sangat luas dalam gaya dan susunannya pada kitab-kitab yang dikarang kemudian dengan subjek kajian yang sama, baik di dalam ataupun di luar mazhabnya, seperti oleh Ibn Rusyd, Abû Syâmah, Ibn Taymiyyah, Ibn al-Hajj, al-Syâthibî, Ahmad Zarrûq, dan al-Suyûthî.

Al-Turtusyî sangat teliti dan cermat sekali dalam mendaftar berbagai bidah dalam agama yang terjadi di bawah Dinasti Fatimiyah, yang besar ataupun yang kecil. Di antara bidah-bidah yang beliau daftar adalah:

-                                       Membaca Alquran dengan dilagukan (tatrîb atau qirâ’ah bi al-alhân)

-                                       Penomoran surah-surah dan pemberian tanda baca pada Alquran.

-                                       Membangun mihrab dan membuat hiasan di dalam masjid.

-                                       Menempatkan kotak pengumpul (dana) di dalam masjid.

-                                       Makan dan minum di dalam masjid.

-                                       Menjual barang-barang di masjid.

-                                       Salat alfiyyah pada pertengahan Sya’ban, dan raghâ’ib pada Rajab.

-                                       Libur kerja pada hari Jumat.

-                                       Meneriakkan tatswîb, yaitu al-shalâh khayr min al-nawm pada azan subuh.

-                                       Mengangkat tangan dan meninggikan suara pada waktu berdoa.

-                                       Memakai turban (serban) tanpa membiarkan ujung-ujung terpanjangnya melewati dagu.

-                                       Memegangi pakaian seseorang oleh orang di belakangnya.

-                                       Mencampurkan laki-laki dan perempuan di masjid pada malam tarawih.

-                                       Menyewa pelayan untuk melakukan haji sebagai wakil, dan sebagainya.

Beliau mempertahankan tarawih sebagai bukan bidah, karena golongan Syiah telah menyerangnya sedemikian rupa.

Al-Turtusyî tidak pernah menyebut ataupun mengutuk maulid, meskipun ia pasti telah menyaksikannya sejak hal itu menjadi suatu perayaan umum selama hidupnya di Mesir, dan meskipun hal itu melibatkan lebih banyak orang daripada bidah-bidah lain yang ia sebutkan.  Ini merupakan suatu pengabaian yang mencolok, dilihat dari fakta bahwa beliau tertarik secara khusus untuk memeriksa berbagai bidah yang beliau anggap berkaitan dengan Dinasti Fatimiah.  Pengabaian oleh al-Turtusyî tersebut merupakan pertanda bahwa, sekalipun beliau menentang Fatimiah, beliau menganggap maulid di bawah Dinasti Fatimiah sebagai bukan suatu bidah, ataupun sesuatu yang patut dicela.  Ini merupakan persetujuan diam-diam dari beliau terhadap maulid.

 

P. Bagaimana pendapat orang-orang yang dianggap sebagai sumber oleh kaum “Salafi” berkenaan dengan maulid?

J. Persoalan ini sudah disinggung di muka.  Yang berikut merupakan catatan tambahan yang merujuk kepada Hafiz al-Dzahabî dan Imam Ibn Katsîr.

Pandangan al-Dzahabî dan Ibn Katsîr tentang dianjurkannya maulid dapat dipastikan dalam komentar mereka tentang Muzhaffar, seorang Raja Irbil yang sangat terkenal karena suka merayakan hari kelahiran Nabi saw secara mewah-meriah dan besar-besaran.  Al-Dzahabî menulis:

Ia (Muzhaffar) sangat senang bersedekah … dan membangun empat rumah singgah untuk orang miskin dan orang sakit … dan satu rumah untuk kaum wanita, dan satu untuk yatim-piatu, dan satu untuk tunawisma, dan ia sendiri suka mengunjungi orang-orang sakit … Ia membangun madrasah untuk pengikut Syafii dan Hanafi … Ia akan melarang setiap hal tercela untuk memasuki negerinya.  Adapun berkaitan dengan perayaan maulid Nabi saw yang mulia yang ia selenggarakan, kata-kata terlalu miskin untuk menggambarkannya.  Orang-orang berdatangan dari mana-mana baik dari Irak atau Aljazair untuk mengikutinya.  Dua podium kayu disiapkan dan dihiasi untuk dirinya dan istrinya … perayaan berlangsung beberapa hari.  Sejumlah besar sapi dan unta dikeluarkan untuk disembelih dan dimasak dengan beragam cara … Para pendakwah menjelajahi daerah-daerah memberi nasihat kepada masyarakat.  Dana besar dibelanjakan (sebagai sedekah).  Ibn Dihyah mengarang buku tentang maulid untuknya, sehingga ia mendapatkan seribu dinar.  Ia (Muzhaffar) adalah orang yang rendah hati, cinta pada kebaikan dan penganut Suni yang baik, yang mencintai para ulama fikih dan ulama hadis, serta sangat dermawan bahkan kepada para penyair.  Menurut riwayat, ia meninggal terbunuh dalam peperangan.56

Dalam al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Ibn Katsîr berkata:

Ia (Muzhaffar) suka merayakan maulid yang agung ini pada bulan Rabiul Awal, dan untuk itu ia menyelenggarakan perayaan-perayaan besar.  Ia raja yang bijak, berani, petarung yang sengit, pandai, terpelajar, dan adil.  Semoga Allah swt merahmatinya dan memuliakan kuburannya.  Syekh Abû al-Khaththâb ibn Dihyah mengarang untuknya sebuah buku mengenai maulid Nabi saw. yang berjudul al-Tanwîr fî Mawlid al-Basyîr al-Nadzîr (Cahaya Penerang tentang Hari Kelahiran Sang Pemberi Kabar-Baik-dan-Peringatan), dan raja pun memberinya hadiah sebanyak seribu dinar untuk buku tersebut.  Ia memerintah sampai akhir hayatnya pada tahun 630 H pada saat mengepung tentara Perancis di kota Acca (Acre, Palestina) setelah hidup penuh kehormatan dan tanpa cela.57 

Lebih penting lagi, Ibn Katsîr sendiri mengarang satu naskah tentang maulid yang mencakup hadis-hadis, doa-doa selawat kepada Nabi saw., dan syair-syair pujian kepada beliau.58

 

T.                            Siapakah ulama-ulama dari mazhab besar yang mengakui perayaan maulid sebagai sesuatu yang dibolehkan atau dianjurkan.

J. Mereka adalah mayoritas besar golongan Suni.  Di antara mereka adalah seperti dalam daftar berikut, yang disusun bersama judul kitab di mana disebutkan pandangan mereka mengenai hal tersebut.

Mazhab Hanafi

Imam Quthb al-Dîn al-Hanafî dalam al-I‘lâm bi A‘lâm Bayt Allâh al-Harâm.

Imam Muhammad ibn Jâr Allâh ibn Zahirah, dalam al-Jamî‘ al-Lathîf.

Muhaddits ‘Abd al-Haqq al-Dihlawî dalam Mâ Tsabata min al-Sunnah.

Syah ‘Abd al-Rahîm al-Dihlawî dalam al-Durr al-Tsamîn.

Syah Walî Allâh dalam Fuyûdh al-Haramayn.

Mufti ‘Inâyat Allâh al-Kakurawî dalam Târîkh Habîb Allâh.

Mufti Muhammad Mazhhar Allâh al-Dihlawî dalam Fatâwâ Mazhharî.

Mulah ‘Alî al-Qârî dalam al-Mawrid al-Râwî fî Mawlid al-Nabî.

Haji Imdad Allâh Muhâjir al-Makkî dalam Syamâ’im Imdâdiyyah.

Muhaddits ‘Abd al-Hayy al-Lucknawî dalam Fatâwâ ‘Abd al-Hayy.


Mazhab Maliki

Hafiz Ibn Dihyah al-Kalbî dalam al-Tanwîr fî Mawlid al-Basyîr al-Nadzîr.

Imam al-Turtusyî dalam Kitâb al-Hawâdits wa al-Bida‘ (tidak langsung).

Imam Fakih Abû al-Thayyib Muhammad ibn Ibrâhîm al-Sabtî (w. 695), sebagaimana dikutip oleh al-Adfawî dalam Husn al-Maqshid karya al-Suyûthî.

Abû ‘Abd Allâh Sayyid Muhammad ibn ‘Abbâd al-Nafzî dalam al-Rasâ’il al-Kubrâ.

Syekh Jalâl al-Dîn al-Kattanî dalam Rawdhat al-Jannât fî Mawlid Khâtim al-Risâlât, juga dikutip dalam Subul al-Hudâ karya al-Sakhâwî.

Syekh Nâshir al-Dîn ibn al-Tabbâkh, dikutip dalam Subul al-Hudâ karya al-Sakhâwî.

Syekh Muhammad ibn ‘Alawî al-Makkî dalam al-Ihtifâl bi Dzikr al-Mawlid.


Mazhab Syafii

Hafiz Abû Syâmah dalam al-Bâ‘its ‘alâ Inkâr al-Bida‘ wa al-Hawâdits.

Hafiz Syams al-Dîn al-Jazâ’irî dalam ‘Urf al-Ta‘rîf bi al-Mawlid al-Syarîf.

Hafiz Syams al-Dîn ibn Nâshir al-Dîn al-Dimasyqî dalam al-Mawrid al-Sâdî fî Mawlid al-Hâdî; Jamî‘ al-Âtsâr fî Mawlid al-Nabî al-Mukhtâr; al-Lafzh al-Râ’iq fî Mawlid Khayr al-Khalâ’iq.

Hafiz Zayn al-Dîn al-‘Irâqî dalam al-Mawrid al-Hânî fî al-Mawlid al-Sânî.

Hafiz al-Dzahabî dalam Siyar A‘lâm al-Nubalâ’.

Hafiz Ibn Katsîr dalam Kitâb Mawlid al-Nabî dan al-Bidâyah, h. 272-273.

Hafiz Ibn Hajar al-‘Asqalânî sebagaimana dikutip oleh al-Suyûthî dalam al-Hâwî.

Al-Qasthallânî dalam al-Mawâhib al-Laduniyyah.

Hafiz al-Sakhâwî dalam Subul al-Hudâ, juga dikutip dalam al-Mawrid al-Râwî karya al-Qârî.

Imam Ibn Hajar al-Haytsamî dalam Fatâwâ Hadîtsiyyah; al-Ni‘mah al-Kubrâ ‘alâ al-‘Âlam fî Mawlid Sayyid Walad Âdam; Tahrîr al-Kalâm fî al-Qiyâm ‘inda Dzikr Mawlid Sayyid al-Anâm; Tuhfat al-Akhyâr fî Mawlid al-Mukhtâr.

Hafiz Wajîh al-Dîn ‘Abd al-Rahmân al-Zâbidî al-Daybah (w. 944) dalam Kitâb al-Mawlid.

Zhahîr al-Dîn Ja‘far al-Mishrî, dikutip dalam Subul al-Hudâ karya al-Sakhâwî.

Muhammad ibn Yûsuf al-Sâlihî al-Syâmî, dikutip dalam Subul al-Hudâ karya al-Sakhâwî.

Kamâl al-Dîn al-Adfawî dalam al-Tâlî al-Sâ’id.

Hafiz al-Suyûtî dalam “Husn al-Maqshid fî ‘Amal al-Mawlid” dalam al-Hâwî li al-Fatâwî.

Al-Zarqânî dalam Syarh al-Mawâhib.

Abû Dzurrah al-‘Irâqî, dikutip dalam Tashnîf al-Adhân karya Muhammad ibn Shiddîq al-Ghumarî.


Mazhab Hambali

Hafiz Ibn Taymiyyah dalam Iqtidâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm (dalam beberapa kasus).

 

T. Pembacaan riwayat hidup Nabi saw. dan pembacaan syair pujian kepada Nabi saw terjadi dalam peringatan maulid.  Adakah contohnya dalam sunah?

J. Sudah ditunjukkan secara menyeluruh bahwa pembacaan syair dalam rangka memberi penghormatan kepada Nabi saw. adalah suatu sunah yang pernah beliau lakukan, juga oleh para sahabatnya.59  Berkenaan dengan pembacaan tentang sirah Nabi saw., ini termasuk suatu kewajiban atas setiap muslim untuk mengetahui Nabi saw. dan mencintainya.

Diriwayatkan dari Ibn ‘Umar:

Nabi saw. biasanya memberikan khotbah sambil berdiri di samping batang pohon kurma.  Tatkala beliau mendapatkan mimbar buatan, beliau menggunakannya sebagai pengganti.  Batang pohon kurma itu pun mulai menangis tersedu, kemudian Nabi saw. mendatanginya dan mengusap-usapkan tangannya di atasnya (untuk menghentikan tangisannya).60 

Bila pohon yang mati saja akan menangis tatkala dijauhkan dari Nabi saw., bagaimana halnya dengan manusia?  Berapa jauh jarak kita dari Nabi saw. dibandingkan dengan mereka yang hidup pada masanya?  Apabila ada orang yang akan menuduh kaum muslim sebagai berbuat bidah tatkala mereka berkeinginan untuk mengingat Nabi saw. pada hari kelahirannya atau pada hari lainnya dengan membaca riwayat hidupnya, membacakan selawat kepadanya bersama-sama, menyanyikan qasidah pujian, dan merindukannya, cobalah mereka tuduhkan bidah kepada batang pohon itu dan hentikan ia dari kesedihannya.  Muslimin menyambut gembira kedatangan beliau di muka bumi ini dan meratapi kepergiannya karena kita kehilangan beliau dan mencoba mencari hari untuk dapat bertemu dengannya.  Semogalah Allah swt mengharumkan makamnya dan memberkatinya dengan cahaya dan kedamaian abadi.

Adapun merindukan Nabi saw. setelah beliau meninggalkan kehidupan ada sumbernya dari sunah.  Ini tercatat dalam hadis yang dapat dipercaya.  Dalam hadis tersebut Abû Hurayrah ra meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda, “Akan datang suatu masa, di antara kamu akan ada yang rindu untuk melihatku lebih daripada untuk memperbanyak keluarga dan kekayaannya.”61

Catatan:

25. Dari Majmû‘ Fatâwâ Ibn Taymiyyah, j. 23, h. 133, dan kitabnya Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm, h. 294-295, bagian berjudul: “Perayaan yang diada-adakan pada waktu dan tempat tertentu (Mâ Uhditsa min al-A‘yâd al-Zamâniyyah wa al-Makâniyyah).

26.  Sa‘îd Hawwâ, al-Sîrah bi Lughat al-Syi‘r wa al-Hubb; Ibn ‘Alawî al-Mâlikî, Mafâhim Yajibu an Tushahhah; al-Sayyid Hâsyim al-Rifâ‘î, Adillat Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah; dan ‘Abd al-Hayy al-Amrunî dan ‘Abd al-Karîm Murâd, Hawla Kitâb al-Hiwar ma‘a al-Mâlik.

27.  Ibn Taymiyyah, Majmû‘ Fatâwâ Ibn Taymiyyah, 22:523, edisi Raja Khâlid ibn ‘Abd al-‘Azîz.

28. Ibn Hajar al-‘Asqalânî, al-Durar al-Kâminah fî ‘Ayn al-Mi’ah al-Tsâminah.

29. Ibn Katsîr, Mawlid Rasûl Allâh, editor Shalâh al-Dîn Munajjad (Beirut: Dâr al-Kitâb al-Jadîd, 1961).

30. Ibid., h. 19.

31.  Al-Suyûthî, al-Hâwî li al-Fatâwî seperti disebutkan dalam The Reliance of the Traveller karya al-Mishrî, terjemahan oleh Nuh Ha Mim Keller, bagian w58.0.

32. Ahmad ibn Zaynî Dahlan, al-Sîrah al-Nabawiyyah wa al-Âtsâr al-Nabawiyyah, h. 51. Kutipan-kutipan selanjutnya kebanyakan diambil dari karya ini.

33. Imam al-Syawkânî, al-Badr al-Thâli‘.

34. Imam Abû Syâmah dalam kitabnya tentang bidah, al-Bâ‘its ‘alâ Inkâr al-Bida‘ wa al-Hawâdits.

35. Ibn al-Jawzî, Mawlid al-‘Arûs, Damaskus: Maktabat al-Hadhârah, 1955.

36. Imam al-Suyûthî, Husn al-Maqshid fî ‘Amal al-Mawlid”, h. 54 dan 62.

37.  Hadis ini terdapat dalam al-Bayhaqî, Sunan, j. 9, h. 300; dan al-Haytsamî, Majma‘ al-Zawâ’id, j. 4, h. 59, yang mengatakan bahwa al-Bazzâr dan al-Thabrânî meriwayatkannya, dan al-Thabrânî meriwayatkannya dengan sanad sahih.

38. Al-Suyûthî, h. 64-65.

39. Sumber-sumber: Abû Nu‘aym al-Ashbahânî mengutipnya dalam Hilyat al-Awliyâ’ (9:113); juga Hafiz Ibn Hajar al-‘Asqalânî dalam Fath al-Bârî, 13:253; juga Hafiz Ibn Rajab al-Hanbalî dalam Jamî‘ al-‘Ulûm wa al-Hikam, h. 291; Hafiz Abû Syâmah dalam al-Bâ‘its ‘alâ Inkâr al-Bida‘ wa al-Hawâdits, editor Masyhûr Hasan Salmân (Riyadh: Dâr al-Râyah, 1990/1410), h. 93; edisi Kairo, h. 12; Hafiz al-Turtusyî al-Mâlikî, Kitâb al-Hawâdits wa al-Bida‘, h. 158-159—dia sendiri membagi bidah ke dalam muharramah (dilarang), makrûhah (tak disukai), dan wâjibah (harus), h. 15; Hafiz al-Suyûthî menyinggungnya dalam pengantar untuk fatwanya tentang maulid, Husn al-Maqshid fî ‘Amal al-Mawlid”, dalam al-Hawî li al-Fatâwî; Hafiz Ibn Taymiyyah, Dar’ Ta‘ârudh al-‘Aql wa al-Naql, editor Muhammad al-Sayyid Julaynid (Kairo: Muassasat al-Ahrâm, 1409/1998), h. 171: “al-Bayhaqî meriwayatkannya dalam al-Madkhal dengan sanad yang sahih.”; Hafiz al-Bayhaqî, Manâqib al-Syâfi‘î (1:469), dengan kata-kata begini, “Al-muhdatsah min al-umûr dharbâni, ahaduhumâ mâ uhditsa yukhâlifu kitâban aw sunnatan aw atsaran aw ijmâ‘an, fa hâdzihî al-bid‘ah al-dhalâlah, wa al-tsâniyah mâ uhditsa min al-khayr lâ khilâfa fîhi li wâhid min hâdzihî, wa hâdzihî muhdatsah ghayr madzmûmah (Perbuatan-perbuatan baru itu dua jenis, salah satunya perbuatan baru yang menyalahi Alquran atau sunah atau atsar atau ijmak, maka ini termasuk bidah sesat.  Sedangkan yang kedua, perbuatan baru yang termasuk perbuatan baik yang tidak bertentangan dengan satu pun dari ketiganya itu, dan ini termasuk perbuatan baru yang tak dicela).”

40.  Sumber-sumber: Hafiz al-Syâthibî, Kitâb al-I‘tishâm (edisi Beirut), 1:188; Hafiz Imam al-Nawawî, Kitâb al-Adzkâr (Beirut: al-Tsaqâfiyyah), h. 237; dan Tahdzîb al-Asmâ’ wa al-Lughah ([Cairo]: Idârat al-Thibâ‘ah al-Munîriyyah, [1927]?), 3:22; Hafiz Ibn ‘Âbidîn, al-Radd al-Mukhtâr (Queta, edisi Pakistan?), 1:376; Hafiz al-Suyûthî menyebutkannya dalam pengantar mengenai fatwanya tentang maulid, Husn al-Maqshid fî ‘Amal al-Mawlid”, dalam al-Hawî li al-Fatâwî.

41.  Abû Syâmah, al-Bâ‘its ‘alâ Inkâr al-Bida‘ wa al-Hawâdits, edisi Kairo, h. 13.

42. Al-Turkumânî al-Hanafî, Kitâb al-Luma‘ fî al-Hawâdits wa al-Bida‘ (Stuttgart, 1986), 1:37.

43. Ibn al-Hajj al-Abdarî al-Mâlikî, Madkhal al-Sya‘r al-Syarîf (Kairo, 1336 H), 2:115.

44. Al-Thahanawî al-Hanafî, Kasysyâf Ishthilâhât al-Funûn (Beirut, 1966), 1:133-135.

45. Diriwayatkan oleh al-Bukhârî.

46. Ibn Hajar, Fath al-Bârî (Kairo: al-Halabî, 1378/1959), 5:156-157; (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1410/1989), 4:318.

47.  Imam al-Bayhaqî, Manâqib al-Syâfi‘î, 2:42-46.

48. Dari buku The Life of Muhammad, terjemahan dari kitab Ibn Ishâq, Sîrat Rasûl Allâh oleh A. Guillaume, h. 428.

49. Lihat al-Azraqî, Akhbâr Makkah, 2:160.

50. Al-Naqqâsy, Syifâ’ al-Gharâm, 1:199.

51.  Ibn Jubayr, Kitâb al-Rihâl, h. 114-115.

52. Abû al-‘Abbâs dan Abû al-Qâsim al-Azafî, Kitâb al-Durr al-Munazhzham.

53. Buku ini ada dua edisi, edisi Tunis (M. Talbim, 1959), dan edisi Beirut (A.M. Turki, 1990).

54. Al-Wansyarisyî, seorang ulama mazhab Mâlikî yang meninggal pada 914, akhirnya menerimanya sebagai suatu bid‘ah mustahsanah. Lihat tulisannya, al-Mustahsan min al-Bida‘ (Bidah-bidah yang Dipandang Baik).

55. Al-Dzahabî, Siyar A‘lâm al-Nubalâ’, editor Syu‘ayb Arnaut (Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, 1981), 22:335-336.

56. Ibn Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah (Beirut dan Riyadh: Maktabat al-Ma‘ârif dan Maktabat al-Nashr, 1966), 13:136-137.

57.  Ibn Katsîr, Mawlid Rasûl Allâh Shalla Allâh ‘alayhi wa Sallama, diedit dan dicetak oleh Shalâh al-Dîn al-Munajjad (Beirut: Dâr al-Kitâb al-Jadîd, 1961).

58. Catatan: Di antara karya-karya serupa tentang maulid oleh para ulama yang ahli dan terpercaya adalah karya Ibn Hajar al-Haytsamî, Mawlid al-Nabî (Damaskus, 1900), dan karya Hafiz Abû al-Faraj ibn al-Jawzî dari mazhab Hanbalî, Mawlid al-‘Arûs (Kairo, 1850).  Kitab terakhir ini diberi syarah dengan judul Fath al-Shamad al-‘Âlim ‘alâ Maulid al-Syaykh Ibn al-Qâsim, juga dikenal dengan al-Bulûgh al-Fawzî li Bayân Alfâzh Mawlid Ibn al-Jawzî oleh Muhammad al-Nawawî ibn ‘Umar ibn ‘Arabî (Kairo: dicetak dengan dana dari Fada Muhammad al-Kasymîrî al-Kutubî, 1328/1910).

59. Lihat lebih jauh nanti, pada bagian mengenai Na‘t, daftar yang memuat lebih dari seratus sahabat yang menggubah dan membacakan syair sejenis ini.

60. Shahîh al-Bukhârî, j. 4, bagian 56, nomor 783.

61.  Shahîh al-Bukhârî, j. 4, bagian 56, nomor 787.


Sumber:

Maulid dan Ziarah ke Makam Nabi SAW (Syekh Hisyam Kabbani QS)

Seri Akidah Ahlussunah, penerbit Serambi

Terjemahan dari:

The Prophet: Commemorations, Visitation and His Knowledge of the Unseen (Mawlid, ziyara, Ilm al-Ghayb), oleh Syekh Muhammad Hisyam Kabbani qs (KAZI Publications, 1998)

No comments: